Suasana yang tegang, berusaha dicairkan oleh Gerald. Ia tertawa renyah sambil menggelengkan kepala.
“Kebetulan kau keluar dan aku bosan, jadi aku ajak Melinda keluar. Ini, aku belikan sesuatu juga untukmu.” Gerald menyerahkan paper bag pada Naura yang kini menuju ke sofa. “Apa ini, Mas?” Dibukanya paper bag, lalu memeriksa isi yang ternyata gaun indah berwarna blue denim. “Kesukaanmu,” jawab Gerald, duduk bersamaan dengan Melinda. Suzy tetap berada di sana dengan tak tahu diri. Menyaksikan apa yang akan terjadi di antara ketiganya. “Wah! Ini bagus sekali, Mas,” pujinya, mengeluarkan gaun. Diperhatikan seluruh gaun, mulai dari warna, motif, bahan, juga harga yang mencapai 37 juta. “Kau beli apa, Mel?” Naura bertanya karena penasaran. “Gaun juga, tapi warna dusty pink,” jawab Melinda. “Boleh aku lihat?” Naura bangkit, lantas duduk di sebelah Melinda. Ingin taGerald memasuki dapur. Ia mendapati Melinda tengah memasak sesuatu. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya, memeluk dari belakang. Melinda menoleh, mengelus kepala sang suami. “Aku ingin sekali makan brownis pisang, jadi aku bikin sedikit, takut gagal,” jawabnya. “Memang kau bisa bikin kue?” Gerald menyangsikan. Pria itu mengintip ke dalam panci kukus, di mana brownis pisang tampak mulai mengembang. “Bisa sedikit. Kenapa kau ke sini?” Melinda membalikkan badannya. Sang suami menaikkan pundak, beralasan hanya iseng karena suasana sepi, maka dia berusaha mencari makhluk hidup di rumahnya. Mendengar alasan itu, Melinda berdecak. Makhluk hidup? Kalimat aneh yang bahkan terdengar lebih aneh karena saat mengatakannya sang suami sedikit mengatupkan kedua bibir. “Oh, ya. Ini kesukaan Naura.” Gerald baru ingat kalau istrinya sangat menyukai brownis pisang. Melinda hanya manggut-manggut. Kebetulan sekali. Nanti bisa ber
Gerald memerhatikan ruangan kamar istrinya yang sangat sempit. Bisa dibilang hanya sepertiga kamar di rumahnya sendiri. “Kenapa kau ingin menginap?” tanya Melinda, mengunci pintu. “Tak ada alasan khusus. Hanya ingin tinggal di sini,” jawab Gerald, duduk di tepi ranjang yang bahkan berbunyi saat ia melabuhkan tubuhnya. “Bagaimana dengan Kak Naura? Kau tak mau menjaga perasaannya?” Melinda bingung sendiri. Tadi ia hanya pamit berkunjung, tapi sang suami malah ingin menginap. “Ayolah, Lin. Kenapa kau panik? Aku kan menginap di rumah istriku, bukan istri orang. Santai saja. Sini!” Ditariknya Melinda hingga duduk di pangkuan. Wanita itu merasa tak enak. Baru juga akur dengan Naura, tapi sekarang malah bersikap seperti ingin merebut suaminya. Namun sayang, menurut Gerald, justru ini adalah kesempatan baik untuk mereka menghabiskan waktu bersama. “Kamarmu sempit sekali. Kau mau aku membangun tem
Melinda pergi ke salon kecantikan milik Saroon. Di sana, ia tak sengaja bertemu Haedar. Pria itu buru-buru hendak pergi, tapi Melinda mencegah. Dia penasaran dengan apa yang terjadi sampai Haedar tak pernah menemuinya lagi. Haedar tak menjawab, malah pura-pura sibuk menerima telepon. Melinda hanya diam, membiarkan pria itu keluar tanpa sempat bicara. Merasa aneh dengan sikapnya, Melinda pun bertanya apa yang terjadi pada Saroon. Mamanya Haedar itu berusaha tersenyum, menyambutnya dengan gembira. “Semua baik-baik saja kan, Tante? Aku merasa tidak enak. Apa aku melakukan kesalahan sampai dia bersikap seperti ini?” tanyanya, duduk dengan tenang. “Jangan heran, dia memang sibuk akhir-akhir ini. Untuk bicara denganku saja dia tak sempat. Maklum, pasti masalah kerjaan.” Saroon berusaha menutupi kenyataan. “Ohh, aku kira kenapa. Semoga saja dia memang baik-baik saja.” Melinda mengelus pahanya perlahan.
Naura diam-diam mengawasi sang suami yang tengah menikmati minuman bersama Melinda di balkon. Keduanya tampak sangat senang, sesekali tertawa lebar. Hal itu menambah perih hati Naura yang semakin tak bisa menahan diri untuk diam saja. Kedekatan mereka malah membuatnya ingin menghancurkan kebahagiaan madunya. “Tidak lama lagi, kau akan berakhir. Aku sudah tak peduli dengan anak. Kalau kau mati, akan lebih baik bagiku,” ujarnya, menutup tirai dengan kasar. Malam terasa lebih lama baginya. Seperti bertambah berjam-jam untuk bisa segera melihat sinar mentari pagi. Tak berapa lama, Naura terbangun dari tidurnya yang terganggu. Ia menoleh ke arah kamar mandi, di mana terdengar suara air mengalir, pertanda suaminya tengah mandi. Buru-buru wanita itu membuka lemari. Mengambil sesuatu dari balik tatanan pakaian. Sebuah botol berukuran kecil kini berada dalam genggamannya. “Tamatlah riwayatmu, Pela
Melinda membuka bungkus kerupuk dengan giginya. Menatap piring nasi goreng ebi yang terlihat menggoda. Sesaat Melinda terdiam. Aroma masakannya terasa berbeda. Namun, karena sudah telanjur merasa lapar, ia tak ambil pusing. “Makan dan tidurlah untuk selamanya.” Naura yang bersembunyi di kamar Suzy, mengintip Melinda yang masih sibuk mengambil air minum. “Nyonya yakin akan berhasil?” tanya Suzy yang sudah tahu rencana majikannya. Baru beberapa saat yang lalu Naura bercerita tentang rencananya meracuni Melinda. “Apa ada yang tidak mati setelah diracun?” Naura tak sabar ingin segera melihat madunya menikmati nasi goreng yang warnanya juga sudah berubah. “Apa aku menambahkan kecap? Warnanya jadi berubah.” Melinda berpikir. Namun, lagi-lagi ia tidak terlalu peduli. Tangannya sudah pun mengambil kerupuk dan menggigitnya. Kemudian menyendok nasi goreng yang sudah diracun itu. Baru hendak menyuap
Gerald menunggu dengan cemas. Dokter masih memeriksa keadaan Melinda yang bahkan belum sadar. Naura yang takut, hanya bisa menangis tak jauh dari Gerald yang resah bersama Suzy. Memerhatikan sang suami yang sangat mencemaskan istri keduanya. “Apa dia baik-baik saja? Jangan-jangan dia sudah memakan nasi goreng beracun itu. Kalau sampai itu terjadi, aku tidak akan memaafkanmu!” tunjuknya pada Naura. “Mas, aku minta maaf. Aku mengaku salah. Aku ... aku tidak bisa berpikir jernih dan sembarangan bertindak. Aku mohon, maafkan aku,” rintih Naura. Tangannya hendak menyentuh lengan sang suami, tapi Gerald menepisnya. Rasa muak dan benci tiba-tiba saja memenuhi hatinya. Tak berapa lama, dokter keluar dari ruangan. Bergegas Gerald menanyakan kabar istrinya yang pingsan tadi. “Kalian tidak usah cemas. Dia baik-baik saja, kok. Malah ada kabar gembira untuk kalian.” Dokter membuka stetoskop. Senyumnya m
Gerald memperlakukan Melinda dengan penuh perhatian. Seperti malam ini, pria itu pulang kerja membawa sesuatu. “Lin!” panggilnya. Melinda yang tengah duduk santai sambil menonton pun mengalihkan pandangan. Tampak sang suami mengangkat plastik putih di tangannya. “Lihat apa yang aku bawa.” Pria itu menyerahkan plastik padanya. “Apa ini, Mas?” Melinda menurunkan satu kakinya dengan hati-hati. “Katanya kau mau mochi,” katanya mengecup sekilas, lantas mengusap perut sang istri. Merasa tak sabar untuk segera bertemu dengan janin dalam kandungannya yang kini berusia 8 Minggu. “Waaahhh! Lihat, Nak. Papa bawakan mochi.” Melinda mengusap-usap perutnya seolah ia tengah berbicara langsung pada sang bayi. Baru tadi pagi dia mengatakan ingin makan mochi, sang suami langsung membelikannya. “Makan yang banyak agar kau sehat. Jangan susahkan Mama, ya. Nanti Papa cubit kalau nakal.” Gerald mendekatkan waj
“Mas, aku ingin makan mie ayam pedas,” kata Melinda, mengelus perutnya yang kian membesar. Usia kehamilannya sudah memasuki enam bulan. “Kau tidak bisa makan yang pedas-pedas, Lin. Kasihan anak kita nanti. Aku belikan yang tidak pedas, ya?” kata Gerald, mengelus perut istrinya. Melinda mengerucutkan bibirnya. Menggelengkan kepala, mulai bersikap manja. Melihat itu, Gerald hanya mengeluh kecil. Dibujuknya sang istri agar menurut, tapi Melinda bersikeras bahwa dia ingin makan mie ayam pedas. “Kau mau anak kita ngiler? Ayolah, Mas. Ini juga belum malam.” Melinda menarik-narik lengan suaminya. Gerald mengangguk lesu. Ia beranjak dari duduknya, mulai mengambil kunci mobil dan dompet. “Sekalian belikan roti bakar, sosis bakar, sama lontong!” teriak Melinda. Gerald tak menjawab. Banyak sekali permintaan istrinya sampai dia bingung akan membeli yang mana lebih dulu. Pria itu segera pergi, tak men
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta