Masalah bertubi-tubi hadir, bertambah besar sampai menelan nyawa sang bapak.
“Semua ini ya salah kamu! Ibu tidak sudi lihat mukamu itu lagi!"Wajah menua dengan kantung mata bengkak itu menunjuk kening Rahma, terus menyalahkan Rahma atas kematian suaminya. Serangan jantung tiba-tiba telah merenggut nyawa kepala keluarga ini. Orang yang paling disalahkan adalah Rahma, karena semua bermula dari kasus rumah tangganya.“Harusnya kamu tenang dulu, bukan gegabah ngundang warga. Begini ‘kan jadinya. Toh kamu bisa bicara dengan Harlan, Safea, biar diselesaikan baik-baik.” Kakak lelaki tertua Rahma menyampaikan pendapatnya.Dua kakak lelaki yang tinggal di luar kota datang, dan pulang tadi, dua hari setelah pemakaman bapak. Mereka pergi meninggalkan kesan kata yang juga menekan letak kesalahan juga ada pada Rahma. Sungguh, tidak ada yang peduli sakit yang Rahma rasakan.Ini bukan perselingkuhan biasa, Mas! jerit batin Rahma. Seberapa keras ia membenarkan tindakannya melabrak dua orang mes*m itu, tetap saja ia dianggap salah.Kalimat perih hanya tertelan dalam benak tanpa ingin lagi ia keluarkan. Walau hatinya belum ikhlas terima dipersalahkan semua orang.Rahma anggap hubungan sudah selesai dengan Harlan, saat lelaki itu terus teriakan talak atas dirinya di depan umum, juga di rumah sakit. Harlan dan Hesti memang menyusul membawa sang mama ke Unit Gawat Darurat, setelah Bu Mira tak sadar bukan hanya karena kambuh asma, tapi terkena serangan stroke ringan.Efek pengakuan Safea dan tuntutannya dinikahi Harlan sungguh dahsyat untuk kedua keluarga itu. Sudah malu, harusnya putus hubungan saja, tapi ini malah semakin malu lagi karena ada jabang bayi di kandungan adik Rahma. Haruskah mereka menambah dosa, dengan mengikat hubungan terlarang itu dalam pernikahan?“Apa, sih, yang ada di pikiranmu, Fea? Tanggung jawab kamu urus anak itu sendiri!” Rahma jengkel, tidak habis pikir dengan apa yang diinginkan Safea.Sangat ngotot ingin dinikahi Harlan, si kakak ipar yang belum resmi jadi mantan suami mbaknya? Ah, yang benar saja. Tidak adakah lelaki lain di dunia selain laki-laki bopeng itu?“Pokoknya ibu tidak mau banyak menanggung malu lagi, kamu gugurkan saja anak itu, Fea. Almarhum bapakmu juga tidak rido sampai begini rusaknya kamu!” Tami sebagai ibu juga tidak ingin itu terjadi.“Iya, Mbak, aku kenal ada dukun kampung yang bisa. Sebelum makin besar perutnya Safea," tambah tantenya Rahma yang sedang ada di rumah mereka saat ini."Kenapa sih pada mikir mau bunuh janin ini?" Safea memeluk perut yang masih kempis, menatap jengah beberapa saudara ibunya yang berpikiran sama.“Mending dibuang daripada jadi istri lelaki bekas kakakmu, Fea.”"Kalau saya, setujunya Fea tanggungjawab urus anak itu, Bu, Tante semua. Gimanapun anaknya gak salah-"“Fea gak mau! Kalo kalian paksa Fea nurut mau kalian, lebih baik aku mati aja!” Gadis itu menghentikan suara Rahma, bangkit dari duduknya, menghentak kaki lari ke kamar.Gaduh di rumah tua ini terjadi lagi melihat kelakuannya."Yasudah! Lakukan apapun maumu, Fea!" teriak Rahma tak bisa menahan geram. Dalam hidup ia merasa sudah luapkan sayang tulus pada adik perempuan satu-satunya itu, tapi perbuatan sudah tak bisa membuat sayangnya kembali seperti dulu lagi."Ini juga gara-gara kau, Rahma!" Bu Tami balik memarahinya."Kenapa jadi aku lagi yang salah, Bu?"Memang kamu yang sudah memulai kekacauan ini! Kamu pikir siapa? Sudah jadi bisa jaga suami! Kamu juga membiarkan adikku dekat dengan laki-laki tidak berguna itu!""Terserah Ibu bilang apa, semua yang aku lakukan pasti salah di mata Ibu."Rahma ke kamarnya menyambar tas. Ia memang tinggal di rumah ini saat bapak tiada sampai tahlilan terakhir semalam. Setelah libur kerja di hari duka lalu, pagi ini Rahma berangkat kerja lagi.Gontai ia mengayuh sepeda butut yang satu-satunya tersisa, setelah motornya dijual Harlan dulu.Rahma sejak kecil dekat dengan bapak, mungkin karena itu ia sedikit tomboy dan labij mirip bapaknya. Kulit Rahma agak gelap, beda dengan Safea yang putih persis ibunya. Pun makin mulus saat Safea remaja sudah kenal dengan beragam produk kecantikan dan perawatan.Rahma yang berbeda pernah jadi bahan bully kalau ia bagai bumi langit dengan Safea. Kata-kata pedas, dan cara ibu membandingkan mereka berdua pun kerap masuk keluar telinganya.Dulu, selepas lulus SMA orangtuanya tiba-tiba saja memberitahu sudah menerima lamaran Harlan, tanpa bertanya keinginan atau pun cita-citanya."Mumpung ada yang mau sama kamu, si Harlan juga sudah kerja. Apa salahnya?" Nada kalimat ibu itu terasa meremehkan, seperti ia tidak bakal laku saja.Namun Rahma tak berdaya menolak, kasihan melihat wajah bapak yang seperti menanggung banyak beban akhirnya ia memilih patuh saja. Rahma muda pun menjalani kehidupan rumah tangga semampunya, belajar dewasa dari waktu ke waktu, terutama sejak kehadiran Azka.Desir rindu pada putra kecil yang masih ditahan di pihak keluarga mertua serasa menyayat hati Rahma. Membuat jiwanya lelah. Lebih lelah dari kaki yang mengayuh sepanjang satu setengah kilometer ini.Di saat sudah kondusif nanti, ia ingin segera membawa Azka bersama lagi.*“Kok sudah kerja? Padahal nggak pa-pa istirahat dulu. Kami tidak apa-apa kamu libur dulu, Mbak, kami paham masalahmu berat bertubi-tubi." Majikan perempuan dengan tatapan iba menyambut kehadiran Rahma di rumahnya.“Kalau nggak kerja saya malah ngelamun terus, Bu."“Ya sudah, tapi jangan paksakan diri, ya. Ibu ga mau kamu sampai sakit."“Iya, Bu. Saya ke belakang dulu.”“Iya, iya.”Sendu mata majikan memandang punggung Rahma yang terlihat layu. Wajah kuyu wanita muda itu masih tampak, tapi ia terlihat berusaha tegar.Kasihan sekali nasibmu, Rahma ....Wanita berkacamata ini tidak bisa membayangkan berat beban pembantunya itu, sudah melihat suami berbuat tak senonoh dengan adik sendiri, lalu ditinggal bapak untuk selamanya, cobaan bagai ditimpa reruntuhan langit. Amat berat.Rahma segera sibuk mengambil alih pekerjaan rumah ini, dari mencuci perkakas dapur bekas makan majikan di wastafel, lalu membersihkan dalam rumah mulai depan sampai gudang. Kamar mandi pun tak lepas ia sikat dan kuras isi baknya.Keringat mengucur membasahi bajunya tak dipedulikan. Semakin bergerak kian ia merasa lepas beban hati.Energinya mau ia tumpahkan untuk bekerja, dibanding membuang percuma memikirkan apa yang sudah terjadi.*Rumah sakit tempat keluarga Rahma datang kembali dengan wajah-wajah cemas. Safea dikabarkan nekat minum banyak obat sakit kepala bertanda lingkar merah di kamar tadi. Obat keras itu sempat tertelan saat aksinya dihentikan saudara yang mendobrak pintu.Gadis itu marah dihentikan, bersikeras ingin mati hingga jatuh tidak sadarkan diri.Keluarga Bu Tamu menelepon Harlan, meminta pertanggungjawabannya.Di lain tempat, masih di rumah sakit yang sama, Harlan tengah menjaga ibunya di ruang rawat bagian syaraf. Ia belum menemui Safea karena masih terpukul melihat sang mama. Wanita yang selama ini banyak mendukungnya masih belum bisa bangun.Terpekur di tempat, lelaki pengangguran ini menyimpan amarah mendalam pada Rahma."Dasar Terasi! Ini semua gara-gara dia!" desisnya mengepal tangan.Tak lama, matanya berubah menyipit, mengingat sosok Safea yang menarik. Tubuh sintal semua bagian yang disukainya padat berisi.Pikiran tentang keindahan Safea menyambung pada kondisi sulit Harlan sekarang. Safea bisa dengan mudah ia manfaatkan. Lalu senyum tipis terbit di bibirnya yang lebar.Ada rencanakan lama yang belum selesai. Harlan terkekeh tanpa suara sambil mengusap wajahnya.*“Sudah, Mbak Rahma. Besok lagi.”Majikan tidak tahan melihat Rahma tanpa henti mengerjakan semua, ia mendatangi Rahma yang tengah menggosok pakaian di ruang setrika.“Nggak apa-apa, Bu ….” Dari jawaban tersendat-sendat sudah jelas kalau Rahma sangat lelah.“Ini gajimu bulan ini, saya kasih dulu sekalian buat bantu nanti tujuh hari bapakmu.”Tergagap Rahma menerima. “Tapi inikan belum tanggal 17, Bu.” Mengingat masih lima hari lagi tanggal gajiannya.“Tidak apa saya kasih sekarang saja. Mbak Rahma pulang aja istirahat. Gosokkan sisanya buat dikerjakan besok lagi."Setelah menyimpan amplop ke saku baju baby doll'nya Rahma kembali lanjutkan pekerjaan.“Sisa sedikit lagi, kok, Bu.”“Kamu jangan terlalu memaksa diri. Sekali-kali sayangi diri sendiri, Mbak. Kamu itu aslinya manis hanya cuek dengan apa yang dipakai.”Rahma menaruh alat gosokan, lalu melihat penampilan diri yang memakai pakaian kusam.“Ada kalanya kita menjaga penampilan supaya yang lihat itu merasa senang. Mata senang, hati jadi adem, gitu,” lanjut majikan yang masih menarik di usia menua, membuat Rahma mengangguk dan tersenyum sedikit malu. Secara penampilan ia memang kalah jauh dari sang majikan.“I-iya, Bu.”“Sudah sana, tinggalin aja, besok lagi.” Rahma terpaku melihat majikannya mengambil alih setrika, mencabut kabelnya. “bukannya ngusir, ya, Mbak, tapi apa kamu nggak mau ketemu Azka? Belikan apa kah dari duit di amplop itu.” Lirik jenaka wanita ramah itu pada kantong baju Rahma yang menebal.Mau tak mau garis bibir Rahma melengkung ke atas.“Terima kasih banyak, Bu. Iya, saya mau belikan mainan sama susu buat Azka.” Girangnya hari Rahma bisa pulang sebelum sore hari. Biasanya pulang pukul empat atau setengah lima setelah membantu siapkan makanan malam. Sekarang masih jam dua siang.“Eh, Mbak Rahma.”“Iya, Bu?”“Kamu nggak mau kan nanti Azka nolak dipeluk karena bau keringat?”Rahma melihat penampilan sendiri. Tubuhnya memang basah keringat sejak pagi tadi.“Di depan kamar mandi itu ada baju bekas anak saya, kamu mandi dulu. Nanti sepedanya tinggalin aja, pakai motor hitam di garasi. Kuncinya di meja,” kata wanita itu lagi, membuat Rahma tercengang sekaligus senang.Rahma mengiyakan sambil berterima kasih.Usai mandi Rahma pergi menggunakan motor sang majikan. Padahal tadinya ia mau naik angkutan kota saja ke rumah mantan mertua yang cukup jauh jaraknya dari sini.Dunia itu berwarna, di antara orang-orang tidak baik, pasti ada satu atau dua orang lain yang kebaikannya tak pernah terterka. Karena itu Rahma semakin optimis dengan harinya bersama Azka ke depan.Ia yakin, pasti masih ada banyak orang baik yang akan membantunya suatu hari nanti. Manusia-manusia berhati malaikat seperti sang majikan.Bersambung ….'Kakaknya gampang dibodohin. Apalagi adeknya mudah banget dikibulin. Goyang dumang dikit aja udah mangap-mangap dia, hahaa.'Kikik geli lelaki berwajah bopeng mengingat perbuatan mesumnya. Merasa diri paling tampan sedunia bisa mendapat gadis secantik Safea. Hubungan mereka berawal dari aroma badan wangi Safea. Gadis yang suka berpakaian ketat menyesakkan dada itu selalu wangi saat ke rumah, itulah awal ia melancarkan pendekatan.Harlan coba ngobrol mepet-mepet, atau sentuhan sedikit berpura tak sengaja. Melihat Safea merespon hanya dengan senyum, mulailah aksi colekan disengaja, kontak yang perlahan meningkat ke kontak fisik lebih dalam.Hubungan sembunyi-sembunyi dan sedikit sandiwara di belakang istri, ternyata memacu adrenalin Harlan naik level paling tinggi. Membuatnya candu hingga hubungan lebih terjadi.Bukannya menghindar, Safea justru datang lagi datang lagi. Seakan memancing hasratnya melihat pakaian serba kurang bahan.Senyum tipis khas Harlan Wijiyono tertarik ke sudut."
Telah resmi ketuk palu perceraian tidak membuat Rahma lepas dari bayang buruknya sikap mantan suami.'Asal kamu tau, adikmu itu gak sebaik yang kalian kira. Coba mikir, mikiir, masa baru sebulan sama aku perutnya sudah mblendung buncit? Gobl*k memang kalian semua!'Di hari putusan sidang, malam-malam Harlan menelepon Rahma hanya untuk bilang itu. Manusia tidak punya hati! Sudah menghancurkan Safea dia juga merendahkannya seolah sampah tidak berguna.Rahma menyampaikan perkataan buruk dan sikap lelaki itu pada ibunya, tetapi justru tak mendapat respons. Tami malah membela Harlan yang berniat baik, mau bertanggungjawab atas kehamilan Safea.“Sebaiknya Ibu pikir lagi melanjutkan pernikahan Safea-” "Kenapa kamu yang repot Rahma?! Urus saja hidupmu sampai benar dulu!"“Bu, selain ini memalukan. Safea masih ada kesempatan perbaiki kesalahannya agar lebih baik. Menikahi Mas Harlan justru akan membuatnya makin nggak bener.”“Kamu yang sudah buat semua ini lebih tidak benar! Coba pikir, ini a
“Syukurlah kakinya gak apa-apa ya Bos. Aku sempat kira patah semalam.” Lelaki gemuk bicara sambil melihat pria gondrong di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.“Motornya enggak rusak parah, kan?” Pria bernama Dimas itu menepuk bahu pegawai sekaligus temannya.“Gak sih, langsung ke bengkel tadi. Sudah bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”“Ya sudah, tinggalin aja aku, thanks udah bawa baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu di sini.”“Siap, Bos.” Lelaki itu memberi hormat layaknya pada komandan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Perhatian banget, awas pake hati loh.”Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki berwajah jenaka itu malah terkikik geli.“Mbaknya manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lebar tanpa suara sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan ke arahnya.Sepeninggal temannya Dimas pun masuk rawat. Sedikit terkejut ia melihat wanita di bed sudah duduk sambil melihat baluta
Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukkan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.“Berapa semua?”Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah tertera, karena Rahma memaksa. "Ini saya simpan ya, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya.""Tolong jangan formal sama aku, Rahma. Kamu ngejek karena aku kelihatan tua, kan?""Bukan begitu, Pak-""Aku belum menikah dan merasa insecure kalau dipanggil begitu. Tolong sebut Dimas saja. Ok?"Mengernyit kening Rahma pun akhirnya mengiyakan. Mereka meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma menyebut jalan arah rumah yang akan dituju. Dia akan mampir sebentar mengabarkan musibah ini pada majikan, sekaligus menyelesaikan urusannya dengan Dimas.“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna
Dari sedan merah itu turun seorang lelaki berkacamata hitam, lalu gadis berambut sebahu bersamaan dari pintu sebelahnya. Dua orang tersebut langsung melihat Dimas dari atas sampai bawah. Penampilan sekilas urakan membuat dua pasang mata itu menyipit. Sinarnya meremehkan orang yang sedang dipandang.Dimas melangkah mendekat dengan sikap santun. “Maaf, apa Mas sama Mbak keluarganya Rahma?” Pertanyaan itu dibalas tatapan sinis dua orang yang langsung melihat arah Rahma, terhenti pada kaki dan tangan wanita itu yang terbalut perban.Tak mau membiarkan sesuatu terjadi, Rahma segera mendekat, mengabaikan nyeri kakinya yang dipaksa melangkah cepat.“Ngapain ke sini?” tanyanya pada lelaki bopeng yang tak lain adalah Harlan.“Ngapain, kamu bilang? Cih! Ini rumahku!” sergah Harlan kasar.Dimas terdiam, memerhatikan konflik itu. Ia merasa tidak nyaman berada di tengah mereka yang sepertinya punya masalah pribadi.“Kamu itu sudah bukan istri kakakku lagi, nggak malu apa tinggal di rumah orang?”
Harlan ribut menuding Rahma berselingkuh dengan Dimas.“Maaf bapak-bapak, omongan orang ini kacau. Jangan percaya. Saya ini bertanggung jawab setelah mobil saya menabrak Mbak Rahma, kami baru kenal,” jelas Dimas.Bagaimana tidak, alasan Harlan mendua karena membalas sakit hati Rahma yang lebih dulu mengkhanatinya dengan Dimas, lelaki yang dijulukinya si Gembel atau si Preman. Mungkin melihat penampilan lelaki gondrong itu yang membuatnya menilai demikian.“Tenang aja, Mas. Kita tau kok gimana suaminya Rahma itu.” Seorang bapak menenangkan Dimas, lalu sedikit bertanya mengenai kejadian kecelakaan yang dimaksud.“Syukurlah mas bertanggungjawab, Mbak Rahma ini sedang banyak masalah. Kasihan. Dalam waktu berdekatan dia itu kena musibah berturut-turut, Mas,” timpal ibu lain sembari ceritakan masalah Rahma beberapa waktu ke belakang.Dimas tercekat mendengarnya. Hati nuraninya bergetar.'Inilah jawaban dari tatapan kosongnya …?'Di balik itu, ia merasa kagum. Tergambar jelas betapa sosok R
Sejak tadi Dimas mau bertanya ke mana arah mereka tuju sekarang, tapi Rahma yang sebelumnya tegar, begitu mobil menjauh dari rumahnya langsung terisak sampai sesenggukan. Bahunya berguncang terlihat begitu menyakitkan apa yang ia rasa saat ini.Dimas mengatup mulut rapat membiarkan wanita itu mengeluarkan semua beban dalam tangisnya. Ia tidak bisa apa-apa, hanya terbawa sendu suasana dengan sengaja menginjak gas perlahan. Saat tidak tahu akan ke mana arah mereka, ia mengemudi berputar dua kali di jalan raya yang sama.Jiwa lelakinya ingin sekali melindungi wanita di sebelahnya ini, tapi tertahan karena mereka belum 24 jam mengenal. Seandainya sudah akrab, ingin sekali Dimas merelakan bahu tempat Rahma bersandar membagi beban.“Hm, Rahma, ini mau aku antar ke mana?” Dimas baru membuka suara setelah Rahma tampak sudah menguasai diri. “… mm-maaf, ya,” ucap Rahma menyadari dirinya sudah membuat lelaki di sebelahnya ini bingung. “Aku sebenarnya belum tau akan ke mana … bisakah kau carikan
“Lega Sayang akhirnya kita resmi jugaaa ….” Tangan Harlan tak mau lepas dari pinggang istri barunya yang tengah membersihkan wajah dengan susu pembersih.“Beneran ya, Mas Har, janjinya.” Bibir sudah bebas lipstick itu manyun dua senti, ingin memastikan janji lelaki ini akan ditepati. Harlan yang gemas segera menyerang bibir Safea dengan mulut lebar miliknya.“Mmmh, ugh, sabar dong, Mas ....” Perempuan berwajah imut itu mendorong dadanya sampai mundur. “Janjinya?”“Iya, iya. Kamu tenang aja, itu semua gampang kalau mas tamvanmu ini yang urus.” Harlan menepuk dada.“Awh ….” Bibir kembali diterkam singa jantan itu, Safea jadi mengaduh berkali-kali.Harlan mengangkat tubuhnya sedikit melemparkan ke peraduan empuk. Lelaki itu berubah buas saat melihat sosok menggoda mata yang kini resmi jadi miliknya. Seorang istri yang bebas ia sentuh kapan saja saat suka.Tercapai sudah rasa ingin memiliki perempuan berisi itu secara utuh. Namun, puluhan menit kemudian usai terkulai lemas, dalam hati H
"Ada apa?" Dimas mendorong dua pundak Safea untuk melepaskan diri."Ada orang ngejar aku, Mas ... makanya aku lari ke sini ...." Safea kembali memeluknya.“Sebentar, sebentar.” Merasa risi, Dimas menjauh sambil memanggil Rahma. “Sayang, ini ada adekmu,” ujar Dimas pada istrinya di kamar.Rahma langsung keluar, menghampiri Safea dengan wajah terheran-heran.“Safea? Ngapain kamu sampai ke sini?”“Mbak ... aku diganggu orang, makanya tau Mbak Rahma nginap di sini aku lari ke sini. Tolong aku, Mbak … biarkan aku di sini malam ini aja ....” Safea meminta tumpangan nginap sampai pagi, karena merasa diri sedang tidak aman keluar. Mendengar itu tubuh Rahma langsung membatu. Hatinya memang tersentuh, takut Safea benar dalam bahaya, tapi sisi lain ia juga tak ingin kembali dibodohi. Sebelum pernikahan ini terjadi Safea pernah datang ke rumah Dimas, merayu pria itu dengan sangat murahan dan memalukan dirinya sebagai kakak. Untunglah Dimas tahu kelakuan adiknya itu, ia langsung menegur keras a
Besok akad nikah Rahma-Dimas akan dilaksanakan. Malam ini dua calon pengantin itu merasakan gugup teramat sangat.Rahma merasa terus ada yang geli merayap di perut, seperti baru pertama menjadi calon pengantin saja. Bibirnya senyum-senyum sendiri membayangkan akan menjadi istri seorang Dimas Jayadi. Ia berbaring di kasur sudah sejak tadi, tapi sulit memejamkan mata. Kesendiriannya karena Azka memilih tidur bersama sang nenek membawa seraut wajah Dimas menari-nari di pelupuk mata. Geli mengingat peristiwa sore kemarin, di hari terakhir pertemuan mereka sebelum resmi besok. Saat ia minta waktu bicara berdua dengan Dimas.“Sebelum semua terlanjur, apa kamu nggak akan nyesal akan menikahiku, Mas?”“Kenapa? Kamu masih ragu?” Dimas langsung menanggapi serius, dengan menatap manik mata Rahma dalam-dalam.Terdiam sesaat, perempuan kuat ini menata kata yang tepat untuk mewakili sedikit ganjalan di hati.“Aku hadir dalam hidupmu bersama Azka, dua orang yang nggak mungkin terpisah. Apa hati Ma
Sekilas Rahma melirik dua orang pengunjung di belakang Harlan, yang langsung memberi kode anggukan kepala padanya."Baiklah, Mas. Nggak usah lama-lama. Ini uangnya." Rahma merogoh tas, seolah akan mengambil uang. Harlan pun tersenyum-senyum tak sabar."Aaagg!" Bukan uang yang diberikan tapi tempelan senjata kejut listrik pada tangan membuat Harlan sontak memekik.Di saat terkejut dan lengah itulah dua orang petugas yang menyamar jadi pengunjung tadi langsung mudah menyergap, dan mengunci tangan Harlan ke belakang. Borgol besi segera menyatukan dua pergelangan di belakang punggungnya. “Apa-apaan ini! Rahma!” bentak lelaki bopeng itu.“Anda ditangkap dengan tuduhan melakukan penipuan, dan pemerasan.” Petugas menyebut singkat kasus yang dilaporkan belakangan ini.Harlan mengelak, tapi dua petugas itu tetap tegas akan mendengar penjelasannya nanti di kantor polisi saja. Tim lain masuk bantu menyeret Harlan keluar.Lelaki yang pernah merasa hitup di atas angin itu segera menembakkan ka
Rahma mulai menjalankan rencana yang menjadi bagiannya. Ia harus negosiasi dengan Harlan yang menuntut segera ditransfer. Sudah Rahma minta mereka bertemu di suatu tempat. Namun ternyata bukan hal mudah, lelaki itu malah mencurigai maksudnya.“Jangan banyak omong! Cepat transfer ke rekeningku!” pekik Harlan dalam sambungan telepon. Setelah berulang kali dihubungi baru sekarang panggilan Rahma diterima.“Mas, aku sudah berbulan-bulan nggak ketemu Azka, biarkan kami ketemu sebentar aja. Kali ini aja, Mas, skalian aku kasih uangnya.” Tak ingin kalah licik, Rahma membuat suara sesedih mungkin. “Aku ... akan tambah sepuluh juta kalau Mas Harlan bolehkan. Mas Harlan, tolong ya ... aku ngerasa bersalah sudah lama nggak ketemu Azka ...." Hening sejenak. Harlan tergiur tambahan 10 juta yang sangat sulit didapatnya akhir-akhir ini.Harlan menggaruk dahi. “Baiklah, ketemu di mana?” jawabnya kemudian.Rahma langsung menyebut tempat yang pernah direkomendasi Dini kalau mereka bertemu, tapi Harl
Menghela napas sejenak Dimas tersenyum kemudian menjawab, “Jay nurut saja, asal Mami bahagia.” Ia mengecup punggung tangan maminya. “Jay mau nengok kerjaan di kantor dulu, Mi, nanti ke sini lagi.”“Ya, Nak. Hati-hati di jalan.” Dimas mencuci muka di kamar mandi, lalu keluar sambil menguncir rambutnya. “Sebentar.” Bu Hakim menarik tangan Dimas keluar kamar. “Kenapa, Mi?” Pria tersebut kulitnya lebih legam bekas berjemur di pantai selama dua hari pergi, ia tampak bingung maminya menarik ke dapur seperti mencari seseorang, tapi kembali lagi ke ruang tengah.“Itu.” Langkah Bu Hakim terhenti melihat Rahma keluar dari kamar dengan pakaian rapi, sepertinya akan keluar rumah. “Dimas? Alhamdulillah, syukurlah kamu sudah pulang,” ujar Rahma cepat menguasai diri dari rasa terkejut melihat pria itu.Karena Dimas malah terpaku memandangnya Rahma langsung pamit pada Bu Hakim. “Saya mau keluar sebentar, Bu.” Ia menangkup tangan sebelum berbalik. Tak nyaman terjebak canggung antara dirinya, Bu
Lelaki berambut gondrong itu duduk selonjoran pasir, mengatur napas yang ngos-ngosan usai lari tanpa henti di bibir pantai. Ia membuang energi negatif dalam dirinya dengan berolah raga begini.“Mau sampai kapan di sini, Bos? Kasihan tuh yang pada nyariin.” Anto menghampirinya.“Gimana kerjaan, An?”“Masalah kerja brebes, Bos. Anto ini sudah pasti bisa dipercaya,” sombongnya menepuk dada.Senyum yang diharap terbit di bibir Dimas tak didapat jua. “Kenapa sih tiap tertekan harus pergi? Mbak Dini bilang mami Bos kurang sehat, tuh, titip pesan kalau ketemu disuruh pulang.”Dimas menatap teman sekaligus assistennya itu sebentar. Ini salah satu risiko memutuskan pergi, pasti maminya sedang kalut sekarang. Acara tinggal dua hari.Dimas beranjak berdiri, menepuk bahu sobatnya itu. “Ayo!” ujarnya membuat lelaki di sebelahnya menganga.“Maksudnya, pulang nih?” goda Anto. “Hm, kamu mau gantian di sini?” balas Dimas cuek sambil melangkah cepat.Anto tersenyum geli, ia bersusaha menjajari langka
“Maksudnya apa ini, Mas Harlan?!”[Hei, rindunya aku dengar kata ‘Mas Harlan’ dari bibirmu, Rahma … tapi nggak usah semarah gitu juga. Aku mantan suami sekaligus masih adik iparmu lho. Aku sengaja bawa Azka keluar. Jalan-jalan biar bisa main kayak anak-anak lain, tapi kami kehabisan duit.]“Azka dibawa main ke mana?”[Hm, belum bisa main ini kami masih nepi di jalan …][Kamu kirim uang dulu buat Azka]“Aku akan kirim 200 ribu, tapi habis itu Mas cepat bawa Azka pulang. Mainnya biar diantar Ibu aja.”Terdengar cengengesan tawa Harlan di sana. [Mana cukup segitu, Maniis … aku minta kamu kirim lima juta, Rahma. Kami tunggu!]“Gila! Kamu mau memerasku?!”[Hehehe. Biasa aja, Manis. Kalau kamu nggak kirim, aku sama Azka akan tahan makan sampai kelaparan di jalan. Kamu mau kami ma-] “Awas kau, Harlan! Kalau Azka kenapa-kenapa, aku nggak pikir panjang membalasmu!”[Uww, takut. Hahaa. Cepat kirim uangnya Rahma! Aku serius ini!]Panggilan terputus. Detik kemudian pesan masuk berisi nomor reken
Pentungan besi satpam tepat mengenai jari Nadine, berhasil membuat pisaunya terlempar jauh. Gadis itu mengerang dan meloncat-loncat menahan nyeri.“Tolong mbaknya!” Beberapa orang masuk langsung membantu Rahma bangun, dan diobati lukanya.“Mam-mi …??” Seketika tubuh Nadine membeku melihat ada Bu Hakim di depan pintu, tengah menatapnya kecewa. “Se-sejak kapan Mami di sini?”“Kamu angkat tangan!” Satu dari tiga orang laki-laki membawa borgol meneriakinya. “Bawa dia ke kantor polisi!”“Saya nggak salah, Pak! Dia itu janda gatal! Dia sembunyikan calon suami saya!”“Nanti Mbak jelaskan di kantor saja,” tegas mereka tetap memborgol dan menggiringnya keluar.“Mi, tolong Nadine, Mi! Aku ini calon istri Jay, Mi!”Sayangnya Bu Hakim tak sedikit pun mau melihat wajahnya. “Mi! Ini semua juga gara-gara Mami! Gara-gara Jay!! Kalian semuaa!” pekik gadis itu terus histeris sampai di lantai bawah.Beberapa orang kembali turun usai Rahma mengatakan dirinya baik-baik saja, dan menolak ke rumah sakit. T
Harlan datang ke rumah Bu Tami dengan gaya khasnya, seolah lelaki tertampan sedunia.Kehadirannya disambut raut masam dua perempuan yang duduk di ruang tamu.“Woi! Kenapa lihat aku begitu? Mana Azka?” tanyanya sambil celingukan.Safea buang muka lantas gegas ke kamar. Ia sudah lama muak lihat wajah Harlan. Tidak mau lagi berurusan dengan lelaki yang menolak menceraikannya itu.“Azka lagi tidur. Kenapa? Tumbenan ingat rumah ini?” Bu Tami bersedekap.“Lah, lah? Apa maksud Ibu? Oh, pasti Ibu mau halangi aku temui Azka, hum?”Alis lelaki itu naik sebelah. “Aku rindu anakku sekarang. bukan rindu istri cantikku yang hobi manyun itu.”“Kenapa baru sekarang anggap Azka anak? Mana tanggung jawabmu setelah berapa lama hilang?”Seminggu sejak keributan parahnya dengan Safea, Harlan memang tak pernah muncul batang hidungnya, lalu sekarang datang seolah tak bersalah.“Itu urusan pribadi, Bu. Nggak perlu juga kali aku jelaskan.” Ia melewati begitu saja Bu Tami yang melarangnya ke kamar Azka.“Mau ap