Radit merasa geram melihat Rangga berdiri di sana. Dia yakin jika pria itu ingin menjemput Kinan."Ngapain kamu di sini?" tanya Radit ketus."Mau jemput Kinan." sahut Rangga cuek.Radit memasang tampang tak suka. Dia tak ingin rencananya mengajak Kinan makan di luar sekaligus menyatakan perasaannya gagal begitu saja."Kinan pulang bareng aku, kami mau mampir dulu buat makan," ucap Radit."Baiklah, aku ikut kalian," ucap Rangga terlihat santai.Radit sudah tak dapat menahan diri lagi, rahangnya mengeras menahan emosi melihat Rangga yang bersikeras mengganggu rencananya."G*la kamu ya? Pergilah dan jangan membuatku terpancing emosi karenamu," ucap Radit penuh tekanan.Kinan tampak berjalan keluar dari dalam kilinik. Dahinya mengernyit kala melihat Radit dan Rangga sedang berbicara berdua."Mas Rangga?" ucap Kinan."Iya, Kinan. Sengaja aku datang ke sini untuk menjemputmu," ucap Rangga penuh harap."Tapi aku ada janji sama Mas Radit, kami mau makan di luar," jawab Kinan."Kinan, kamu gak
Kinan pulang saat senja sudah menyingsing, Ranti menyambutnya dengan tersenyum sinis."Tumben baru pulang, sengaja ya mau menghindar," cibir Ranti."Oh iya, tadi sekalian mampir diajak Mas Radit makan di luar," jawab Kinan mengelak tuduhan kakaknya."Alasan saja!! Tapi gak apa-apa sih, ada berita baik yang harus aku sampaikan," ucap Ranti."Berita baik? Apa itu, Mbak?" tanya Kinan."Pernikahanku dan Mas Bagas akan diadakan sebulan lagi dan dia akan tinggal di sini setelah menikah nanti," ucap Ranti tersenyum puas."Apa?! Kamu gak salah, Mbak?! Kenapa kalian tidak tinggal di rumah Mas Bagas saja atau ngontrak, kek?" tanya Kinan tak percaya."Kamu mengusirku? Ini rumah Ibu bukan rumah Bapakmu jadi jangan sok deh kamu," ujar Ranti sengit."Bukan begitu, Mbak. Aku dan Mas Bagas pernah menjadi suami istri, aku takut jika—," ucapan Kinan terpotong oleh Ranti."Apa?! Kamu takut jika Mas Bagas akan tergoda lagi denganmu, begitu? Jangan ngimpi deh kamu ... justru Mas Bagas memikirkan kebaikan
"Bu, kami minta tanda tangan untuk prosedur yang akan dijalani," ucap seorang perawat pada Kinan.Segera dihapusnya matanya yang masih basah. Kinan bingung dengan perkataan perawat itu, dia merasa tak punya hak untuk mengambil keputusan."Saya bukan anggota keluarganya, Sus. Tapi saya akan menghubungi istrinya agar bisa segera datang ke sini," ucap Kinan."Baiklah, Bu. Kami tunggu kabar secepatnya ya agar pasien bisa segera ditindaklanjuti," ucap perawat itu."Iya, Sus." sahut Kinan.Perawat itu kemudian masuk ke dalam dan keluar lagi membawa ponsel milik Rangga."Bu, ini ponsel milik pasien. Saya minta tolong Ibu menyimpannya karena barusan ada telepon masuk tapi kami belum sempat mengangkatnya," ucap perawat itu.Benar saja tak lama perawat itu pergi, ponsel itu kembali berdering dan Kinan langsung mengangkatnya."Nak, kenapa teleponnya tak diangkat? Dari tadi Ibu menghubungimu, perasaan Ibu tidak enak takut terjadi sesuatu sama kamu," ucap seorang perempuan di seberang sebelum Kina
Bu Yuni dan suaminya membawa Andika-anak Rangga dan Risa-ke rumah sakit di mana Rangga dirawat.Risa menunggu kedatangan putranya itu dengan jantung berdebar. Belum hilang rasa khawatirnya terhadap Rangga kini ditambah putranya yang kondisinya semakin buruk."Ris, kalau bukan karena kamu yang memaksa Mama, males Mama bawa Andika ke rumah sakit. Sakit panas doang kasih obat warung juga sembuh, kemayu banget jadi orang." gerutu Bu Yuni setibanya di rumah sakit."Bu, sakit panas yang tak kunjung sembuh bisa ada indikasi penyakit lain yang belum terdeteksi, Bu," ucap Bu Lina menyahut.Bu Yuni yang tak menyadari keberadaan Bu Lina-besannya-menoleh kaget. "Eh, ada besan di sini? Gimana keadaan Rangga? Nanti kalau Rangga sudah sembuh, suruh balikan aja sama Risa, kasihan sama Andika. Mungkin anak itu sakit karena memikirkan orangtuanya," cerocos Bu Yuni."Soal itu kita pikirkan nanti saja, Bu. Yang terpenting sekarang Dika segera mendapatkan pertolongan dari Dokter agar diketahu penyebab sa
Malam ini Kinan tak dapat tidur. Bayangan Rangga seakan tak berhenti berkelebat di alam pikirannya. Rasa khawatir dan cemas masih jelas tergambar di wajah ayunya.Bu Rina mengamati putrinya dalam kegelisahan. "Kenapa, Kinan? Masih mikirin Rangga?" tanya Bu Rina."Iya, Bu. Eh eng-enggak," sahut Kinan mencoba berkilah.Bu Rina tersenyum dengan gelagat putrinya, dia tahu apa yang saat ini ada di dalam pikiran Kinan."Wajahmu itu tidak bisa berbohong. Kamu khawatir dan kamu masih cinta dengan Rangga meskipun kamu mencoba untuk menutupinya." ucap Bu Rina."Iya, Bu. Itu benar tapi aku dilema dengan perasaanku. Mas Radit juga menyatakan cintanya kepadaku. Tapi yang terpenting saat ini adalah kesembuhan Mas Rangga," tutur Kinan.Bu Rina tak merasa heran karena dia tahu dengan hanya melihat perhatian Radit selama ini kepada Kinan.****Pagi itu Kinan masuk kerja seperti biasanya, namun dia tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi.Kinan tak menyadari Radit mengamatinya saat sedang menyiapkan obat.
"Mas, ini aku, Kinan. Aku sangat mengkhawatirkanmu, tolong jangan seperti ini. Kamu kuat, kamu pasti bisa melewati semua ini. Berjuanglah, Mas ... aku yakin kamu bisa bertahan," bisik Kinan di telinga Rangga.Tak ada reaksi dari Rangga, bahkan saat Kinan menggengam erat tangannya. Tubuhnya tetap dingin terbujur kaku tanpa ada reksi.Semakin deras tangisan perempuan itu. Dia takut, teramat sangat takut kehilangan pria itu dengan cara seperti ini, tanpa sempat mengatakan jawaban yang dimintanya.****Radit menuju kantin yang ada di rumah sakit itu. Saat dia ingin membeli minuman, dia melihat Risa duduk seorang diri di sudut ruangan, wajahnya menghadap jendela yang memberikan pemandangan malam kota itu.Radit menghampiri Risa untuk bertanya sesuatu. Namun begitu mendekat, dia melihat perempuan itu terisak lirih."Risa?" lirih Radit.Risa menyeka air matanya secara cepat saat menyadari kedatangan seseorang."Mas Radit? Kenapa ada di sini?" tanya Risa mengalihkan perhatian."Aku ingin mem
"Dok, tolong periksa suami saya, Dok?" seru Risa cemas."Apa pasien tadi bereaksi atau memberikan respon, Bu?" tanya Dokter itu."Iya, Dok. Tadi suami saya menggerakkan jari-jarinya, dia juga mengeluarkan air mata," ucap Risa.Dokter itu memeriksa Rangga dengan seksama. Dia mengecek denyut jantungnya, tekanan darah hingga sistem pernafasannya."Apa tadi Ibu mengajak pasien mengobrol atau bercerita?" tanya Dokter itu lagi."Iya, Dok. Saya memang mencurahkan isi hati saya kepadanya, selain itu saya juga mengatakan tentang anak saya yang sedang sakit saat ini," jelas Risa."Pasien masih koma, Bu. Yang Ibu liat tadi adalah reaksi emosi pasien. Meskipun dia masih tak sadarkan diri, tapi dia dapat mendengar setiap perkataan orang-orang di sekitarnya. Jadi saya harap Ibu bisa memberikan motivasi atau bercerita tentang hal-hal yang positif," jelas sang Dokter.Risa mendengarkan penjelasan Dokter itu. Dia ingin suaminya bisa lekas sadar dan sehat seperti sediakala.****Radit menyempatkan diri
Malam itu Kinan berpikir tentang banyak hal. Dia sedih karena melihat Andika begitu terpukul dengan perpisahan orangtuanya. Kinan tak menyangka dampak dari perbuatannya akan melukai banyak orang, bahkan seorang anak kecil tak berdosa pun ikut merasakannya.Penyesalan itu datang saat Kinan mengetahui cinta Rangga begitu besar padanya. Tapi dia tak mau bersikap egois lagi. Sebuah keputusan telah diambilnya demi untuk kebaikan semua orang.Pagi itu Kinan sudah bersiap untuk berangkat kerja. Sebuah panggilan masuk melalui ponselnya."Mbak Kinan, tolong beritahu Ibu kalau Mas Rangga sudah sadar," ucap Lia di seberang sana."Alhamdulillah ... iya setelah ini Mbak akan memberitahu Bu Lina kabar baik ini," jawab Kinan dengan senyum terukir di wajahnya.Kinan terkejut dengan berita itu. Perasaaan haru dan bahagia bercampur menjadi satu, dia merasakan kelegaan setelah beberapa hari tak bisa tidur karena rasa khawatir.Kinan lantas berpamitan pada Ibunya dan mencium pipi gembul anaknya yang masi