"Sakit kamu bilang, apalagi yang dirasa anak Mira, yang sampai mengeluarkan darah. Sedangkan tamparan ku ini tidak sampai mengeluarkan darah, tapi kamu bilang sakit, Susi. Tidak seperti yang anak Mira alami. Kamu itu pantas mendapatkan semua ini, kamu itu sudah keterlaluan, kamu telah kurang ajar, Susi! Tidak puaskah kamu terus mengganggu, Mira? Bahkan kamu selalu membuat ulah, serta kamu selalu membuat aku malu, hah!" Mas Hamdan memarahi Susi di depan orang banyak.Sedangkan anakku diobati oleh para tetangga, yang selalu baik padaku. Karena tidak semua orang bersifat seenaknya, ada juga yang masih menghargai satu sama lain."Mas, kenapa kamu selalu membela Mira? Aku melakukan semua ini juga karena ulah dia, yang telah lancang menceritakan semua yang aku katakan sama kamu. Aku tidak suka kamu terus berdekatan dengan dia, Mas. Bukankah kamu tau itu?" tanya Susi kepada Mas Hamdan, sambil berderai air mata."Susi, sadar kamu! Karena rasa cemburu buta yang kamu rasa, kamu telah begitu ja
Mas Hamdan sudah bener-bener membenci istrinya, sampai-sampai ia tidak membantu istrinya tersebut. Bagitu terserah saja, Mas Hamdan mau membantu Susi ataupun tidak. Karena yang terpenting bagiku, Susi harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya."Sekarang aku minta, supaya kamu segera membawa anakku berobat. Sebab aku tidak mau, jika anakku sampai terjadi apa-apa dikemudian hari." Aku meminta, supaya Susi segera membawa anakku berobat."Iya, Mira, tunggu aku akan mencari uangnya dulu!" Susi berkata sambil berdiri dan hendak pergi."Ok, aku tunggu seperempat jam, jika sampai seperempat jam kamu belum datang juga. Aku akan laporkan semua ini ke pihak yang berwajib," ancamku.Aku sengaja mengancamnya, supaya dia mempunyai efek jera. Karena semua perbuatan akan ada konsekuensinya."Iya, Mira, tapi aku minta waktu setengah jam ya! Karena mencari uangnya pun tidak gampang," pinta Susi."Bukannya kamu itu orang kaya ya, Sus? Kok harus mencari uangnya dulu," tanyaku meledek."Yang Kaya i
Aku pun langsung mengusap dada lalu beristigfar, supaya aku bisa menahan emosiku yang kini mulai tidak stabil."Terserah apa katamu, Mbak, yang penting aku tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Toh ada saksi-saksi juga kok, termasuk Mas Hamdan suaminya Susi sendiri. Jika Mbak merasa tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan, silakan Mbak tanya langsung suaminya Susi. Apa aku meminta bayaran atas kecelakaan yang anakku alami atau tidak? Karena aku tidak merasa meminta bayaran atas apa yang terjadi terhadap anakku. Aku hanya meminta, supaya Susi mau mengobati anakku sampai sembuh, tetapi tidak meminta uang sama sekali darinya." Aku menuturkan sedetail mungkin, tentang apa yang sebenarnya terjadi kemarin, pada saat aku meminta pertanggung jawaban Susi untuk mengobati anakku."Ya ... Mana ada maling mau ngaku, sebab kalau semua maling ngaku, maka penjara akan penuh." Mbak Nina malah menyahut ucapanku dengan pribahasa, yang artinya tidak mempercayaiku.Aku pun tidak lagi meladeni Kakak s
"Iya ... aku akan menceraikanmu, Susi, jika kamu terus berulah yang tidak-tidak terhadap Mira dan keluarganya." Mas Hamdan menjawab pertanyaan istrinya."Nggak, pokoknya aku nggak mau diceraikan, Mas! Lebih baik aku mati, daripada harus bercerai sama kamu," tolak Susi, sambil menangis histeris.Susi pun terus menangis, saat mendengar kalau dirinya akan diceraikan oleh Mas Hamdan. Karena Susi bilang dia tidak mau, jika akan diceraikan oleh suaminya tersebut. "Makanya, Susi, kamu itu kalau jadi perempuan yang nurut sama suami. Toh aku juga nggak meminta yang macam-macam kan sama kamu? Walaupun selama menikah denganmu, kita belum dipercaya mempunyai momongan. Tetapi aku masih tetap setia kan sama kamu?" tanya Mas Hamdan."Tapi, Mas, aku merasa takut, kalau ternyata Mas mencintai wanita lain. Apalagi setelah si Mira datang tidak bersama suaminya. Aku semakin takut, Mas. Aku takut kamu jatuh cinta padanya, kemudian melupakan aku. Karena dia adalah seorang perempuan, yang dulu sangat Mas i
"Mira, Bapak, Ibu, aku permisi dulu ya! Terima kasih karena kalian telah menerima kedatanganku dengan baik," pamit Mas Hamdan.Mas Hamdan berpamitan kepadaku dan orang tuaku, tetapi wajahnya seperti sedang menahan amarah. Karena terlihat dari raut wajahnya yang merah padam, serta dengan napas yang memburu. Tetapi dia tidak melupakan, attitude yang baik saat sedang bertamu di rumah orang."Lho, kok buru-buru amat sih, Nak Hamdan?" tanya Bapak."Iya, Pak, maaf ya," sahut Mas Hamdan.Setelah bersalaman dengan kedua orang tuaku, Mas Hamdan pun pergi meninggalkan rumah kami, tanpa mengajak serta istrinya. Tetapi Susi tetap mengekori Mas Hamdan, ia berjalan terburu-buru mengimbangi langkah suaminya. Bahkan Susu tidak mengucapkan salam sama sekali terhadap kami, sebahai pemilik rumah ini. Sikap Susi dan attitude Mas Hamdan begitu berbanding terbalik. Mereka begitu jomplang bagaikan bumi dan langit. Saat ini sepertinya Mas Hamdan sedang marah besar terhadap istrinya itu, pantas saja jika Mas
Aku bertanya kepada mereka bertiga, tentang maksud dan tujuan mereka datang ke rumah orang tuaku tersebut. Padahal Susi pernah bilang, kalau dia tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi. "Asal kamu tau ya, Mira. Aku datang kesini karena mau membuat perhitungan dengan kamu, Mira! Karena gara-gara kamu, rumah tanggaku hancur!" Susi berkata, sambil mendorong pundakku, dengan begitu kasar."Iya benar, kamu harus bertanggung jawab atas semua yang dialami, Susi. Ingat kamu harus bertanggung jawab, Mira," timpal Mbak Nina dan juga Bu Mega, mereka berdua berkata sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Lho, kenapa aku yang kalian persalahkan? Aku nggak ada sangkut pautnya, dengan permasalahan yang sedang Susi hadapi. Itu kan masalah pribadi, antara Mas Hamdan dan juga Susi," sanggahku.Aku tidak terima ketika mereka berkata, kalau aku adalah biang dari masalah, yang sedang dihadapi oleh Susi tersebut. Aku tidak mau menjadi kambing hitam atas semua kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.Enak bet
Tidak berapa lama, si pengemudi mobil pun membuka pintu, kemudian ia keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Mbak Nina dan Uak Risma pun langsung memucat, saat melihat siapa yang datang. Kemudian mereka pun langsung menyebut siapa pengemudi mobil pajero tersebut."Arsya!" seru Mbak Nina dan Uak Risma barengan."Iya, Uak, dia itu Mas Arsya suamiku. Bukannya Mas Malik, suaminya Mbak Nina," terangku, sambil tersenyum.Aku merasa lucu dengan tingkah mereka berdua, sebab tadi mereka sudah sangat girang karena dikira Mas Malik yang datang. Namun saat Mas Arsya yang datang wajah mereka langsung terlihat begitu kecewa."Kok suamimu membawa mobil mewah sih? Pasti suamimu sengaja menyewa mobil ini, buat dicap kaya oleh warga kampung ya?" tanya Mbak Nina, dengan senyum mengejek."Bukan seperti itu, Uak. Tapi mobil ini memang mobil kami," terangku."Ah nggak mungkin, kaksu kamu memiliki mobil. Uang dari mana kamu buat membelinya? Apalagi mobil ini 'kan harganya mahal," tanya Uak Risma.Ia nggak
Aku bertanya karena merasa heran, dengan ucapan Uak Risma barusan. Kenapa bisa, ia sampai menyimpulkan hal seperti itu? Uak Risma menganggap keluargaku sombong, hanya karena tidak mengajak mereka pergi. "Ya terus aku mesti ngomong apa lagi, Mira? Memang seperti itu kan kenyataannya? Aku yakin, jika kalian semua tidak mungkin akan mengajakku jalan-jakan, kalau saja aku tidak datang kesini!" Uak Risma terus menyalahkan kami, ia tetap merasa berada di posisi paling benar."Maaf, Mbak Risma, sebetulnya kami tidak pernah bermaksud seperti itu. Tetapi pada saat melihat sikap Mbak dan Nina yang menjauh dari keluarga kami, maka kami pun mulai membatasi. Kami bukan tidak mau mengajak Mbak dan Nina, tetapi kami merasa takut jika nanti Mbak dan Nina malah akan menolaknya." Ibu mengungkapkan semua alasan yang membuat kami tidak mau mengajak Mbak Nina dan Uak Risma."Iya bener apa kata ibunya Mira, kami semua tidak bermaksud menjadi orang yang sombong atau apapun itu. Maafkan kami, jika sikap k
"Iya, Dek, jeruknya dari Bu Marni. Emangnya ada yang salah ya, kok kamu sepertinya kaget banget sih?" tanya Mas Arsya, sambil mengerutkan keningnya.Aku benar-benar merasa tidak percaya dengan penuturan suamiku, yang saat ini telah mendapat rezeki buah jeruk dari Bu Marni, orang yang merupakan otak dari semua teror yang dilakukan Susi, yang bahkan keberadaannya saat ini sedang dicari polisi."Nak, kenapa kamu terlihat kaget, saat suamimu mengucap nama Bu Marni? Memangnya kamu ada masalah ya sama dia" tanya Ibu, sambil menatap kearahku. Beliau juga terlihat heran, mendengar kekagetanku tadi."Betul, Nak, coba deh cerita sama Bapak. Ada masalah apa kamu sama Bu Marni, mungkin Bapak bisa bantu," timpal Bapak.Bapak, Ibu dan suamiku sampai mengerutkan keningnya. Mereka keheranan, kenapa aku bisa sehisteris itu berkata saat mendengar nama Bu Marni.Hingga kini membuat keluargaku melongo dengan sikapku itu. Mereka semua tidak mengerti, mengapa tadi aku bertanya dengan nada yang begitu kag
"Asyik ada Nenek dan juga Kakek, kapan Nenek dan Kakek sampai rumah Azka?" tanya Azka, sambil menghambur kepelukan Ibu dan juga Bapak.Azka juga menanyakan hal yang sama, kepada Ibu dan Bapak. Ia begitu senang, saat melihat Ibu dan Bapak sudah berada dirumahku."Barusan, Nak. Bagaimana kalian sehat?" tanya Ibu balik."Alhamdulillah, Bu, kami dalam keadaan sehat. Bu, kenapa Ibu tidak mengabari dulu, kalau Ibu mau datang? Kan bisa aku jemput, kalau Ibu mengabari dulu?" tanyaku lagi.Aku merasa kaget, saat Ibu dan Bapakku sudah berada di rumah saat ini. Padahal mereka sama sekali belum memberi kabar kepadaku, kalau mereka mau datang saat ini. "Nak, semenjak kalian balik dari kampung. Ibu merasa tidak tenang, Ibu bahkan selalu bermimpi buruk tentang kalian. Makanya Ibu dan Bapak sekarang menyusul kesini," terang Ibu."Iya, Nak, apa yang dibilang oleh ibumu itu benar. Ibumu tidak bisa tidur tenang semenjak kalian balik ke kota," timpal Bapak.Benar-benar begitu kuat, ikatan batin antara
"Boleh kok, Bu. Supaya Ibu juga waspada, serta dapat memberitahu kami, jika melihat dia dimanapun." Pak Junaedi memperbolehkan aku mengetahui siapa orang tersebut."Terus siapa orangnya ya, Pak?" tanyaku lagi.Aku terus saja mendesak, tentang siapa pelaku lain yang meneror keluargaku. Karena aku benar-benar merasa penasaran dengan semuanya ini. Aku juga tidak mau kecolongan lagi, biar aku terus waspada menghadapi kemungkinan apapun. Aku akan tetap siaga menghadapi semuanya, walaupun itu adalah kemungkinan terburuk didalam kehidupanku."Bu Mira ... orang yang bersekutu dengan Bu Susi itu adalah Bu Marni. Ia juga seorang pemilik rumah makan, sama seperti Bu Mira. Menurut Susi, Bu Marni adalah orang yang mendukung dan mem-fasilitas-i dirinya, selama melakukan peneroran terhadap Ibu dan juga keluarga. Bahkan Bu Marni juga, yang membayar sewa rumah Pak Suryo untuk tempat tinggal Bu Susi." Pak Junaedi membeberkan semua yang didengarnya, dari pengakuan Susi tersebut."Astagfirullah ... jadi
Namun apa yang dilakukan Susi tidaklah ada artinya, para polisi tetap membawa Susi pergi dari hadapan kami dengan menggunakan mobil pribadi. Mereka melakukan semua itu, supaya tidak terlalu mencolok saat pengintaian tadi.Setelah para polisi pergi, sambil membawa Susi untuk diadili. Warga yang menonton pun ikut membubarkan diri, mereka pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga aku dan Mas Arsya, aku dan suamiku pun segera masuk ke dalam rumah karena waktu telah larut.Saat ini telah menunjukan waktu setengah dua belas malam. Aku pun tidak lupa mengunci pintu gerbang dan juga pintu rumah, kemudian kami segera masuk kamar dan tidur. Aku dan Mas Arsya tidak lagi membahas Susi atau siapapun, tetapi kami langsung tertidur pulas saking ngantuknya.***"Bu Mira, semalam itu siapa yang ditangkap?" tanya Bu Titi, dia sengaja datang ke rumahku saking penasarannya."Itu, Bu, teman masa kecil aku sewaktu di Kampung," jawabku."Kok dia bisa mempunyai rasa dendam yang begitu besar sih sama, Bu Mir
Aku pun merasa kaget, saat mendengar curhatan Susi. Rupanya dari masa lalunya yang buruk itulah, hingga membuat hati Susi memiliki sifat iri dengki kepadaku. Karena ia merasa tidak seberuntung aku, makanya ia merasa iri terhadap kehidupanku yang menurutnya sempurna.Tetapi apa yang dilakukannya ini sudah sangat keterlaluan. Ia begitu tega membuat aku dan keluargaku merasa khawatir dan juga was-was. Bahkan hampir membuat asisten rumah tanggaku celaka. Lebih parah lagi, ia hampir saja membuat aku kehilangan nyawa, kalau saja Allah tidak menyelamatkan aku waktu itu.Hanya saja waktu itu tidak ada saksi, sehingga aku tidak bisa menuntutnya kejalur hukum. Tetapi saat ini, aku tidak akan pernah lagi membiarkannya lepas begitu saja. Aku tidak mau ia sampai terlepas dari jeratan hukum, yang memang sepantasnya ia terima."Susi, kok kamu tega betul sih? Padahal aku kan selalu berbuat baik kepadamu? Tapi mengapa ini balasan yang kamu berikan kepadaku?" tanyaku merasa tidak percaya dengan apa yan
"Iya, Pak, siap. Aku dan juga keluarga akan mengikuti arahan dari bapak. Kami akan melaksanakan apapun, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan tadi siang." Aku menyetujui permintaan Pak Junaedi tersebut."Bagus, Bu. Kami juga sedang mengintai rumah Ibu kok," ujar Pak Junaedi.Aku pun merasa tenang, setelah Pak Junaedi berkata seperti itu. Sebab aku tidak takut lagi, jika ada yang akan berbuat onar kepada keluargaku."Terima kasih, Pak," ucapku.Setelah itu panggilan telepon pun terputus, aku dan Mas Arsya bersiap-siap. Sedangkan kedua anakku telah tertidur pulas. Pada jam sepuluh malam, seperti biasanya bel dirumahku berbunyi. Sepertinya si peneror sedang melancarkan aksinya. Aku dan Mas Arsya pun melihat semua kegiatan yang ada di luar sana, dari handphone yang sudah tersambung dengan CCTV. Didepan rumahku sudah terdapat seseorang, yang memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala serba hitam juga.Tidak berapa lama, dari arah belakang orang tersebut, sudah terdapat para pol
"Oh ... iya, Bi. Terima kasih ya, Bi," ucapku."Sama-sama," sahut Bi Minah.Aku dan Mas Arsya pun menemui komandan polisi, yang sedang menangani kasus peneroran ini. Sedangkan Bi Minah menyiapkan minum untuk tamuku tersebut."Selamat sore, Bu Mira dan juga Pak Arsya," sapa Komandan, yang berpenampilan seperti warga biasa, tanpa seragam kebesarannya."Sore juga, Komandan," sahut Mas Arsya."Bagaimana, Komandan? Apa sudah ada perkembangan?" tanyaku to the point.Aku langsung bertanya kepada tamuku, tentang kasus yang sedang diselidikinya. Aku merasa penasaran, dengan semua yang terjadi."Haa ... Haa ... Ha, Ibu rupanya sudah tak sabar ingin segera tau perkembangannya ya?" tanya balik sang Komandan tersebut."Hee ... I-iya,Komandan. Maaf ya, Komandan," sahutku salah tingkah karena malu."Jadi begini, Bu, Pak. Memang kebetulan, saya datang kesini juga karena ingin membahas tentang penyelidikan yang sedang saya tangani, tentang kasus peneroran keluarga Ibu dan Bapak." Komandan pun memberi
"Hallo, assalamualaikum," ucapku, setelah panggilan terhubung."Waalaikumsalam, maaf ini dengan siapa ya, soalnya nomernya baru dan belum ada di kontak saya." Suara seorang pria bertanya, pada saat aku selesai mengucap salam."Ini, Pak, aku Mira istrinya Mas Arsya, yang rumahnya berada di samping Pak Suryo. Di kompleks Puri Indah," sahutku."Oh iya, Bu Mira, maaf ya! Saya pikir nomernya siapa?""Iya, Pak, tidak apa. Aku juga minta maaf, sebab sudah mengganggu waktunya," ucapku lagi.Kemudian aku pun segera memberitahu maksud dan tujuanku."Jadi rumah yang berhadapan dengan Pak Suryo itu sudah ada yang mengontrak ya?" tanyaku."Iya, Bu," sahut Pak Kusno menegaskan." Tapi kok seperti tidak ada penghuninya ya, Pak. Soalnya setiap hari sepi dan selalu tertutup, seperti tidak ada kehidupan di sana," ungkapku."Ah masa sih, Bu? Mungkin ia seorang pekerja, Bu, yang berangkat pagi pulang malam," ujar Pak Kusno lagi menerka-nerka.Ternyata benar dugaaanku, jika rumah tersebut tidaklah kosong
Aku berharap banyak, semoga Bu Titi memiliki nomer Pak Kusno tersebut."Oh ... Bu Mira butuh nomernya Pak Kusno ya. Sebenernya ada sih, Bu. Tapi aku hanya ada nomer istrinya, serta tidak tau masih aktif atau nggak. Soalnya sudah lama juga kami lost kontak. Maklum akhir-akhir ini aku dan suami sibuk sekali, jadi jarang berkomunikasi dengan beliau." "Aduh gimana ya?" tanyaku bingung, "maaf, Bu, apa bisa aku minta tolong?""Bisa dong, Bu Mira, memangnya Ibu mau minta tolong apa?" tanya balik Bu Titi."Itu, Bu, coba tolong hubungi istrinya Pak Kusno-nya! Apa nomernya masih aktif atau tidak? Atau kalau boleh Ibu kirim saja nomernya ke nomer Mira," pintaku."Oh ... Boleh-boleh, sebentar aku hubungi beliau," ujarnya, sambil mengutak-atik gawainya, kemudian ia pun meneleponnya.Terdengar bunyi dari telepon milik Bu Titi, yang sedang menghubungi seseorang. Aku pun terdiam dan menunggu, semoga saja teleponnya aktif."Ih ... kok, telepon whatsapp-nya nggak aktif ya, Bu. Nanti coba dulu pakai