"Wah! Jadi ini caramu?"Seorang wanita bertanya setelah melihat salah satu siaran televisi. Kedua netranya membulat seolah berdecak kagum. Bahkan minuman dingin yang baru saja diambilnya sampai diletakkannya kembali di tempat awal, demi menghampiri sesosok pria yang nampak tengah bersantai di atas ranjang dengan ponsel di tangannya."Seperti yang kau lihat, Sayang. Jujur, sebenarnya aku tidak pernah merasa sangat keren seperti ini sebelumnya!" ucap pria itu pongah, membuat wanita yang baru saja menghampirinya langsung tersenyum dan bergelayut manja di lengannya."Tapi kau benar-benar hebat, Mas Ardi! Dengan begini, pasti tidak hanya Adelia saja yang percaya. Orang lain yang di luar sana yang sempat mencarimu, pasti akan percaya juga sehingga semua masalahmu yang lama akan segera mereka lupakan!""Ya ... Memang inilah yang ku mau, Citra Sayang. Aku ingin muncul dengan sosok yang berbeda nanti! Anggap saja aku baru terlahir kembali, sehingga tidak ada satu orang pun yang ku perbolehkan
"Akhh! Sial!"Suara teriakan terdengar menggema di taman belakang. Dengan mengusap wajahnya penuh frustasi, satu-satunya anak perempuan Oma Nora tersebut mendengkus seolah ingin melampiaskan semua kekesalannya yang selama ini tertahan.Sungguh, Bella kesal kalau sudah kembali diancam seperti ini. Bella kesal ada orang lain yang mengetahui kelemahannya. Selain itu, Bella juga kesal dengan dirinya sendiri yang sebenarnya juga sudah ikut andil menyebabkan ini semua.Peristiwa beberapa tahun yang lalu yang sebenarnya cukup lampau ternyata sangat berdampak bagi hidupnya sekarang. Belum usai dengan rasa bersalah yang tak pernah habis di hati dan pikirannya. Kini dirinya malah kembali dipaksa melakukan sesuatu yang tak ingin dilakukannya.Berada di bawah tekanan memang membuatnya seperti orang bodoh! Bella tak bisa melawan karena terlalu takut semua kesalahannya di masa lalu terbongkar. Nama baik yang selama ini mati-matian dipertahankannya tak ingin dibiarkannya rusak begitu saja, meski ha
"Sudah puas kau sekarang?!"Adelia Nina Pranata menoleh ke arah sang mertua yang tengah menatapnya penuh kebencian. Padahal kedua netranya saat ini masih basah dan memerah. Adelia jelas belum menerima kematian anaknya, tetapi malah dituduh seolah tengah bersenang-senang dalam keadaan yang sangat menyakitkan ini."Ibu, kita pergi saja. Tidak ada gunanya berbicara dengannya di sini." Ardi, suami Adelia berbicara membuat ibunya melempar tatapan sengit ke arahnya."Kau bermaksud ingin membela istrimu yang tidak becus ini? Hah?!""Aku tidak membelanya, Bu. Tapi—""Ingat, Ardi! Anakmu meninggal karena dia! Dia sudah lalai sebagai ibu hingga mengakibatkan kematian anakmu sendiri!"Nyonya Sri membentak membuat semua orang yang ada di pemakaman semakin memperhatikannya. Ketegangan semakin terasa, berbagai bisik yang tak mengenakkan mulai terdengar membuat mata Adelia terpejam menahan rasa perih yang semakin menusuk hatinya."Aku tidak bermaksud apa-apa, Bu. Tetapi apa gunanya membahas di sini?
Tingg![Maaf, untuk saat ini Nyonya Besar sedang tidak dapat diganggu!]Dengan tangan yang bergetar, air mata Adelia kembali tumpah. Harapannya pupus. Rasa sakit yang semakin menusuk membuatnya lupa cara bernapas hingga tak menyadari suara langkah yang mendekat ke arahnya."Sedang apa kau di sini?""Bu ... Aku—""Kau sedang mengintip kebersamaan suamimu dengan Citra?" potong Nyonya Sri yang sontak membuat kedua netra coklat Adelia melebar. "Dengarkan aku, Adelia. Biarkan saja mereka di dalam karena sekarang aku membutuhkanmu untuk membereskan ruang tamu!""Tapi, Bu. Aku tidak mungkin bisa membiarkan mereka berdua di dalam begitu saja. Mereka—""Akhh! Kau ini memang menantu menyebalkan, Adelia! Tidak bisakah kau langsung menuruti kata-kataku saja? Sudah beruntung kau masih ditampung di rumah ini dengan gratis!" Air mata Adelia kembali membendung tak tahan mendengarnya. Ia semakin kesulitan berbicara, terlebih setelahnya terdengar tawa Ardi dan Citra dari dalam sana yang sama sekali ta
"Sudah kuduga, suamimu memang tidak benar!" Sebuah kepalan tangan terlihat mengerat seiring dengan semakin jelasnya rekaman video yang baru saja Adelia tampilkan. Rahang pria beralis tebal itu mengeras, napasnya memburu menahan amarah, hingga akhirnya Adelia langsung bergerak mematikan layar ponselnya. Bisma Vidjaya Mahendra, itulah nama lengkap pria yang ada di hadapannya. Pria itu yang membawanya ke mansion mewah di pusat kota ini dan juga yang telah memberikannya secangkir teh dan mantel tebal untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Tak ada lagi kacamata yang menempel di wajahnya. Tubuh kurus nan tinggi kini sudah lebih berisi dengan beberapa otot yang menyembul di balik kemejanya. Ah, sebenarnya apa yang Adelia pikirkan? Terakhir kali Adelia bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu, hidupnya saja sudah banyak berubah hingga kini menjadi hancur. "Kenapa kau kembali?" Adelia bertanya setelah sempat lama bergeming. "Sebaiknya kau beristirahat saja dulu, Adelia. Kita lanju
"Sialan! Kau ...."Satu tangan Ardi kembali terangkat hendak melayangkan tamparan di pipi Adelia. Namun kali ini dengan cepat Bisma menahan hingga Adelia terpaku menatapnya."Singkirkan tanganmu!" ucap pria itu penuh penekanan."Aku tidak mempunyai urusan denganmu! Cepatlah menyingkir! Kau mengganggu urusanku dengan istriku!" Ardi bersuara dengan rahangnya yang semakin mengeras.Tanpa ekspresi, Bisma lantas maju dan menjauhkan Adelia. Ia tatap pria di hadapannya dengan aura yang tak kalah kuat hingga netra hitam itu sedikit membulat. "Maaf, sepertinya Anda yang mengganggu urusan saya di sini. Jika ingin menyelesaikan masalah keluarga, selesaikanlah di rumah!""Sialan! Kau benar-benar menganggu!" Ardi bergerak maju ingin menyerang pria di hadapannya, tetapi setelahnya beberapa petugas keamanan langsung berdatangan dan menghalangi semua pergerakannya."Kalian semua sialan! Aku hanya ingin berbicara dengan istriku!" Ardi menggeram membuat Bisma beralih menatap Adelia."Apa benar dia sua
"Astaga!" Tubuh Adelia mematung kala melihat beberapa foto yang baru saja Ardi kirimkan. Napasnya mendadak tertahan, apalagi setelahnya muncul beberapa pesan yang membuat jari-jemarinya berkeringat dingin. "Ada apa, Adelia? Siapa yang—" "Huweek!" "Maaf, Bisma. Aku izin ke toilet dulu sebentar!" Tanpa basa-basi Adelia langsung keluar dengan ponsel di tangannya. Melihat hal itu alis tebal Bisma mengerenyit. Ingin ia menyusul karena merasa khawatir, tetapi setelahnya ponselnya juga berdering dan menampilkan nama yang tak bisa diabaikan. ["Aku ingin bicara denganmu dan Adelia malam ini!"] Sementara di lantai bawah, Adelia ternyata tak pergi ke toilet. Dengan langkah dan degup jantungnya yang semakin cepat, netranya menilik sekitar hingga langsung menampar seorang pria yang baru saja menampakkan diri. "Apa maksudmu?" tanya Adelia yang sontak membuat Ardi mengusap wajahnya. "Kenapa cepat sekali? Aku pikir kau sudah tidak peduli denganku karena sibuk sebagai jalang!" "Jaga ucapanmu
Adelia berdiri di depan cermin toilet, memperbaiki riasannya yang sedikit luntur karena semua ulah Ardi yang begitu kasar. Jika dulu selalu ada tetes air mata yang membasahi wajah cantiknya setelah terlibat bersitegang dengan pria itu, sekarang tentu tidak. Adelia tak mau membuang-buang air matanya lagi untuk pria yang sama sekali tak menganggapnya. Ia lebih memilih melupakan semuanya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri seraya memikirkan Bisma yang tiba-tiba memanggil Ardi tanpa sepengetahuannya. "Kenapa Bisma melarangku datang ke ruangannya? Sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Adelia pelan hampir tak terdengar. Sederet pesan yang baru saja dikirimkan oleh Bisma membuat tekukan di dahi Adelia semakin mendalam. Ia menggerai rambut panjangnya yang terasa gerah, hingga jari-jemarinya bergerak menanyakan maksud pria itu dengan berulang karena tak kunjung mendapatkan balasan. "Huh! Aku harap mereka berdua tidak sedang ribut sekarang!" Adelia akhirnya tak mempunyai piliha