***"Siapa anda?" Kutatap wanita paruh baya dengan dandanan modis di depanku. Dia menarik sudut bibirnya dan membuka kacamata hitam yang melekat di ujung hidungnya yang mancung. Sepertinya aku tidak asing dengan wanita ini, tapi siapa? Aku mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat barangkali aku dan dia pernah bertemu, tapi nihil! Ingatanku benar-benar kosong tentang wajah wanita di depanku."Apa kamu lupa, Endang? Coba ingat-ingat lagi, belum terlalu lama kita harus saling melupakan." Astaga, Tante Cecil? Ibu dari wanita yang sempat dijodohkan dengan Krisna. Tapi kenapa tampilannya sungguh modis sekarang?Flashback on."Kami harap, perjodohan ini bisa berjalan dengan lancar. Kita sudah bersahabat sejak kecil, semoga persahabatan kita semakin erat dengan menikahkan Krisna dan Adelia." Tante Cecil berbicara dengan penuh harap ketika kami sekeluarga bertandang ke rumahnya.Ibu dan Tante Cecil adalah sahabat karib, kurang lebih seperti itulah yang kudengar dari cerita ibu. Sayangnya,
****Aku mengubungi Krisna dan meminta dia bersiap-siap untuk membawa Ayah dan Ibu ke kantor polisi. Jo bilang, pelaku yang sudah sengaja membuat Ayah celaka sudah ditemukan, melalui rekaman CCTV, meskipun aku sudah tahu, jika Tante Cecil lah dalang di balik semuanya. Aku ingin lihat, siapa saja kacung yang sudah rela mengorbankan hidupnya demi utusan Tante Cecil.Mas Danu terlihat menahan amarahnya setelah aku bercerita tentang pertemuanku dengan Tante Cecil barusan. Selain ingin mengungkap siapa di balik kecelakaan Ayah dan Mang Kosim, aku juga ingin melihat perkembangan kasus Pak Ferdinan dan kawan-kawannya.Sesampainya di rumah ibu, Krisna sudah siap dengan mobil kesayangannya. Ayah dan ibu duduk di belakang sedangkan Krisna yang menyetir, karena kami belum menemukan pengganti Mang Kosim. Sengaja aku membawa mobil sendiri dengan Mas Danu, karena setelah dari kantor polisi nanti, kami ada keperluan yang mendesak.____________________"Beruntung rekaman CCTV di salah satu sudut jala
***"Diam, Hans! Kamu mau kita semua mati, hah?!" bentak salah satu pelaku pada lelaki yang hendak membuka suaranya, yang dia panggil Hans."Aku tidak peduli! Asalkan keluargaku selamat!" sahut Hans sengit.Lelaki tadi melengos, aku bisa melihat raut penyesalan dari mukanya."Bu Cecil. Kami melakukan ini atas perintah Bu Cecil dengan bayaran masing-masing 10 juta."Mendengar penuturan salah satu pelaku, sontak membuat ibu berdiri dengan mata membeliak lebar. Kedua tangannya menutup mulut, tanpa menunggu lama, cairan bening sudah mengalir di pipinya."Gi-la! Kita bukan hanya tidak bisa bebas, Hans. Tapi keluargaku di rumah akan mendapat musibah," tutur lelaki tadi dengan frustasi."Tenanglah. Kalian memang tidak akan bisa bebas begitu saja, karena harus menjalani proses hukum. Tapi keluarga kalian, aku pastikan aman di bawah naunganku." Ucapan Mas Danu membuat keempat lelaki tadi menunduk.Setelah mendapat alamat Tante Cecil dari salah satu pelaku tadi, petugas polisi membuat surat pen
***Aku masih bergeming di tempat, sementara Adelia berjalan mendekat ke arah dimana Pak Adi tengah berdiri. Tante Cecil melirik ibu dengan tatapan sinis. Beruntung Ayah sedang ke mushollah bersama Mas Danu dan Krisna, sehingga Tante Cecil belum mengetahui jika Ayah ternyata masih hidup."Mas! Diajakin ngomong malah bengong! Kamu itu kemana aja sih?" tanya Adelia manja, dengan membetulkan dasi di leher Pak Adi.Mbak Anggi yang melihat gelagat aneh Adelia, bergegas mendekati suaminya yang kini lengannya sudah digelayuti manja oleh Adelia.Ditepisnya tangan Adelia hingga wanita itu meringis, tubuhnya hampir saja terjatuh jika Pak Adi tidak dengan sigap menarik kembali lengannya. Melihat hal itu, kentara sekali kemarahan Mbak Anggi, wajahnya memerah dan menarik paksa tubuh Adelia agar menjauh dari suaminya."Siapa kamu? Murah*n sekali, jangan kecentilan!" sungut Mbak Anggi.Tante Cecil yang sedari tadi sibuk memphatikanku dan Ibu, seketika menoleh ke sumber suara yang tengah menghardik p
****"Ma, dengan dulu penjelasan Papa. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, lagipula kalian bisa menjadi istri yang akur, Papa yakin Adelia akan menjadi madu yang baik untukmu," jelas Pak Adi. Ketahuan buayanya kan, enteng sekali dia bicara begitu."Ja-jadi, dia istri kamu, Mas?" tanya Adelia tidak percaya."Iya, Sayang. Maaf, Mas harus menyembunyikan identitas Mas, kamu nggak pa-pa kan punya kakak madu?" tanya Pak Adi sok manis. Aku begidig jijik dibuatnya."Nggak masalah, kok, asal bisa sama Mas Adi selamanya!" jawab Adelia tak kalah menjijikkan."Hei, wanita jal-ang! Siapa bilang aku mau menjadi kaka
***Sepeninggal Pak Adi, kulihat Tante Cecil duduk dengan mati kutu. Adelia pun demikian, tangannya sibuk mengutak-atik gawai dengan bibir cemberut.Tunggu! Bukankah waktu hari pernikahan Krisna dan Adelia, ada seorang lelaki yang mengatakan Adel sedang mengandung anaknya, lalu kenapa tadi Tante Cecil bilang Adel sedang mengandung anak Pak Adi, dan perutnya pun kini terlihat rata. Pantas juga sih, mengingat kejadian itu sudah hampir dua tahun, jika selamat, mungkin anak Adelia sekarang berusia satu tahun lebih, jika tidak, entahlah. Aku tidak ingin ikut campur.Tante Cecil berjalan mendekat ke arah ibu. Tanpa diduga, dia bersimpuh di lutut ibu dengan menangis tersedu-sedu. Aku tahu, melihat sahabatnya seperti itu, Ibu pasti tidak tega, tapi kuharap, Ibu punya keputusan yang bijak mengingat yang hampir Tante Cecil hilangkan nyawanya adalah Ayah."Maafkan aku, Tini. Aku khilaf, tolong cabut tuntutan kalian, lagipula suami kamu selama
***"Perang dunia persilatan. Suami yang digadang-gadang punya jabatan tinggi di kantor, ternyata memiliki istri baru, Mbak Anggi murka dan terjadilah keributan ini!" jelas Mbak Hanin padaku. Aku manggut-manggut, itu berarti cukup lama juga mereka berseteru."Kok kalian tahu?" cecarku, apa mungkin Mbak Anggi menceritakan keburukan keluarga di depan banyak orang? Ah, tanpa bercerita pun orang-orang mungkin sudah bisa menebak, tidak mungkin ada pertengkaran hebat seperti ini jika tidak ada masalah yang serius."Biasa sih, Bu Halimah yang cerita!" sahut Mbak Fifi sambil menunjuk keberadaan Bu Halimah menggunakan dagu. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan bersedekap dada dan mulutnya terlihat komat-kamit, berbicara entah apa dengan lawan bicaranya. Tentu saja para ibu-ibu kepo di kampung ini.Pantas saja berita ini cepat sekali menyebar. Apa Bu Halimah tidak malu setelah suaminya tertuduh sebagai tersangka kasus korupsi, eh, dia malah sibu
***Semua orang membubarkan diri dari kerumunan, hanya tertinggal Pak RT dan Bu RT yang masih menemani Mbak Anggi. Kemana para sekutunya saat ini? Dulu saja, saat Mbak Anggi sedang dalam masa kejayaan, sekutunya selalu mengikuti, lalu di saat dia terpuruk seperti ini, kemana semua sahabat-sahabatnya? Sejak tadi aku bahkan tidak melihat Bu Andin, kemana dia?"Mau kemana Bu Endang?" tanya Mbak Fifi, ketika mendapatiku berjalan ke arah lain, tidak ke arah rumah."Ah, ini--""Mau ke rumah Bu Aminah, Mbak." Mas Danu yang sudah di belakangku langsung berbicara. Aku mengangguk ragu, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang tidak pas di hati.Mbak Fifi hanya ber"O" ria, begitupun Mbak Hanin yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Tapi emang kita nggak pernah liat Bu Hajjah Aminah loh, Bu Endang. Mungkin lagi pulang kampung," sahut Mbak Hanin, dengan tatapan menerawang jauh.Mas Danu menatap ke arahku, dia menaikkan dagunya, memberi isyarat apakah kita akan tetap berkunjung ke rumah Bu Hajjah
PoV Endang *** Tidak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Hari ini, hari dimana Krisna akan melepas masa lajangnya bersama Hana. Kentara sekali raut bahagia Krisna, begitupun Ibu dan Ayah. Pihak keluarga Hana pun demikian. Aku menyesal sekali karena tidak mencegah kepergian Bu Andin waktu itu. Siapa yang menyangka jika Kenan, lelaki yang ambisius dengan Hana malah membunuh Bu Andin dengan menjatuhkannya ke dalam jurang. Sehari setelah proses pertunangan Krisna dan Hana, kami sekeluarga kelelahan dan menonton acara berita bersama. Bagai dihantam godam yang besar, saat aku mendengarkan sebuah siaran tentang seorang wanita yang dibuang di kawasan puncak. Penyiar televisi mengatakan nama Bu Andin karena kebetulan dompet korban memang masih berada di saku celana. Mataku membeliak lebar kala itu, benar saja, setelah tayangan pengangkutan jenazah, tidak lama, orang tua korban turut diwawancarai, tidak salah lagi. Itu orang tua Bu Andin. Aku berteriak memanggil Mas Danu yang kebetulan seda
PoV Author***Acara pertunangan Krisna dan Hana berjalan dengan lancar. Banyak sekali pose foto yang berhasil dibidik untuk mendokumentasikan hari bahagia mereka. Sengaja, beberapa tetangga dari kampung Endang, mereka undang, termasuk Hanin, Fifi, dan Bu Hajjah Halimah, juga Pak RT beserta istrinya. Dan masih banyak lagi.Memang, acara pertunangan ini dimeriahkan, mengingat Krisna adalah putra bungsu keluarga Bastian. Mereka sudah lama tidak mengadakan acara semewah ini setelah pernikahan Endang beberapa tahun yang lalu.Beruntung rumah Tini memiliki halaman yang luas. Sehingga nuansa alam menjadi pilihan utama mereka dalam menyelenggarakan acara penting ini. Tak lupa pula, Hartini datang anak-anaknya, Endang yang mengundang mereka."Masya Allah, ini baru acara lamaran udah meriah kayak gini ya," celetuk Hanin, menatap takjub pada dekorasi pertunangan Krisna dan Hana."Horang kaya mah bebas, Mbak Han!" sahut Fifi cekikikan. Endang menonjok pelan lengan Fifi, membuat wanita itu mering
PoV Author *** Para tetangga yang masih termasuk sanak saudara Fatma, membopong tubuh Halimah untuk dibaringkan di kamar. Kasak-kusuk tetangga mulai terdengar, mereka mengasihani nasib Halimah yang tragis. Menurut para tetangga, Halimah adalah sosok wanita pekerja keras. Siapa sangka, justru Halimah adalah perusak rumah tangga orang lain. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan mengimani bahwa apa yang sudah Halimah terima kini adalah karma dari perbuatannya sendiri. Halimah merusak rumah tangga Hartini demi mendapatkan uang. Bukan kehidupan yang terjamin untuk Ibu dan anaknya, justru kematian putranya yang dia dapatkan. Suaminya bermain api dengan wanita lain. Sama persis dengan apa yang sudah Halimah perbuat. Rumah Fatma bahkan belum sempat di renovasi karena semua uang kiriman dari Halimah harus dikelola lagi oleh Rusdi-- suami sah Halimah. Rusdi sengaja membangun rumah di kampung sebelah, di atas tanah peninggalan orang tua Cantika, selingkuhannya. Mereka sengaja mengeruk uang ki
PoV Author***Halimah berjalan gontai menuju ke jalan raya. Dia merutuki kebodohannya yang belum sempat mengamankan semua aset Suryono selama ini. Memang, kebutuhan Halimah dan keluarganya di kampung terpenuhi dengan baik, tapi tetap saja, dia merasa rugi karena pergi meninggalkan rumah Suryono tanpa membawa satu pun harta. Hanya perhiasan yang masih melekat di tubuhnya."Sialan! An-jing! Bisa-bisanya Hartini dan Endang mempermalukan diriku seperti ini!" dengkus Halimah kesal. Meskipun secara sadar dia tahu jika Endang tidak ada hubungannya dengan pengusiran warga terhadap dirinya, tetap saja, nama Endang selalu terlihat buruk di mata Halimah."Lihat saja, aku akan kembali untuk menuntut harta gono-gini!" gumam Halimah dengan menggerakkan giginya.Beruntung dompetnya berada
***PoV HalimahDua hari lagi acara lamaran Krisna dan Hana akan dilangsungkan. Aku bersyukur, Hana mau menerima Krisna sebagai pendamping hidupnya, mengingat keluarga kami yang sudah menyebabkan Mang Kosim meninggal.Hana gadis yang baik, aku percaya dia bisa menjadi istri yang baik pula untuk Krisna. Apalagi adik manjaku itu selalu melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Semoga Hana bisa membawa Krisna ke jalan yang Allah ridhoi.Kasus Pak Ferdinan berjalan dengan lancar. Dia dan para anak buahnya kini mendekam di penjara. Begitu juga dengan Reina, entah bagaimana nasibnya nanti ketika akan melahirkan. Membayangkan saja sudah bikin perutku mulas.Bu Hajjah Aminah sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari perilakunya kepada keluargaku se
PoV Author***"Katakan, Ma. Apa kamu selama ini tidak mengirimkan uang pendidikan untuk anak-anakku?!" bentak Suryono sengit. Halimah meneguk ludahnya kasar, belum pernah Suryono berkata dengan nada tinggi sebelumnya.Halimah melirik ke arah para tetangganya yang sudah berkerumun di depan rumahnya. Sudah kepalang malu, sekalian saja dia tunjukkan dirinya yang sebenarnya."Memang kenapa? Anak kamu udah ada ibunya, jangan manjain mereka dengan mengirimkan uang. Bukannya dibuat biaya pendidikan, malah dibuat foya-foya sama Emaknya!" sindir Halimah, membuat Hartini semakin meradang. Pasalnya, sejak Suryono meninggalkan dirinya dan juga anak-anaknya, Hartini banting tulang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, karena memang biaya pendidikan ketiga anaknya sudah ditopang oleh Suryono selaku Ayah mereka."Gi-la nggak sih, udah merebut seorang Ayah dari anaknya, eh, uang untuk biaya pendidikan pun ikut diembat juga!" seloroh tetangga Halimah."Nggak nyangka banget deh, ternyata Bu Halimah
PoV Author***"Kamu dan Hana pergi saja, Kris. Cari seserahan sekalian cincin untuk pertunangan besok lusa." Endang melirik ke arah Krisna yang nampak malu-malu tapi mau. Sementara Hana hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi usulan dari Endang."Betul itu! Jangan apa-apa kamu serahin ke Mbak-mu! Bisa cepet tua dia nanti!" seloroh Mas Danu, Endang mendelik ke arah suaminya yang malah cekikikan.Hana ikut tertawa melihat Danu yang menggoda Endang, begitupun Tini dan Bastian, mereka merasa bahagia sebentar lagi anak bungsunya akan bertunangan."Ibu sudah membicarakan semuanya dengan Ibu Hana, Kris. Jadi persiapan sudah kami siapkan dengan matang. Tinggal kamu dan Hana aja, buruan cari cincin nikah. Atau kalau mau cari seserahan yang Hana mau, belikan! Jangan pelit sama calon mantu ibu!" hardik Tini pada Krisna, pipi Hana bersemu merah mendapat kasih sayang yang tulus dari keluarga Krisna. Apalagi Hana adalah anak dari lelaki yang sudah mengorbankan nyawanya demi keluarga Bastian.Kri
PoV Author***Jdor!Jdor!Jdor!"Halimah, keluar kamu!" teriak seorang wanita dengan menggedor pintu rumah Halimah."Dasar pelakor, keluar kamu dari rumah ini. Ini rumah suamiku!" Mendengar keributan, para tetangga bergegas keluar dan mencoba menenangkan seseibu yang sedang marah-marah di depan rumah Halimah. Pak RT dan istrinya mendekati wanita tersebut dan meminta untuk tenang."Bagaimana saya bisa sabar, Halimah itu pelakor! Dia sudah merebut suami saya!" ujar wanita itu lantang.Halimah tidak kunjung keluar, dia bersembunyi di dalam kamar karena takut kedoknya selama ini terbongkar."Tapi Bu Halimah sudah memiliki suami, mana mungkin dia merebut suami ibu," sela tetangga baik Halimah.Wanita yang memperkenalkan dirinya dengan nama Hartini itu melotot ke arah tetangga baik Halimah."Suami yang mana maksut kamu, hah?!"Hartini berkacak pinggang di hadapan para tetangga Halimah. Pasalnya, semua tetangga memang tidak tahu, jika suami Halimah yang tak lain adalah Suryono adalah suam
PoV Author.***"Maaf, Bu. Saya menemukan kejanggalan pada gangguan yang Bu Andin alami," ujar seorang psikiater pada kedua orang tua Andin.Jamilah dan Husni saling berpandangan. Masih mencoba mencerna apa maksut dari ucapan dokter cantik di depannya."Maksut saya, Bu Andin tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang Ibu dan bapak keluhkan.Saya bisa menilai dari cara dia menjawab semua pertanyaan saya dengan detail. Tatapan matanya bukan tatapan mata kosong seperti orang dengan gangguan jiwa pada umumnya. Juga, dia tidak sibuk dengan dunianya seperti pasien ODGJ lainnya. Saya rasa, Bu Andin hanya sedang menyembunyikan sesuatu dari kalian selaku orang tuanya.Saran saya, Bapak dan Ibu bicarakan ini baik-baik dengan Bu Andin. Karena ketika laporan saya nanti ma