Mayang menghela napasnya dengan pelan. "Manusia paling jahat memang, si Damar itu. Padahal dia sudah berjanji pada Mama, tidak akan pernah mengganggu hidup kamu lagi. Tapi, dia malah menyewa pembunuh untuk membunuh kamu."
Mayang memejammkan matanya sekejap kemudian menghela napasnya kembali.
Sagara lantas menerbitkan senyumnya.
"Pak Ardi, kaki tangannya Mr. Patrick. Dia yang sedang mengambil dokumen asli itu di Jepang. Dengan begitu, aku bisa menuntut Damar lebih. Bukan hanya pasal penculikan. Dia juga terkena pasal percobaan pembunuhan, merampas senjata tajam milik aparat kepolisian, dan juga sudah memalsukan dokumen Anumerta Coorporation."
Mayanga mengusapi lengan anaknya itu sembari menganggukkan kepalanya. "Iya, Nak. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Mama akan mendukung kamu," ucapnya kemudian mengulas senyumnya.
Sagara mengangguk. "Seandainya aku punya bukti tentang pembuahan yang Damar lakukan ke Papa, bisa aku laporkan juga, Ma. Sayangnya
Di Indonesia.Rumah Sakit Harapan.Ortopedi yang dikenakan dia akhirnya sudah bisa dilepas. Mengingat kondisi tulang yang terkena luka tembak itu sudah mulai pulih. Betapa leganya hati Sagara lantaran akhirnya ia bisa terbebas dari ortopedi sialan itu. Membuat dirinya tidak bisa leluasa untuk melakukan hal yang ingin dia lakukan.“Ini, hasil scan di bagian tulang dada Anda. Saat pertama kali terkena luka tembak, dengan yang baru. Hasilnya sangat jauh berbeda, bukan? Tetapi, harus tetap minum obat agar tulangnya kembali lebih baik lagi. Karena Anda tidak akan bisa menggendong istri Anda jika tulang selangkanya masih sakit,” kata Dokter Handoko menjelaskan perihal kondisi Sagara.Pria itu menghela napas kasar. “Baik, Dok. Berapa lama lagi, saya harus dirawat? Udah gak betah, Dok. Pengen pulang.”“Lusa, baru bisa pulang ke rumah. Untuk saat ini, kondisi Anda masih dalam perawatan.”Sagara mengembungkan pipiny
Sagara menghela napasnya dengan pelan. Tangannya mengusapi wajah cantik milik sang istri. Kemudian menerbitkan senyumnya kepada wanitanya itu.“Aku selalu mempermalukan diri aku sendiri di depan semua orang yang bertanya mengenai kehamilan kamu. Karena aku ingin menjaga nama baik istri aku. Biar saja mereka menganggap aku pria nggak bener. Bahkan, mereka pun tau kalau saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan Clara.“Aku juga bilang. Aku terlalu tergoda oleh kamu. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhubungan badan dengan kamu, tapi tidak dengan Clara. Kenapa nggak jujur aja kalau aku hanya menolong kamu.” Sagara menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Karena aku nggak mau kamu menanggung malu. Biar aku aja.”Sagara kembali menerbitkan senyumnya. Ia hanya ingin Hanna tahu betapa ia sangat menjaga privasi istrinya. Biar saja dicemooh oleh banyak orang, asal jangan Hanna. Biar saja dia harus mengakui sudah selingkuh dari Clara. Asalkan Hanna selamat dari omon
Ardi menepuk bahu pria itu. "Mungkin hanya sekilas. Makanya tidak terlalu dipikirkan oleh mereka. Karena itu, kamu harus kembali dan mengumumkan jika pemegang perusahaan itu adalah kamu.“Jadi pemimpin yang bisa disayang oleh para karyawan kamu, yaa. Hargai pendapat mereka, jangan mendengar dari satu orang saja, tapi keputusan tetap ada di tangan kamu. Apa pun itu, yang penting mereka setuju dan tidak ada yang keberatan." Ardi menasihati Sagara yang sudah dia anggap sebagai anak sendiri.Dia memiliki anak gadis yang sempat akan dia jodohkan kepada Sagara. Namun, karena Sagara sudah menikah dan sempat membuatnya terkejut, lantas perjodohan itu batal dilaksanakan.Sagara menerbitkan senyumnya. "Iya, Pak. Terima kasih sudah mau membantu saya sampai rela mengambil dokumen ini ke Jepang. Saya janji, akan memberikan apa pun yang Pak Ardi inginkan. Asal jangan minta yang macam-macam."Pria itu lantas terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja kamu ini. Saya hanya meminta kamu untuk menjadi pemimpi
Andra berusaha menasihati Sagara agar ia paham dengan kondisi orang tuanya kala itu. Keputusan mereka untuk saling menutupi memang keputusan yang salah. Tapi, Sagara belum tahu alasan di balik semuanya. Bisa dia tanyakan kepada sang mama yang masih hidup dan kejiwaannya sudah kembali.“Kesel gue, Ndra,” ucapnya dengan pelan.“Iya, gue tau. Mereka punya alasan kuat di balik semua ini, Sagara. Udah, jangan mikirin itu lagi. Malah … gue lebih kepikiran soal Om Satya yang tau soal si Clara sama Citra. Sering ngecengin cowok di bar. Dia lebih tau dari elo, Sagara.“Dan elo baca yang ini. Dia bahkan tau kalau si Raffael adalah anaknya si Damar. Yang mana, saat itu si Raffael sama Hanna masih pacaran. Dunia beneran sempit apa emang rotasinya udah mulai berkurang. Gilak! Kayak gini aja baru tau setelah semuanya terjadi.”Andra berdecak kagum kemudian geleng-geleng kepala.“Mungkin, saat itu aku dan Raffael baru pacaran sekitar dua bulanan,” kata Hanna akhirnya buka suara.Sagara menolehkan ke
“Bro! Gue selalu mendukung apa pun yang menurut elo baik. Nikahi Suster Indah merupakan hal paling baik yang elo ambil. Keputusan yang sangat baik. Kalian udah saling kenal juga. Mau ngapain lagi, Jangan kelamaan pacaran. Nanti bunting, kayak bini gue.”Hanna lantas memukul kepala Sagara sembari menyunggingka bibirnya. “Sialan!”Sagara lantas terkekeh kemudian mencium pipi istrinya itu. “Just kidding. Jangan dibawa perasaan lagi, yaa. Aku hanya bercanda. Jangan terlalu datar hidup mah. Harus dibawa canda juga.”“Tapi bercanda elo udah kayak ngejek orang, dodol. Kalau mau bercanda, nggak usah buka-buka aib orang.” Andra membela Hanna dengan berbicara sangat dekat di depan wajah Sagara.“Sorry!” ucapnya kemudian menghela napas pelan. “Habis pulang dari rumah sakit, apa dulu, yang harus kita lakukan, Ndra?”Andra mengusapi dagunya. Tengah memikirkan apa yang harus mereka dahului. “Karena sangking banyaknya hal yang harus kita lakukan, gue aja jadi bingung harus ngapain. Mending elo kekep
“Bro! Gue selalu mendukung apa pun yang menurut elo baik. Nikahi Suster Indah merupakan hal paling baik yang elo ambil. Keputusan yang sangat baik. Kalian udah saling kenal juga. Mau ngapain lagi, Jangan kelamaan pacaran. Nanti bunting, kayak bini gue.”Hanna lantas memukul kepala Sagara sembari menyunggingka bibirnya. “Sialan!”Sagara lantas terkekeh kemudian mencium pipi istrinya itu. “Just kidding. Jangan dibawa perasaan lagi, yaa. Aku hanya bercanda. Jangan terlalu datar hidup mah. Harus dibawa canda juga.”“Tapi bercanda elo udah kayak ngejek orang, dodol. Kalau mau bercanda, nggak usah buka-buka aib orang.” Andra membela Hanna dengan berbicara sangat dekat di depan wajah Sagara.“Sorry!” ucapnya kemudian menghela napas pelan. “Habis pulang dari rumah sakit, apa dulu, yang harus kita lakukan, Ndra?”Andra mengusapi dagunya. Tengah memikirkan apa yang harus mereka dahului.
“Kita mau pulang ke rumah siapa, Sagara?” tanya Hanna kemudian.Sagara menoleh kepada Dokter Handoko yang ternyata sudah masuk ke dalam ruang rawatnya. “Udah boleh pulang, Dok?” tanyanya kemudian.Dokter Handoko mengangguk. “Iya. Anda sudah boleh pulang. Biaya administasi juga sudah dibayarkan oleh Pak Ardi.”Sagara lantas menerbitkan senyumnya dengan lebar. “Terima kasih, Dok. Akhirnya! Bisa pulang juga. Bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sudah menunggu di depan.”Dokter Handoko mengulas senyumnya. “Jangan lupa, obatnya diminum agar lukanya segera sembuh.”“Siap, Dok. Kalau begitu, saya pamit ya, Dok. Terima kasih sudah merawat dan menyelamatkan nyawa saya.”Dokter Handoko kembali menerbitkan senyumnya. “Sudah kewajiban saya sebagai dokter harus berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasiennya. Kami akan merasa gagal jika tidak bisa menyelamatkan pasien
Andra lantas memukul kepala Sagara karena sudah membawa-bawa namanya. Berharap perempuan itu mau menerima tawarannya untuk merawat Mayang. Sebab ia sangat percaya kepada Suster Indah. Perempuan itu merawat dengan penuh kasih sayang dan juga ikhlas. Tidak pernah mengeluh sekali pun.Suster Indah menghela napasnya dengan pelan. Kemudian menganggukan kepalanya. "Baik, Mas. Beri saya waktu selama tiga hari untuk memikirkan tawaran Mas Sagara. Baik menerima atau menolaknya, saya akan memberi tahu secepatnya."Sagara menganggukkan kepalanya kemudian mengulas senyum kepada perempuan itu. "Oke, Sus. Ditunggu kabarnya. Dan saya masih berharap semoga Suster Indah mau menerima tawaran saya untuk merawat mama saya."Suster Indah mengulas senyum tipis. Bukan tak ingin ia menjadi perawat pribadi Mayang. Tetapi, dia juga tidak enak kepada Dokter Firman. Juga kepada semua perawat dan bekerja di rumah sakit jiwa tersebut."Saya harus bicarakan ini terlebih dahulu dengan s
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu