Ia masih memikirkan permintaan Sagara kepada Krisna. Di mana pria itu meminta kepada Krisna dan Sinta untuk merahasiakan ayah kandung dari anak yang ada di dalam perut Hanna.Sagara menghela napasnya dengan pelan. “Gue hanya ingin melindungi aib istri gue, Andra. Mereka bukan orang tua kandung Hanna. Gue berhak meminta hal itu untuk menjaga nama baik Hanna. Anak itu, biarlah jadi anak gue.“Sebagai pengusaha yang udah terkenal di penjuru dunia, gue harus bisa menyembunyikan rahasia itu dari semua orang. Akan menjadi masalah besar, jika mereka tau yang sebenarnya. Banyak orang yang akan memanfaatkan situasi ini. Dia … anak Hanna. Suatu saat nanti bisa meneruskan perusahaan ini setelah gue udah tua.“Kalau mereka tau dia bukan anak kandung gue, banyak orang yang akan nge-jugde dia. Elo pikirkan gimana stressnya dia nanti setelah menerima hinaan itu? Elo kayak nggak tau aja mulut warga negara tercinta ini kayak gimana.”Andra terkekeh mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sagara
Andra geleng-geleng kepala kala melihat dua sejoli itu tengah berciuman. Kemudian menghela napasnya dengan kasar.“Sagara kenapa jadi kayak maniak gitu, yaa? Di mana pun dan kapan pun, sosor teruuuss!” Andra terlihat kesal karena melihat pemandangan seperti itu.“Gue kok jadi nggak percaya, kalau si Sagara masih perjaka, waktu belum nikah. Dia nyesel udah ninggalin Clara, apa jangan-jangan pernah main juga, ama tuh cewek?” Andra pun berasumsi jika sahabatnya itu bukan hanya baru berhubungan dengan Hanna saja. Melainkan dengan mantan pacarnya pun, Sagara melakukannya.“SAGARA!” teriak Andra kemudian.Sampai akhirnya Hanna mendorong tubuh suaminya itu kemudian berbalik badan. Pergi menuju kamar lantaran tak ingin melihat wajah Andra. Malu. Itulah yang dirasakan oleh Hanna karena sering sekali Andra menciduknya sedang berciuman.“Ganggu aja, lo!” salak Sagara sembari mengacak rambutnya.“Gue mau nanya sama elo!” ucapnya datar. “Mending elo jujur aja deh sama gue.”“Jujur apaan? Emang gue
Sagara mengendikan bahunya. "Belum tau. Gue nggak ngikutin perkembangan prosesnya. Bisa ditanyakan sekalian, sama Pak Ardi."Andra manggut-manggut. "Ya udah kalau gitu. Gue pikir, elo tau. Ternyata nggak."Sagara mengulas senyum tipis. "Pertama kali Damar ditangkap pun, gue gak pernah tau. Semuanya gue serahkan pada Pak Ardi yang dengan senang hati bantu gue. Sebagai balasannya, gue akan memberikan berbagai desain terbaru ke Attack Europe."Andra menghela napasnya dengan pelan. "Pak Ardi ini, udah sering banget bantu elo, Sagara. Apa emang dari dulu, dia sering bantu elo?"Sagara mengangguk. "Ya. Waktu Papa masih ada pun, Pak Ardi sering bantu kami. Dia banyak relasi. Sering bantu siapa pun yang deket sama dia. Bukan hanya gue aja. Lagian wajar aja sih, mereka bantu gue. Toh, gue udah kasih kontribusi yang banyak untuk mereka.""Iya, sih. Gue yang merasa ada yang aneh, atau gue gak tau apa-apa.""Gak tau apa-apa. Awalnya gue curiga ke dia. Tapi, saat tau di balik itu semua, gue jadi t
Ardi menganggukkan kepalanya dengan cepat. Kemudian mengambil map berisi dokumen yang diminta oleh Sagara. Di mana pria itu meminta para pekerja di Anumerta yang masih bertahan.“Besok, saya harus ke Eropa untuk mengambil uang yang disimpan Papa di sana. Setelah itu, mungkin akan ke Anumerta. Memberi tahu mereka jika perusahaan itu saya, yang akan mengelolanya. Dan akan meminta kepada mereka, yang ingin keluar silakan, yang mau bertahan pun tak masalah.“Saya bisa merekrut pekerja yang lebih baik dari mereka. Dan sahabat saya ini. Yang otaknya udah meleibih detektif ini akan menjadi General Manager baru di Anumerta. Dia akan menjadi kepercayaan saya. Kenapa begitu? Karena dia adalah orang kedua yang setia menemani saya saat saya jatuh.“Hadiah yang pantas didapatkan oleh Andra adalah menjadi kepercayaan saya. Tidak ada lagi yang bisa saya berikan padanya kecuali jabatan tinggi di bawah saya. Bagi Anda semua yang ingin konsultasi, dan segala hal lainnya, bisa langsung hubungi dia.”Sag
Sagara terdiama mendengar perkataan yang diucapkan serta ditanyakan oleh perempuan itu. Sementara Andra hanya melirik Sagara. Entah apa yang akan diucapkan oleh pria itu kepada Mikayla.Kemudian Sagara menelengkan kepalanya. “Kenapa kepo soal hubunganku dengan Hanna? Bukan urusan kamu, Mikayla.” Sagara memutar bola matanya dengan pelan kemudian masuk ke dalam mobilnya.Tidak penting, melayani perempuan yang ingin tahu tentang hubungannya yang sedang terjalin itu.“Aneh! Mau coba jatuhin gue? Hhh! Mana bisa. Gue lebih cerdas dari elo, Mikayla. Patah hati boleh. Tapi, kalau mau berusaha jatuhin gue dengan skandal masa lalu gue, jangan harap bisa berhasil.”Andra menepuk bahu sahabatnya itu. “Mikayla kenal sama Hanna hanya karena dia sering pesen baju di dia. Sering juga lihat si Raffael ada di sana. Jangan aja, nanti si Raffael ketemu sama Mikayla. Berabe urusannya, Sagara.”Pria itu menghela napasnya dengan pelan. “Elo tenang aja. Nggak ada buk—“ Sagara terdiam. Ia kemudian menolehkan
“Santai aja, Sus. Jadi, bagaimana? Besok, saya dan Andra akan pergi ke Eropa. Di sini hanya ada Hanna dan assisten rumah tangganya yang baru dapat tadi pagi.”Suster Indah menghela napasnya dengan pelan. “Iya, Mas. Saya mau. Kapan, saya bisa menemui Mas Sagara?”Andra menerbitkan senyumnya dengan lebar kala mendengar persetujuan dari Suster Indah yang menyetujui permintaan Sagara untuk menjadi perawat pribadi Mayang.“Nanti saya tanyakan ke Sagara, kapan bisa ketemuannya,” kata Andra dengan semangat.“Baik, Mas. Kalau besok beliau akan pergi ke Eropa, bagaimana kalau malam ini saja? Mas Andra, bisa jemput saya di rumah sakit jiwa? Hari ini adalah hari terakhir saya bekerja di sini.”Lantas pria itu menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Iya, Sus. Nanti saya kabari kalau sudah ada keputusan dari Sagara, jam berapa akan ngobrol-ngobrol. Kalau begitu, terima kasih, Suster Indah.”Pria itu menutup panggilan tersebut. Ia kemudian kembali ke dalam rumah tersebut dengan langkah lebar penu
Sagara menghela napasnya dengan pelan. Ia menarik tangan Hanna dan diminta untuk duduk di sampingnya. Tangan itu mengusap pipi Hanna dengan lembut dan menerbitkan senyum dengan tipis.“Suster Indah mau, jadi perawat pribadinya Mama. Jam delapan nanti si Andra jemput Suster Indah di rumah sakit jiwa.”“Ooh. Syukurlah kalau mau. Aku ikut seneng,” ucapnya kemudian menerbitkan senyum kepada sang suami. “Hanya itu, yang ingin kamu sampaikan?”“Masih ada.” Sagara menatap Hanna dengan lekat kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Kamu tau kan, kalau kita menikah saat kamu sudah hamil?”Hanna menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Kenapa memangnya?”“Jadi begini, Sayang. Sebenarnya aku nggak mau kamu salah paham. Tapi, kita harus luruskan ini. Ini salah aku. Aku yang pertama kali ngajak kamu berhubungan intim. Dan sebenarnya hal itu tidak dianjurkan jika kamu dalam keadaan hamil.“Maafin aku, yaa. Untuk dua bulan ke depan, kita harus menahan nafsu masing-masing. Ini untuk kebaikan kita ju
Sagara menerbitkan senyumnya. "Boneka kesayangan kamu. Aku ambil karena Andra marah-marah, minta diambil lagi sepeda yang udah aku buang ke dasar sungai."Hanna menganga mendengar ucapan Sagara. Di mana pria itu sudah bersusah payah mengambil sepeda serta boneka miliknya.“Ya—yang bener, Sagara?” tanyanya seolah tak percaya dengan ucapan suaminya itu.Sagara menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Iya. Aku menyimpannya dan berharap bisa bertemu lagi dengan kamu. Boneka itu selalu aku bawa setiap kali mencari kamu. Tapi, pencarian kamu berhenti saat aku masuk kuliah. Juga, banyaknya cewek yang nanyain itu boneka kenapa dibawa-bawa.“Dan kamu tau, apa jawabanku? Itu adalah milik adikku yang sudah meninggal. Jahat memang. Tapi, demi menjaga boneka dibuang oleh para perempuan kala itu, aku mengelabui mereka dengan mengatakan kalau itu adalah milik adikku. Padahal, Mama nggak pernah punya anak lagi selain aku.”Sagara terkekeh sendiri kala menceritakan tentang boneka yang sela
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu