"Aku melakukan itu padanya?" Zayn terperangah mendengar semua penuturan Andre."Iya, Bos.""Tunggu, tunggu."Zayn mencoba mengingat kejadian belasan tahun lalu. Tidak akan mudah bagi orang mengingat kejadian apalagi hanya sekilas lewat dalam hidupnya. Tidak hanya ada satu atau dua wanita yang pernah singgah dalam kehidupan Zayn, saking banyaknya bahkan sampai tidak terhitung.Lelaki itu tampak menghela napas saat sebuah ingatan sudah tersusun sempurna setelah sebelumnya berantakan seperti puzzle yang tak berurutan. Kalau tidak mendapatkan informasi tambahan dari Andre mungkin Zayn akan benar-benar melupakan kejadian itu.Belasan tahun lalu ada salah satu orang yang memasukkan obat perangsang ke dalam minuman Zayn berniat untuk menjebak Zayn agar bisa tidur dengan adiknya, berharap bisa menikmati kekayaan keluarga Zayn tapi rencana itu sama sekali tidak berhasil malah Zayn berakhir merenggut kesucian Mila yang kala itu bekerja membantu bibinya di sebuah penginapan. Zayn pikir akan sel
“Bu, ini dari Om Zayn.” Dengan gembiranya Davin memberitahu dan menaruh barang-barang itu di meja.Mila menatap Davin dengan kening berkerut, “Bukan Davin yang minta?”Davin langsung menggeleng, “Bukan, Bu. Mana pernah Davin minta-minta,” sangkalnya.Memang benar tidak mungkin. Mila tidak pernah mengajarkan anaknya untuk meminta sesuatu pada orang lain, meski Zayn bukanlah orang lain sekarang, lelaki itu sudah menjadi suami Mila dan ayah untuk anak-anak wanita itu.“Boleh dibuka ya, Bu? Aku penasaran.” Davin lebih dulu meminta izin, jika sang ibu tidak mengizinkan maka ia tidak akan membukanya.“Tapi benar Om Zayn yang memberikannya?” Mila mengulang pertanyaan.“Iya, Ibu. Coba lihat isinya, pasti untukku dan Devan.” Davin mengerucutkan bibirnya kesal.“Sini, biar Ibu lihat dulu.” Mila mengambil satu paper bag untuk melihat isinya.Mata wanita itu terbelalak.“Itu jaring-jaring apa, Bu?” tanya Devan.Buru-buru Mila kembali memasukan ke dalam paper bag, “Oh, ini mungkin untuk Ibu. Bukan
Mila terbelalak mendengar tuduhan yang dilayangkan padanya.“Lihat saja nanti, Bu. Kalau sembilan bulan saya masih belum melahirkan berarti Ibu fitnah,” ujar Mila lalu beranjak menghampiri Nita yang sibuk menyiangi kangkung.Terkadang Mila tidak nyaman juga jika ada ibu-ibu macma Bu Dini yang bicaranya seenak jidat tanpa memikirkan perasaan orang. Masalahnya bicara di depan banyak orang bukan di depan Mila sendiri.“Kenapa mukamu ditekut begitu, Mil? Kemana pangeranmu,” goda Nita.“Tidak usah bahas itu, Nit. Aku ingin pergi ke sini agar bisa liburan sejenak, membuat adem pikiran bukan malah jadi tidak nyaman begini.” Mila mencebik kesal.“Aish! Ibu-ibu itu memang minta dijahit mulutnya, Mil. Sudahlah, tidak usah didengarkan. Mereka hanya iri karena kau mendapatkan suami tampan, panas dan tajir melintir sementara mereka tidak.”Setidaknya ada Nita yang satu jalan pikiran dengan Mila dan tidak pernah ikut menyudutkan seperti yang lain. Meskipun tidak semua ibu-ibu seperti itu, hanya beb
Tanpa membalas pesan itu, Zayn memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana.“Sampai mana tadi?” Ia beralih menatap sang istri.“Hah? Apa?” Mila langsung gelagapan, diam-diam memperhatikan wajah Zayn dari dekat dan takut ketahuan.Mungkin ia baru menyadari jika suaminya memang tampan, meski sudah tidak muda lagi. Zayn itu juara jika dinilai dari fisiknya, hanya saja minus lelaki itu sikapnya yang kasar dan dingin. Namun semenjak jatuh hati pada Mila dan menemukan anak-anaknya. Zayn mencoba untuk merubah dirinya lebih lembut lagi agar bisa mendekatkan diri pada mereka.“Apa kau begitu terpesona padaku?” goda Zayn sambil mengulum senyum.“Hanya dalam mimpimu! Cepat lepaskan aku.”“Kau harus tepati janjimu untuk membiarkanku berusaha agar membuatmu cinta padaku. Jangan curang!”“Tapi aku tidak ingin ada pemaksaan! Kalau aku tidak mau jangan memaksa.”“Oke. Aku tidak akan memaksa.” Zayn melepaskan tangannya membuat Mila bisa bangkit.Wanita itu tampak mengatur napasnya yang memburu, jan
“Sudah kub-” Mila langsung mengatupkan mulutnya saat menyadari ada Tito di sana.Tadinya ingin mengomeli Zayn tapi diurungkan niatnya.“Sudah belum? Kita harus segera berangkat.” Dengan santainya Zayn merangkul mesra pinggang Mila.Andai saja tidak ada Tito sudah pasti dengan cepat Mila menghempaskan tangan Zayn.“Sudah,” jawab Mila dengan senyum lebar, ia beralih menatap Tito, “ada apa, Mas?”“Kalian ....” Tito menggantung ucapannya saking tidak percayanya dengan apa yang saat ini dilihatnya.“Suamiku mengajakku dan anak-anak liburan. Apa Mas Tito ada urusan penting ke sini?” tanya Mila dengan penuh penekanan, ia merasa ada untungnya juga Tito datang dan tahu jika sekarang Mila sudah menjadi istri orang, dengan itu Tito tidak akan lagi mengusik Mila.Tito terbelalak, “Su-suami?”“Tadi aku bilang tidak percaya sih,” celetuk Zayn dengan senyum puas.“Kalau tidak ada yang dibicarakan kami harus pergi.” Mila kembali buka suara lalu dengan cepat mengunci rumahnya.Tito masih terdiam di te
“Bangs*t! Seret dia keluar, jangan biarkan sampai masuk!” geram Zayn, ia bicara melalui telepon saat melihat Livia ada di luar rumah.“Om.”Buru-buru Zayn memutuskan sambungan telepon itu. Wajahnya yang tadi sangar kini penuh senyum. Di depan orang tersayangnya ia akan berubah menjadi lembut.Dia berbalik, melihat Davin di ambang pintu. Ia saja sebagai ayahnya belum bisa membedakan, tapi jika kedua anak itu sudah duduk berdampingan dan mengobrol maka yang paling cerewet sudah pasti Davin.“Kenapa?”“Mau kencing, toilet diman?” tanyanya sambil meringis.“Oh, ayo sini.”Meski masih was-was. Zayn tetap mencoba untuk tenang. Ia mengantar Davin ke toilet.Baru saja pintu toilet dibuka, Davin langsung mendongak menatap sang ayah.“Di rumah kamar mandinya tidak seperti ini, Om,” kata Davin dengan begitu polos.“Ya sudah. Om tunjukan.”Setelah mencontohkan, ia keluar dari kamar mandi itu dan kembali ke kamar tempat Devan berada. Tidak lupa memantau Livia dari atas balkon.Istri pertama Zayn i
“Dia mengatakan itu padamu?”Mila mengangguk.Tawa Zayn pecah seketika, dengan gerakan cepat menarik pinggang Mila membuat tubuh bagian depan mereka menempel sempurna.Kedua tangan Mila menahan dada Zayn agar mereka bisa ada sedikit jarak.“Bicaranya tidak usah sedekat ini juga!” protes Mila.“Tapi aku maunya begini.” Zayn menatap Mila begitu dalam membuat sang wanita salah tingkah.“Aku tidak mau ada salah paham antara kau dan istrimu.”Zayn mengulum senyum, “Dengar, sayang. Banyak diluar sana yang berharap menjadi istriku dan tanpa malunya mereka mengakui jadi jangan salah kalau kau mendapati wanita seperti itu di kota. Suamimu ini idaman para kaum hawa,” ujarnya dengan begitu percaya diri.Sebenarnya itu memang fakta, bahkan para gadis ingusan yang masih berseragam putih abu-abu sekalipun tetap mendambakan seorang Zayn yang penuh kharisma.“Tidak usah pedulikan siapapun orang yang mengaku sebagai istriku.”“Iya, aku percaya padamu. Jadi tolong lepaskan.” Mila memohon, lama-lama di
“Kenapa berdiri di situ?” tanya Zayn karena Mila hanya berdiri di dekat ranjang.Mereka semua sudah selesai makan malam. Bahkan si kembar sudah kembali ke kamar mereka dan istirahat karena tidak sabar menjemput pagi dan pergi untuk jalan-jalan.“Aku tidur di sofa saja.” Mila melangkah menuju sofa.“Kau ingin tidur berdua denganku di sana?” sebelah alis Zayn terangkat, “boleh, sepertinya menyenangkan.”“Tidak! Siapa juga yang mau tidur denganmu. Aku tidur di sofa agar tidak satu ranjang.”“Kemarilah, aku hanya ingin kau tidur nyaman di sini. Aku tidak akan macam-macam.” Zayn melambaikan tangannya.Mila jelas tidak akan percaya karena ia tahu jika suaminya itu sangat mesum, pikirannya selalu kotor. Jadi jika ada kesempatan sudah pasti akan dilakukan.“Tidak!” Mila tetap keukeuh dan langsung membaringkan tubuhnya di sofa tanpa bantal dan selimut.Baginya tidur di sofa itu saja sudah sangat nyaman. Mila orang yang akan mensyukuri apapun yang dirasakannya.“Ya sudah. Terserah.” Zayn mengal