Suara desahan di kamar yang penerangannya remang-remang itu terasa begitu panas. "Aaahh..." Entah sudah berapa kali Dewi merasakan pelepasan. "Gimana sayang? Enak?" tanya Seno yang juga telah kelelahan setelah aktivitas panas mereka. "Iya, sayang. Senang deh aku kalau kita kayak gini terus. Sayang lebih puas denganku atau dengan cewek kampung itu?" tanya Dewi. Dewi merapatkan tubuhnya pada Seno. Seolah dia tidak ingin berjauhan dengan lelaki itu. "Tentu kamu dong, kamu ini tidak ada duanya. Setiap kali aku main denganmu rasanya aku tidak mau berhenti. Berbeda sekali kalau dengan Andin. Dia itu pasif, tidak mau berganti gaya. Dia juga tidak mau menyenangkan juniorku dengan mulutnya. Berbeda dengan kamu lah pokoknya, kamu ini memang yang terbaik."Seno melumat bibir Dewi, lumatan yang awalnya ringan itu kini berganti menjadi lumatan yang saling menuntut. Dewi menikmati tiap permainan lidah Seno, tangannya bergerilya dan memainkan junior lelaki itu. "Euhmm... Terus sayang. Enak..."
"Dewi, aku harus pulang," ucap Seno. "Loh, kenapa, Mas? Bukannya kita masih punya banyak waktu?" Dewi yang sudah menebak kenapa Seno mengatakan hal itu, tentu tidak ingin membiarkan Seno pulang begitu saja. "Andin kabur, Dewi. Aku harus mencari keberadaan Andin." Dewi mendengus kesal, ketika nama Andin diungkit Seno. Padahal yang ada di depan Seno saat ini dirinya, tapi malah istrinya itu yang Seno ingat. "Mas kok lebih mentingin istri Mas itu, Mas udah nggak sayang sama aku lagi," ujar Dewi. Dewi marah dan cemburu jika dia mengetahui Seno masih peduli dengan Andin. Bukankah dia yang bisa memuaskan lelaki itu? Dewi sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Seno. "Sayang, bukan begitu. Aku harus pulang untuk saat ini, tapi aku janji akan mengganti waktu kita yang belum kita lalui ini, gimana?" bujuk Seno. "Mas kenapa sih harus banget gitu nyariin Andin? Dia kan sudah dewasa, paling juga bentar lagi balik. Lagian Mama tuh pengen cucu dari kita, tapi kalau Mas aja enggan mengha
Seno bersiul dengan riangnya saat dia kembali ke rumah, setelah menghabiskan hari dengan Dewi. Kebutuhan biologisnya telah terpenuhi, itu lah hal yang membuat suasana hatinya bahagia. Ibarat kucing garong yang diberi ikan asin, begitulah Seno. Dia akan melahap ikan asin tersebut. Namun dia justru menyia-nyiakan hidangan mewah di rumah. "Aku ingin cepat-cepat mengambil alih asuransi si Andin, dengan begitu dia bisa segera ku tendang keluar. Sungguh menyebalkan karena dia masih hidup." Gerutuan Seno memanjang jika dia teringat tujuan awalnya menikahi Andin, tapi rencananya itu masih belum juga terlaksana. Dulu, Seno sempat merencanakan pembunuhan Andin. Hanya saja, dia masih takut akan hukuman penjara jika sampai perbuatannya terendus. Makanya dia mengganti strategi dengan menyerang Andin secara fisik dan mental. "Sial banget tuh cewek, sudah diperlakukan buruk kayak gitu juga masih belum mati. Bosen aku lama-lama." Daun pintu dibukanya dengan malas. Kalau bukan karena besok dia ha
Gemuruh petir saling bersahutan di langit sana. Angin pun mulai berhembus kencang, mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Walau cuaca sedang tidak mendukung, hal itu tidak mengurungkan niat Seno untuk mencari keberadaan sang istri. "Mama yakin dia lari ke arah sini?" tanya Seno pada ibunya. Karena terus dipaksa oleh Seno, Bu Sekar akhirnya pulang dari party yang diselenggarakan temannya. "Ya Mama mana tahu, intinya waktu kabur dia ke arah sini. Hanya saja sebelum Mama berhasil menangkapnya, wanita kampung itu pergi ke arah mana lagi." "Sialan!" Brak! Seno memukul kemudi mobil, sebenarnya dia ingin memukul ibunya. Namun dia sadar diri kalau dia masih membutuhkan ibunya. "Seno, lupakan saja wanita kampung itu. Kalau dia kabur bukannya justru lebih bagus. Kamu jadi bisa menikah lagi dengan Dewi. Kita tinggal bilang saja kalau wanita kampung itu sudah mati dan kamu bisa mengkalim asuransi yang kamu maksud itu. Bu Sekar mengira kalau putranya akan menerima usulan yang dia berikan. N
Brak! Pintu mobil ditutup kasar oleh Seno, dia sudah tidak sabar untuk menyeret istrinya yang dia pikir bersembunyi di rumah Siska. "kamu yakin di sini rumah temannya Andin?" tanya Bu Sekar. "Aku yakin, aku pernah ke sini mengantar Andin sebelumnya. Dia kan tidak punya siapa-siapa lagi, sembunyi di mana kalau bukan di rumah temannya ini?" Langkah kaki Seno dipercepat, rumah kontrakan berukuran kecil itu menjadi tujuannya. Digedornya pintu kayu yang sudah hampir lapuk di makan usia, Seno tidak peduli dengan pandangan tetangga Siska yang menatapnya penuh curiga. "Siska! Keluar kamu! Aku tahu kamu ada di dalam!" Seru Seno tanpa menghentikan gedorannya. Sementara Seno yang masih terus memanggil si pemilik rumah, Bu Sekar hanya mematung sambil mengamati sekeliling rumah tersebut. Kontrakan yang berada di tempat yang padat penduduk itu tampak kumuh di mata Bu Sekar. Hal yang paling dia benci dalam hidupnya. Iya, Bu Sekar yang termasuk OKB itu sangat tidak suka dengan wilayah kumuh d
"Ada apa Luk?" tanya Andin yang baru saja dari dapur. Dia menghampiri Lukman yang tengah mengetik sesuatu di ponselnya. "Oh, bukan masalah besar kok." Kening Andin mengkerut, jika bukan masalah besar kenapa ekspresi wajah Lukman tadi sedikit tegang? "Jangan-jangan ada hubungannya dengan Mas Seno?" tebak Andin. Tidak ada jawaban dari pemuda itu, dia hanya kembali fokus pada layar laptopnya. Terlihat jajaran angka yang Andin tidak pahami. Hari ini Lukman bekerja dari rumah. Alasannya karena tidak banyak pekerjaan penting, sehingga dia memilih untuk mengerjakannya di rumah saja. Namun Andin sudah menebak, bukan itu alasan utama Lukman. Dalam pikiran Andin, mungkin saja Lukman masih belum percaya dengan dirinya. Siapa juga yang langsung percaya begitu saja dengan orang yang baru pertama ditemui setelah beberapa tahun lamanya? "Jangan bohong, Lukman. Aku yakin Mas Seno membuat ulah lagi, bukan? Tolong jangan sembunyikan apapun dariku. Aku berhak tahu jika benar itu yang terjadi," tut
Bagaikan disambar petir di siang hari, Andin tidak pernah sekalipun terbesit di pikirannya tentang apa yang dikatakan Lukman barusan. Kenyataan bahwa sang suami sering 'jajan' di luar sana? Bahkan ketika usia pernikahannya masih baru? "Kamu tidak bohong kan, Luk?" tanya Andin. "Buat apa aku bohong?" "Kenapa kamu diam saja? Bukannya kamu masih ada waktu itu?" Andin mengguncangkan tubuh Lukman. "Buat apa? Mbak Andin kan sedang bucin-bucinnya dengan Mas Seno. Jadi mau aku ngomong apa pun pasti Mbak Andin tidak akan pernah percaya, bukan?" Lukman melepaskan tangan Andin yang mencengkeram kuat kemejanya. Saat itu juga Andin terduduk lemas, benar apa yang dikatakan Lukman. Saat itu dia memang sedang kasmaran dengan Seno. Jadi wajar kalau Lukman tidak berani mengungkapkannya saat itu. Baru kali ini Andin setuju dengan kalimat yang mengatakan, salah satu orang yang susah dinasihati adalah orang yang tengah jatuh cinta. "Sebenarnya apa yang salah denganku? Apa yang kurang dariku? Padah
Tok... Tok... Tok... "Mbak, kamu sudah bangun?"Suara Lukman dari luar kamar Andin, membangunkannya. Andin bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa berat. Sampai dini hari dia tidak bisa tidur, walau dia berusaha untuk tidak memikirkan Seno lagi. Namun tetap saja, tidak mudah baginya untuk melupakan orang yang telah hidup bersama dengannya selama beberapa hari terakhir. Apa lagi Seno adalah cinta pertama Andin, orang bilang cinta pertama itu susah dilupakan. Walau hadirnya terkadang sering kali menyebabkan luka dan derita. Seperti yang Andin rasakan saat ini. Dibukanya pintu kamar hingga memperlihatkan Lukman yang telah siap dengan setelan jas warna hitam, membalut tubuh tegap Lukman. "Baru bangun?" Lukman merapikan rambut Andin yang hampir menutupi wajah cantik perempuan itu. "Sepertinya Mbak masih belum bisa melupakan Mas Seno. Hati Mbak terlalu lemah, aku tidak yakin kita bisa menjalankan rencana kita," ucap Lukman. "Sekarang, apa yang ingin Mbak lakukan? Apakah Mbak a
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu