"Apa yang kamu lakukan tadi?" tanya Bu Sekar dengan pandangan mata penuh curiga. "T--tidak sedang apa-apa kok, Ma. Sumpah." Andin tidak tahu harus menjawab apa pada ibu mertuanya. Selama ini dia menjadi menantu dan istri yang jujur. Tidak pernah sekalipun Andin berkata bohong, sepahit apa pun hidup yang dia alami sejauh ini. "Sudah berani berbohong ya kamu, tadi aku lihat kamu sedang membalas chat orang 'kan? Hayo ngaku! Jangan bilang kamu itu punya selingkuhan di luar sana? Makanya ngumpet-ngumpet begini?" terka Bu Sekar. "T--tidak, Ma. S--saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Demi Tuhan, Ma." "Halah! Jangan bawa-bawa nama Tuhan untuk menutupi kebohonganmu itu, kemarikan HP-mu! Cepat!" Andin menggeleng cepat, dia sudah menghapus chat dengan Siska. Untung saja dia juga belum memfoto luka lebam seperti yang diminta Siska. Mengantisipasi jika hal yang tidak diinginkan terjadi, sebelum rencana mereka berhasil. Baru saja Andin ingin memulai rencananya, dia sudah kepergok dulua
Seno menekan tombol hijau sehingga terdengarlah suara si penelpon. Seno pun juga mengaktifkan speaker, supaya ibunya dan Dewi dapat mendengar juga. "Selamat sore Ibu, saya Angie dari jasa_" Belum juga si penelpon yang ternyata spam itu selesai berbicara, tapi Seno sudah memutuskan sambungan telepon itu. Bukan Seno namanya jika melepaskan hal itu begitu saja. Karena dia gagal membuat masalah dengan Andin, Seno pun mengecek history chat dan panggilan di HP istrinya itu. Tidak ketinggalan dengan galeri yang ada juga menjadi objek kekesalan Seno. "Tuh 'kan, Mas. Aku bilang juga apa. Aku tidak pernah sekalipun berpaling hati darimu, Mas. Berbeda dengan apa yang kamu lakukan padaku. Bukan hanya kamu melukai hatiku dengan membawa wanita lain ke rumah kita, kamu juga menjadi lebih ringan tangan. Sebenarnya aku ini siapa di matamu, Mas? Masihkah aku dianggap sebagai istri?" ujar Andin. "Sekarang itu aku bukan lagi bahas tentang aku, tapi kamu. Jangan memutar balikkan pembicaraan ya!" sent
Suara bel masih nyaring terdengar, baik Bu Sekar, Seno, mau pun Dewi tidak ada yang berani beranjak membukakan pintu. Ketiganya ketakutan dengan apa yang baru saja mereka lakukan terhadap Andin. Begitulah apa yang dirasakan orang yang berbuat dzalim. Mau sekeras apapun menyangkal dan menutupi perbuatan mereka, hati kecil mereka tidak dapat berbohong. Karena rasa takut itulah, ketiganya hanya saling melempar tugas untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. "Ma, Mama saja tuh yang buka. Paling juga itu teman Mama," ucap Seno. "Loh, kok Mama sih? Harusnya kamu saja, kan kamu yang laki-laki di antara kita bertiga.""Duh, kok aku? Ya sudah kamu saja, Dewi." "Kok aku? Kan ini rumah kamu, Mas." Sampai akhir pun tidak ada yang mau, akhirnya Seno terpaksa mengakhiri perdebatan siapa yang membuka pintu. Dia pun melangkah ke arah pintu depan."Semangat ya, Mas. Hati-hati juga," bisik Dewi sambil cekikikan. Seno hanya mengangguk, tapi dia terus menerus menggerutu akan kehadiran
"Ma! Buka pintunya, Ma! Mama! Mas Seno!" teriak Andin. Digedornya juga pintu kayu itu dengan sekuat tenaga. Namun nihil, jangankan ada yang membukakan pintu itu. Dua orang yang dia panggil juga tidak ada yang menyahut. "Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Andin mengitari kamarnya, dengan kakinya yang pincang itu dia tertatih-tatih mencari sesuatu untuk membuka pintu kamar atau kabur dari kamar tersebut. Beruntung kamar yang ditempati Andin itu berada di lantai satu, bersampingan dengan dapur. Setelah dia pisah kamar dengan suaminya yang menempati kamar utama di lantai dua. Jadi kalau pun dia kabur dari jendela, tubuhnya tidak akan cidera. "Kamar ini hanya punya satu pintu yang kuncinya dipegang Mas Seno. Jendela ini juga tidak bisa dibuka dengan mudah." Andin memutar otaknya, diperhatikannya susunan jendela itu. Jendela kayu yang tidak memiliki kunci. Karena kamar yang dia tempati itu awalnya gudang, maka dari awal rumah itu dibangun, jendela itu memang tidak diperuntukk
"Sarip! Bagus, tahan dia! Jangan biarkan dia kabur!" seru Bu Sekar. Sarip--tukang kebun-- itu lah yang tengah mencegat Andin. Sarip ini tidak bisa bicara, tapi dia bisa paham apa yang orang lain katakan melalui gerak bibir orang tersebut. "Mang Sarip, tolong lepaskan saya, Mang. Saya harus pergi dari rumah ini. Saya mohon, Mang," ucap Andin penuh harap. Andin dapat membayangkan bagaimana nasibnya jika dia kembali tertangkap oleh ibu mertuanya. Mengingat keributan yang terjadi dan Seno tidak kelihatan sama sekali, itu artinya Seno dan Dewi sudah pergi. Makanya saat ini merupakan kesempatan langka bagi Andin. Sarip masih belum melepaskan tangan Andin, mungkin dia juga takut jika dia menuruti ucapan Andin. "Mang, tolong saya. Saya bisa mati kalau sampai tertangkap oleh Mama, saya mohon, Mang Sarip." Andin kembali memohon. Wajah Andin memucat saat dilihatnya Bu Sekar sudah makin dekat dengannya."Sarip! Jangan kamu lepaskan Andin! Awas kamu kalau melawan perintahku!" ancam Bu Sekar.
Andin mengerjakan kelopak matanya, rasa pusing kembali menghampiri. Setelah butuh waktu beberapa menit hingga kesadaran sepenuhnya telah dia kuasai, Andin memperhatikan keadaan di sekitarnya. "Aku ada di mana?" tanyanya pada dirinya sendiri. Andin mencoba mengingat kejadian sebelum dia ada di tempat ini. Ingatan dia yang kabur dari kejaran ibu mertua, tercegat oleh Sarip dan juga pertemuannya dengan lelaki botak. "Laki-laki itu! Apakah dia yang membawaku ke sini? Tapi dia siapa? Aku yakin tidak kenal dengan orang itu," gumam Andin. Kepala Andin kembali berdenyut, makin dia memaksa untuk mengingat orang yang dia temui itu kepalanya makin bertambah pusing. Seolah alam bawah sadarnya tidak mengizinkan Andin untuk mengingat orang tersebut. Cklek!Daun pintu yang semula tertutup rapat itu perlahan terbuka, sosok laki-laki bertubuh tinggi dan tegap memasuki kamar tersebut dengan membawa nampan berisi makanan. "Mbak sudah bangun rupanya?" ucap lelaki itu. Tanpa rasa canggung lelaki i
"Aku ingin cerai dengan Mas Seno. Bertahan pun percuma. Aku sudah tidak sanggup mempertahankan pernikahan ini," ucap Andin setelah terdiam cukup lama. "Bagus! Aku akan bantu proses perceraian Mbak Andin dan Mas Seno. Lalu, aku punya rencana untuk membalas perbuatan mereka. Kalau Mbak Andin setuju dengan rencanaku, aku akan urus semuanya," ujar Lukman. "Benarkah? Gimana caranya melawan mereka? Mas Seno itu orang yang berpengaruh di perusahaannya. Aku takut dia menggunakan kekuasaannya untuk membuat hidupmu susah, Lukman. Kalau aku 'kan tidak masalah. Aku nggak mau orang lain terkena dampaknya karena menolongku." "Mbak Andin nggak perlu khawatirkan itu semua. Aku bukan orang yang gampang dia jatuhkan. Lagi pula, Mbak Andin juga tidak seharusnya mendapat perlakuan buruk dari Mas Seno dan Mama," balas Andin. "Mbak tenang saja. Aku ini jauh lebih bisa diandalkan dari apa yang Mba Andin sangka." "Begitukah? Lalu, rencana apa yang kamu maksud?" tanya Andin. "Menikahlah denganku, Mbak."
Suara desahan di kamar yang penerangannya remang-remang itu terasa begitu panas. "Aaahh..." Entah sudah berapa kali Dewi merasakan pelepasan. "Gimana sayang? Enak?" tanya Seno yang juga telah kelelahan setelah aktivitas panas mereka. "Iya, sayang. Senang deh aku kalau kita kayak gini terus. Sayang lebih puas denganku atau dengan cewek kampung itu?" tanya Dewi. Dewi merapatkan tubuhnya pada Seno. Seolah dia tidak ingin berjauhan dengan lelaki itu. "Tentu kamu dong, kamu ini tidak ada duanya. Setiap kali aku main denganmu rasanya aku tidak mau berhenti. Berbeda sekali kalau dengan Andin. Dia itu pasif, tidak mau berganti gaya. Dia juga tidak mau menyenangkan juniorku dengan mulutnya. Berbeda dengan kamu lah pokoknya, kamu ini memang yang terbaik."Seno melumat bibir Dewi, lumatan yang awalnya ringan itu kini berganti menjadi lumatan yang saling menuntut. Dewi menikmati tiap permainan lidah Seno, tangannya bergerilya dan memainkan junior lelaki itu. "Euhmm... Terus sayang. Enak..."
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu