Andin menutup wawancara dengan senyum tipis yang terpatri di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan lega dan gugup yang melanda dirinya. Meskipun dia merasa lega bahwa pertemuan dengan para wartawan telah selesai, tetapi juga sekaligus gugup dengan segala pertanyaan yang dilemparkan ke arahnya. Setiap detik dalam wawancara itu terasa seperti menjalani ujian, dan walau dia mencoba untuk menjawab, rasa gugup dan tak nyaman dalam hatinya terus memburai, membuatnya merasa seperti berjalan di atas seutas tali tipis.Dia bangkit dari kursi di taman depan rumahnya, lalu dengan ramah mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan para pewawancara yang duduk di hadapannya. Andin merasa seakan melepas beban dari pundaknya, meskipun dia juga sadar bahwa cerita dan kesan yang dia bagikan masih akan menjadi berita utama dalam beberapa hari ini."Terima kasih atas wawancara Anda hari ini," ucapnya sambil tersenyum tulus.Saat para wartawan menyambutnya dengan ramah, beberapa di antaranya menyatakan
Ponsel berdering di saku salah satu bodyguard, Marco. Dia meraih ponselnya dengan cepat, menatap layar dengan serius sebelum menjawab panggilan tersebut. "Ya, ini Marco," ucapnya dengan suara yang tegas dan lugas. "Marco, ini Alex. Kami kehilangan jejak pelaku. Dia menghilang di keramaian." Suara Marco terdengar gelisah di ujung telepon. Bodyguard yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus penembakan Andin. "Di mana kalian sekarang?" tanya Marco, mencoba menahan ketegangan yang memenuhi dirinya. "Kami sedang di jalan utama, berusaha mencari tahu ke mana dia pergi," jawab Alex dengan napas yang terengah-engah. Marco menggigit bibirnya, mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Andin yang masih berada di ruang gawat darurat. Dia bisa merasakan tekanan yang menghimpit dadanya saat dia berbicara kembali. "Tetap berusaha kejar dia. Aku akan memberitahu tim untuk segera bergabung dengan pencarian." "Baik, Marco. Kami akan terus mencoba menemukannya," ucap Alex dengan suara serak.
Langit telah gelap oleh kabut ketika Lukman akhirnya tiba di rumah sakit. Dalam suasana yang sarat dengan ketegangan, Lukman melangkah dengan cepat menuju pintu masuk gedung. Langkahnya cepat, namun hatinya berdegup kencang di dalam dadanya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, mengirimkan getaran yang menggigil.Di dalam gedung yang terang benderang, suasana terasa berbeda. Lampu-lampu sorot yang terang memperjelas setiap sudut ruangan. Suara langkah kaki yang terdengar dari lorong-lorong yang kosong menambah intensitas mengerikan yang menghantui. Di ruang tunggu yang sepi, beberapa bodyguardnya berdiri tegak di sampingnya, mata mereka waspada memperhatikan sekeliling. Lukman duduk di kursi, tatapannya kosong terpancar dalam kegelapan. Bayangan-bayangan tak pasti tentang nasib Andin menghantuinya, menyusup ke dalam pikirannya seperti kabut malam.Sementara itu, di ruang operasi, tim medis bekerja dengan cermat. Ruangan yang steril dipenuhi dengan bau obat-obatan yang menusuk h
Lukman terbangun dari tidurnya, suara dering telepon yang nyaring. Dia mengucek mata dengan lembut, mencari-cari benda pipih kecilnya sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut."Detektif, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara yang terdengar agak terganggu karena masih mengantuk."Maaf mengganggu di pagi buta seperti ini, tetapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Suara detektif terdengar serius di ujung telepon.Lukman segera waspada, perasaan kantuknya lenyap seketika. "Apa yang terjadi?""Ada serangan bersenjata di penjara. Sejumlah pria bersenjata berhasil membawa kabur Dewi dari sana," jelas detektif dengan suara yang berat.Lukman terdiam sejenak, terkejut oleh kabar yang diterimanya. Pikirannya berputar cepat, mencoba memproses informasi yang baru saja dia dengar. Sungguh sial. Masalah satu belum selesai, kini timbul masalah lain. Wanita iblis itu kembali kabur."Dewi ... kabur lagi?" tanya Lukman dengan rahang mengeras."Kami sedang dalam upaya pengejaran, tetapi sit
Lukman duduk di samping tempat tidur Andin, memandang wajahnya yang pucat terbaring tak berdaya di antara seprai putih. Ekspresi wajahnya mencerminkan kecemasan, sementara tangannya mengepal erat lembaran seprai. Dia merasa seakan terisolasi dalam keheningan yang menyelimuti, hanya terpisah oleh jarak yang terbatas dari orang yang dicintainya.Di seberang ranjang pasien, seorang detektif duduk di kursi lipat dengan postur yang tegap, memegang pena di tangan kirinya dan sebuah buku kecil di tangan kanannya. Wajahnya yang serius. Mata detektif itu terfokus pada catatan-catatan yang ia tulis."Andin masih harus dirawat pasca operasi," gumam Lukman dalam keheningan, suaranya terdengar rapuh di dalam ruangan yang sunyi.Detektif mengangguk perlahan, matanya menatap Andin dengan rasa simpati. Wajahnya yang serius dan tegas mulai melunak, seolah memahami beban yang ditanggung oleh Lukman dan Andin dalam situasi yang sulit ini. Dalam keheningan yang memayungi ruangan, kedua pria itu saling
Andin masih terbaring tenang di tempat tidurnya, wajahnya yang pucat terlihat damai di bawah cahaya lembut lampu kamar. Lukman menghela napas lega saat dia melihatnya, merasa lega bahwa dia masih ada di sana.Dia duduk di kursi di samping ranjang Andin, menatap wajahnya dengan penuh kasih sayang. Beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba, mata Andin terbuka. Dia menatap Lukman dengan lemah, senyum kecil menyelinap di bibirnya yang pucat."Lukman," bisiknya dengan suara lembut, "Aku merasa sedikit sakit."Lukman menyentuh tangan Andin dengan lembut. "Tenanglah, itu wajar setelah operasi. Biarkan tubuhmu beristirahat, dan sakit itu akan segera berlalu."Andin meringis, mencoba mengatasi rasa sakit yang terasa di bagian tubuhnya yang telah dioperasi. Dia menatap Lukman dengan tatapan yang penuh harap. "Aku takut," bisiknya dengan suara rapuh. Lukman tersenyum lembut. "Kita akan melalui ini bersama-sama."Andin mengangguk, merasa tenang oleh janji Lukman. Dia memejamkan mata sejenak, menc
Setelah perbincangan sebelumnya, Andin jadi terngiang-ngiang akan pertanyaan yang diajukan oleh Lukman. "Apakah kamu tahu tentang keluarga kakek dan nenekmu?" tanya Lukman dengan hati-hati. "Dan apakah kamu juga tahu bahwa kedua orang tuamu dulu diusir dari rumah karena sebuah permasalahan sehingga terlihat seperti orang miskin?"Andin terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan tatapan kosong yang menatap langit-langit kamar. Dia merasa lelah, fisik dan emosionalnya terasa terkikis oleh peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Dengan menarik napas dalam-dalam, dia mencoba mengumpulkan kekuatan dalam dirinya sebelum menjawab.Menghela napas lagi, Andin merasakan perasaan berat yang menekan dadanya. Dia merasakan setiap detik yang berlalu seperti memperpanjang kekosongan yang ada di dalam dirinya. Dengan mata yang terpejam, Andin mencoba memanggil kembali ingatan-ingatan yang terpendam di sudut-sudut pikirannya. Dia merenung tentang masa lalu yang kelam, tentang rahasia yang tersembu
Pernyataan detektif barusan menjadikan detak jantung Lukman bak seseorang yang tengah berlari dikejar hewan buas. Perutnya yang telah kenyang seketika terasa seperti diaduk-aduk, akan tetapi mualnya tertahan di sebelah dada hingga menimbulkan rasa sesak yang memenuhi dadanya.Sudah dia duga, semua ini belum usai. Belum juga tersingkap teka-teki di kehidupan masa lalu Andin bersama keluarganya, masalah baru—yang sudah lama sebenarnya hanya saja belum kunjung usai kembali hadir mengoyak ketenangan antara Andin dan Lukman.Ini tidak bisa dibiarkan, Lukman mesti melakukan gerak cepat sebelum apa yang dikatakan detektif terbukti. Dia tidak boleh lengah dan mesti meningkatkan kewaspadaan supaya Andin tidak kembali menjadi korban. Andin tidak boleh mati konyol oleh orang-orang jahat dan serakah dan membuat asuransi jiwa milik wanita itu jatuh ke tangan yang salah.Seketika, bayangan wajah Andin memenuhi pikirannya, merasa iba dan getir atas nasib yang dialami calon istrinya. Lukman yakin kal
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu