Di dalam ruang kerjanya yang remang, dengan cahaya lampu yang redup menciptakan bayang-bayang di sekitarnya, jemari Lukman menari-nari di atas tombol-tombol ponselnya dengan gerakan yang tak menentu. Setiap kali jemarinya menyentuh sebuah nomor, kegelisahan dalam dirinya semakin menguat, dan detak jantungnya semakin keras mengiringi setiap panggilan. Gelombang energi gugup mengalir melalui tubuhnya, menciptakan ketegangan yang nyata di ruang kerjanya. Meskipun berusaha untuk tetap tenang, Lukman tidak bisa menahan kecemasannya yang semakin memuncak, harapannya bergantung pada detektif yang ditugaskan untuk mengungkap kebenaran di balik kasus yang melibatkan Andin dan Siska. Dia berdoa agar detektif tersebut dapat memberikan informasi cukup untuk saat ini."Saya di sini." Terdengar suara cepat di ujung telepon."Yah, ini Lukman," sapa Lukman dengan suara serak. "Apa sudah ada kemajuan untuk kasus pelaku penculikan Andin dan Siska?"Terdengar jeda sejenak di ujung telepon, diikuti oleh
Di ruang tamu yang nyaman, Andin duduk terpaku di depan televisi, hatinya hancur saat laporan berita lain ditayangkan. Setiap kata yang diucapkan oleh reporter menimbulkan keraguan akan klarifikasi yang telah ia dan Lukman berikan mengenai hubungan mereka. Meskipun mereka telah berusaha keras untuk menjelaskan kebenaran, tapi terlihat bahwa banyak orang masih memilih untuk mempercayai spekulasi dan gosip yang tak berdasar.Andin merasa putus asa karena upaya mereka tampaknya sia-sia. Rasanya seperti langkah yang diambil untuk membersihkan nama baik mereka menjadi sia-sia di bawah tekanan media yang terus menerus. Dalam keheningan yang menyelimutinya, dia merenungkan bagaimana rumor dan fitnah dapat menghancurkan reputasi seseorang, bahkan ketika mereka tidak bersalah.Sorotan tajam dari layar televisi menerangi ekspresi gelisahnya saat ia menyaksikan gempuran pemberitaan negatif yang tak henti-hentinya. Wajahnya yang sebelumnya tenang kini terpenuhi dengan ketegangan.Rasa frustasi me
Taksi tersebut melambat dan berhenti di depan rumah Siska, pemandangan yang tidak asing lagi, memberikan rasa nyaman di tengah-tengah kekacauan yang mengelilinginya. Dengan napas yang teratur, Siska keluar dari kendaraan, dengan kewaspadaan tinggi saat ia membayar supir taksi dan melangkah ke trotoar.Ketika dia berjalan menuju pintu depan, rasa dingin menjalar di tulang punggungnya saat dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Bulu kuduk di belakang lehernya berdiri saat dia menyadari bahwa pria-pria dari hari sebelumnya masih mengikutinya.Jantungnya berdebar-debar, Siska mempercepat langkahnya, adrenalin yang mengalir di pembuluh darahnya menambah kecepatannya untuk sampai ke tempat yang aman di rumahnya. Namun, sebelum ia sempat memutar kunci gembok rumahnya, dua sosok bayangan muncul, mencengkeramnya dari belakang dan menyeretnya ke belakang.Teriakan Siska untuk meminta pertolongan teredam ketika lengan-lengan yang kuat melingkari tubuhnya, cengkeraman mereka tak kenal
13Detektif mengunci pintu ruang interogasi, memastikan bahwa tidak ada jalan keluar bagi dua pria yang duduk di depannya. Cahaya redup dari lampu langit-langit menyoroti wajah mereka yang tegang, memancarkan bayangan-bayangan misterius di dinding beton. Udara di ruangan itu terasa sesak dan kaku, seperti sebuah drama gelap."Baiklah, saya tidak akan bertele-tele, kami tahu bahwa kalian berdua terlibat dalam penculikan Andin dan Siska. Sekarang, saya ingin tahu siapa yang memerintahkan kalian melakukan ini."Kedua pria itu saling pandang, mencoba mempertahankan ketegasan wajah mereka. Namun, mata mereka tak bisa menyembunyikan kecemasan yang tersembunyi di baliknya."Kami tidak tahu apa yang Anda bicarakan," sahut salah satu dari mereka dengan suara bergetar.Detektif menghela nafas. Dia tahu bahwa ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan mundur begitu saja. Dia memulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, menggali setiap sudut pikiran mereka."Anda bisa berbohong kepada saya s
Andin teringat kembali pada kejadian itu, ketika dia memandang sekeliling kamar hotel dengan pandangan yang kosong, tetapi pikirannya berlomba-lomba memutar kembali kejadian beberapa jam yang lalu. Dia dan Siska telah berhasil lolos dari para penculik yang mengejarnya tanpa henti. Sekarang, dalam ketenangan kamar hotel, mereka berusaha memulihkan diri dari rasa takut.Suaranya yang lembut menyela keheningan. "Siska, apa kamu baik-baik saja?"Siska, yang duduk di tepi tempat tidur dengan rambut yang berantakan, mengangguk pelan. "Iya, Andin. Aku hanya masih merasa gemetar."Andin tersenyum lembut. Dia juga merasakan getaran kecil itu di dalam dirinya. Namun, dia tahu bahwa keadaan akan membaik seiring waktu. Sementara dia baru saja akan mengatakan sesuatu, sebuah suara tiba-tiba menggema dari luar kamar."Tok! Tok!"Mereka berdua menatap pintu, pandangan cemas saling bertukar. Mereka tidak mengharapkan kunjungan apa pun, apalagi di tengah-tengah suasana seperti ini. Namun, ketukan it
Andin menatap lelaki itu dengan tatapan yang penuh harap. Setiap detik terasa berat di dadanya, menunggu untuk mendengar suara lelaki itu."Saya mengenal lelaki semalam," ujar lelaki itu dengan suara yang berat.Andin merasa dunianya berputar cepat. Hatinya terasa terhenti sejenak, mencerna informasi yang baru saja dia terima. "Siapa dia?" tanyanya dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokannya, kebingungannya begitu mencuat.Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, matanya menatap jauh. "Dia adalah salah satu teman saya yang terlibat dalam bisnis yang gelap. Dia sering menjadi orang bayaran untuk melakukan pekerjaan kotor."Andin merasa detak jantungnya semakin cepat, bagai sebuah drum yang berdentum di dalam dadanya. Pikirannya dipenuhi dengan ribuan pertanyaan, dan dia merasa kebingungan serta terkejut dengan kompleksitas.Bagaimana segalanya bisa terkait? Apa motif di balik tindakan tersebut? Dan mengapa pria itu melakukan hal itu? Pertanyaan-pertanyaan itu be
Di dalam kafe yang teduh, cahaya remang-remang dari lampu gantung yang tergantung rendah menciptakan suasana yang hangat dan mengundang. Dinding-dinding yang dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak memberi sentuhan artistik pada ruangan, sementara aroma harum kopi yang menyengat menari-nari di udara. Meja-meja kayu dengan kursi-kursi yang nyaman tersebar di sekitar ruangan, menciptakan kesan kesederhanaan namun tetap elegan. Suara gemericik air dari mesin kopi yang sedang bekerja mengisi ruangan dengan ritme yang menenangkan, seakan menjadi musik latar yang sempurna bagi pikiran-pikiran yang tengah berputar. Meskipun kafe tampak sepi, tetapi pikiran yang ada di dalam diri Lukman memberi kontras yang menarik. Bersamaan dengan suara gemericik kopi yang mengalir dan aroma harum yang mengisi udara, Lukman duduk termenung di sudut kafe yang tenang, dikelilingi oleh suasana yang mempesona. Matanya terfokus pada sebuah titik kosong di depannya, mencoba dengan penuh konsentrasi untuk memahami
Hari itu berlalu seperti biasa, tak ada awan yang tampak di cakrawala dan sinar mentari yang hangat menyambut pagi. Namun, keindahan pagi itu terasa pudar saat Andin duduk di depan televisi, matanya terbelalak kaget dan tak percaya. Meskipun suasana luar biasa tenang, namun rasa aneh mulai menyusup begitu ia menyaksikan tayangan yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya, mengubah kedamaian pagi itu. Wajahnya yang tadinya cerah, kini diliputi oleh bayang-bayang gelisah, menandakan bahwa apa yang diputar di layar telah mengguncang dunianya secara mendadak."Apa ini?" gumam Andin sambil memegang remote control, mencoba menahan denyutan yang melanda dadanya.Lukman, yang berada di dapur, segera mendengar suara Andin yang cemas. Tanpa ragu, ia bergegas keluar dan terkejut melihat apa yang ditonton Andin di televisi. Dalam sekejap, wajahnya yang semula tenang berubah menjadi khawatir, mencerminkan betapa terlalu tiba-tiba situasi yang mereka hadapi. "Andin, apa yang terjadi?" tanya Lukman
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu