Andin telah dengan cermat memilih tempat peristirahatan di pegunungan yang indah sebagai tujuan bulan madu mereka. Terletak di tengah-tengah pepohonan pinus yang menjulang tinggi dan menghadap ke danau yang tenang, penginapan yang terpencil ini menjanjikan ketenangan dan sedikit terasing. Di bawah naungan rindangnya pepohonan pinus, mereka akan menemukan kedamaian yang mereka cari, menjauh dari keramaian dunia luar dan menikmati kedekatan yang intim di antara alam yang mempesona.Dengan pemandangan yang menakjubkan dari danau yang memantulkan cahaya matahari terbenam, mereka akan menikmati momen-momen yang tak terlupakan, berjalan-jalan di tepi danau sambil merasakan embusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Di malam hari, langit yang berbintang akan menyaksikan kemesraan mereka di bawah gemerlapnya cahaya bulan, memancarkan kilauan magis yang hanya dapat ditemukan di tempat-tempat terpencil seperti ini."Tempat yang kami pilih bagus," ucap Lukman saat dia melihat keseluruhan resort
Waktu terus berjalan, padahal seperti baru kemarin dia dan Andin pergi berbulan madu. Kini hari-hari penuh damai itu telah usai. Lukman kembali dihadapkan dengan kenyataan masalah yang belum selesai dan setumpuk pekerjaan yang menantinya.Seperti seorang pelaut yang mengarungi lautan badai, hati Lukman terasa ciut ketika langkahnya melewati ambang pintu kantornya. Di dalam, bayangan Detektif yang sudah menunggunya menggambarkan suasana tegang yang menyelubungi ruangan. Ekspresi tegas yang terukir di wajah sang detektif seolah-olah menjadi patung batu yang menjulang. Lukman merinding, tubuhnya dipenuhi dengan getaran, campuran antara rasa takut dan cemas. Setiap langkah mendekati meja sang detektif terasa seperti menghadap rintangan-rintangan besar di dalam sebuah labirin."Apa perkembangan terakhirnya?" Lukman bertanya, suaranya diwarnai kekhawatiran.Tatapan sang detektif menembus ruang dan waktu, menusuk ke dalam kedalaman jiwa Lukman seperti pedang yang tajam. Setiap serat dalam di
Cahaya lampu yang lembut menerangi dapur yang nyaman seolah-olah menciptakan suasana hangat yang memeluk Lukman saat ia melangkah perlahan melewati pintu. Pundaknya terasa berat, bukan hanya karena beban fisik yang dipikulnya, tetapi juga beban pikiran yang menyelimuti hari itu. Dengan langkah yang penuh perhatian, matanya mengamati sekeliling ruangan, mencari kehadiran Andin. Ruangan yang biasanya penuh dengan aroma harum dari masakan yang dipersiapkan Andin kini terasa hampa."Andin?" panggilnya, suaranya terdengar mendesak.Andin menoleh dari kompor listrik tempatnya berdiri, mengalihkan perhatiannya sejenak dari panci berisi kari yang sedang dimasaknya. Kepulan uap putih mengepul perlahan dari panci tersebut, membawa aroma rempah-rempah yang harum memenuhi udara di sekitarnya. Wajahnya yang penuh perhatian tercermin dalam cahaya lembut lampu dapur. Meskipun terhenti sejenak dari pekerjaannya, kehadiran Andin di sana memberikan sentuhan kehangatan yang membuat dapur itu terasa leb
Cahaya lembut matahari menyelinap masuk melalui celah-celah gorden, melukis bayangan yang menari-nari di dinding putih ruang tamu. Suasana hangat tercipta, memeluk Andin dalam dekapannya yang lembut, seolah-olah menyapanya dengan kehangatan ibu yang menyambut anaknya pulang dari perjalanan yang jauh.Namun, kedamaian itu terputus tiba-tiba oleh dering telepon yang melengking seperti seruling di malam yang sunyi. Andin tersentak, matanya melirik dengan cepat ke arah sumber gangguan itu, rasa ingin tahu yang tak terbendung memenuhi pikirannya seperti arus sungai yang mengalir deras.Tanpa ragu-ragu, Andin memperpanjang tangan dengan gesit, menjangkau gagang telepon seakan-akan ia sedang mengejar bayangan yang terus bergerak. Jari-jarinya melayang-layang di atas tombol-tombol yang tersemat, seperti penari yang mengarungi alur musik yang berputar di udara. Dalam detik-detik yang menghentak, pikirannya berkecamuk, berusaha memecahkan teka-teki tentang siapa gerangan yang menelepon pada jam
Andin sibuk mempersiapkan dirinya untuk wawancara yang sudah lama dinanti-nantikan. Langkahnya gemetar ringan, ia memilih pakaian yang tepat untuk hari itu, setiap lipatan kain dipegang dengan hati-hati, seakan-akan ia sedang membentuk gambaran dirinya dalam pikiran para penonton yang menanti-nantikan penampilannya. Dalam detik-detik yang menghentak, jantung Andin berdebar, seperti seekor burung yang ingin terbang tinggi. Namun, di balik rasa gugup itu, ada keinginan yang kuat untuk memberikan kesan yang tak terlupakan. Andin merapikan kain blusnya, memastikan setiap lipatan kain diperhatikan dengan seksama, seolah-olah ia sedang mengukir garis-garis halus di atas kanvas putih. Setiap gerakan tangannya membawa sentuhan keanggunan, seakan-akan ia sedang menciptakan sebuah karya seni yang tak ternilai harganya.Kemudian, dengan gesit, ia menyesuaikan kerah blusnya dengan tepat, seolah-olah sedang memberikan sentuhan terakhir pada mahakarya yang sedang dibuatnya. Kerah yang terangkat d
Ketika reporter utama mulai melontarkan pertanyaan, Andin memusatkan seluruh perhatiannya untuk menjaga ketenangannya. Ia mendengarkan dengan saksama, pikirannya berpacu saat ia merumuskan jawabannya dengan tepat."Bu Andin, bisakah Anda ceritakan bagaimana kondisi pernikahan Anda dengan Pak Lukman?" tanya sang reporter, suaranya membelah udara bagai pisau.Andin mengumbar senyum, sikapnya tenang dan terkendali. "Tentu saja. Lukman dan saya saling jatuh cinta. Kami mengalami pasang surut seperti pasangan pada umumnya, tapi kami selalu menyelesaikan masalah bersama."Sang wartawan mengangguk, tampak puas dengan jawabannya. Tapi Andin tahu bahwa dia tidak boleh lengah. Ia harus hati-hati, jangan sampai ia membocorkan kebenaran di balik kedoknya."Banyak yang berspekulasi bahwa pernikahanmu dengan Pak Lukman adalah murni karena urusan bisnis. Apa tanggapan Anda atas rumor itu?" Seorang wartawan lain menimpali, suaranya bernada skeptis.Jantung Andin berdegup kencang mendengar pertanyaan
Andin menutup wawancara dengan senyum tipis yang terpatri di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan lega dan gugup yang melanda dirinya. Meskipun dia merasa lega bahwa pertemuan dengan para wartawan telah selesai, tetapi juga sekaligus gugup dengan segala pertanyaan yang dilemparkan ke arahnya. Setiap detik dalam wawancara itu terasa seperti menjalani ujian, dan walau dia mencoba untuk menjawab, rasa gugup dan tak nyaman dalam hatinya terus memburai, membuatnya merasa seperti berjalan di atas seutas tali tipis.Dia bangkit dari kursi di taman depan rumahnya, lalu dengan ramah mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan para pewawancara yang duduk di hadapannya. Andin merasa seakan melepas beban dari pundaknya, meskipun dia juga sadar bahwa cerita dan kesan yang dia bagikan masih akan menjadi berita utama dalam beberapa hari ini."Terima kasih atas wawancara Anda hari ini," ucapnya sambil tersenyum tulus.Saat para wartawan menyambutnya dengan ramah, beberapa di antaranya menyatakan
Ponsel berdering di saku salah satu bodyguard, Marco. Dia meraih ponselnya dengan cepat, menatap layar dengan serius sebelum menjawab panggilan tersebut. "Ya, ini Marco," ucapnya dengan suara yang tegas dan lugas. "Marco, ini Alex. Kami kehilangan jejak pelaku. Dia menghilang di keramaian." Suara Marco terdengar gelisah di ujung telepon. Bodyguard yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus penembakan Andin. "Di mana kalian sekarang?" tanya Marco, mencoba menahan ketegangan yang memenuhi dirinya. "Kami sedang di jalan utama, berusaha mencari tahu ke mana dia pergi," jawab Alex dengan napas yang terengah-engah. Marco menggigit bibirnya, mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Andin yang masih berada di ruang gawat darurat. Dia bisa merasakan tekanan yang menghimpit dadanya saat dia berbicara kembali. "Tetap berusaha kejar dia. Aku akan memberitahu tim untuk segera bergabung dengan pencarian." "Baik, Marco. Kami akan terus mencoba menemukannya," ucap Alex dengan suara serak.
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu