"Mau apa dia kemari?" tanya Wihaldy sambil berkacak pinggang di samping Danisha.Danisha pun melihatnya. Ia terdiam sambil menarik ujung pakaian Wihaldy karena gugup.Saat ini, Danisha memang sangat gugup, tapi bukan karena mantan suaminya datang ke tempat tinggalnya. Danisha gugup karena tidak bisa mengendalikan ketidak nyamannya ketika berhadapan dengan mantap yang kemarin tidur di kamar kakaknya."Jangan takut! Aku di sini, bersamamu!" ucap Wihaldy penuh keyakinan.Setelah itu, Wihaldy menggandeng tangan Danisha, lalu berjalan menuju pintu apartemen dengan langkah tegap dan penuh percaya diri."Eh, Danish?" Bian melihat Danisha yang nampak cantik dengan riasan natural dan pakaian yang sangat bagus.Namun detik berikutnya Bian menatap Wihaldy yang selalu ada di samping mantan istrinya."Danish, bisa kita bicara berdua?" tanya Bian pada Danisha.Mereka saling berhadapan di depan pintu unit apartemen."Bi-Bian! Semuanya sudah jelas! Kita sudah berpisah dan tidak ada lagi yang perlu ki
Di unit apartemen itu kini hanya tinggal Danisha dan Wihaldy. Mereka berdua duduk di sofa dengan suasana hening. Danisha terdiam sambil melamun setelah mantan suaminya pergi. "Kenapa marah? Apa kau masih ada perasaan terhadapnya?" tanya Wihaldy di samping Danisha. Wihaldy bisa menebak, mood Danisha menjadi buruk setelah mereka membahas masalah Bian yang tidur di kamar kakaknya. "Ti-tidak! Aku sudah tidak ada perasaan apapun terhadap Bian!" Danisha memutar badannya. Yang awalnya memunggungi dan menatap kaca besar yang ada di depannya, sekarang Danisha berhadapan dengan Wihaldy dengan jarak yang sangat dekat. "Lalu, kenapa kau marah saat dia bersama dengan kakakmu?" tanya Wihaldy lagi, namun dengan nada dan suara yang sangat lembut. "Ya, coba kau bayangkan, bagaimana aku tidak kesal? Setelah apa yang dia lakukan terhadapku, dia datang dan menjelaskan tanpa kuminta. Semua penjelasannya itu bohong. Dia terus mengarang cerita agar aku percaya. Dia pikir aku bodoh kali, ya? Jelas
Ting! Tong! Bel-nya berbunyi lagi. Dilihat dari "lubang intip" di pintu, Danisha melihat Stefia digandeng oleh Fandy dengan kesadaran yang tidak 100%. "Apa Stefi mabuk?" Danisha menjadi khawatir. Ia membuka pintu, lalu melihat Fandy yang terdiam menatapnya sambil menggandeng Stefia dan menopang tubuhnya yang kecil. "Stefi kenapa? Apa dia mabuk? Dan, kau... darimana kau tahu tempat tinggalku?" tanya Danisha dengan heran. Fandy hanya terdiam. Ia melihat penampilan Danisha yang bersih dengan pakaian tidur seksi dan dengan rambut panjang setengah basah. Tercium wangi sabun yang sangat segar dari tubuhnya. "Hey! Fandy ...." Danisha menyadarkan pria itu. Ia menarik tangan Stefia yang lemah dengan bau alkohol yang menyengat. "Aishhh, Stef! Kenapa kau mabuk? Ayo masuk!" Tanpa berbicara pada Fandy, Danisha langsung menuntun Stefia masuk ke dalam apartemen. Danisha sedikit malas berhadapan dengan rekan kerja yang norak itu, yang melihat Danisha dengan tatapan mesum. Setelah
Tepat pukul 7 pagi Danisha dan Stefia sudah menghabiskan sarapan pagi. Saat ini mereka sedang bersiap untuk pergi ke kantor. Dari depan, terdengar suara seseorang menekan bel. Danisha yang sudah mengambil tas kecilnya segera berjalan menuju pintu untuk melihat. "Siapa, Sha?" tanya Stefia sambil mendekat. Danisha terdiam di depan pintu setelah melihat lubang intip di depannya. "Siapa, sih? Kenapa tidak dibuka?" tanya Stefia yang sangat penasaran. Bel masih berbunyi, tapi sangat pemilik rumah masih terdiam tanpa bergerak. "Apa kau melihat hantu?" cetus Stefia sambil membuka kunci, dengan cepat pintunya dibuka. "Eh ...." Baru saja Danisha ingin melarang, tapi pintu sudah terlanjur dibuka oleh Stefia. Mau tidak mau ia harus berhadapan dengan orang bertamu ke tempatnya. "Nona, Tuan menunggu Anda di bawah!" ucap seorang pria yang berpakaian rapi dengan tampang yang cukup tampan. Dia membungkuk pada Danisha sambil tersenyum. Senyumannya sangat manis dengan bibir tipis yan
Di kantor, Danisha terdiam di mejanya. Ia masih memikirkan Wihaldy yang tidak menjelaskan apapun tentang masalah semalam. Padahal Danisha sudah menunjukan kekesalannya selama di perjalanan. Tapi sedikitpun pria itu tidak menghiraukan. "Danish!"panggil Fandy sambil mendekat. Tadi pagi Fandy sudah menawarkan diri untuk membayar uang semalam, tapi Danisha malah menolak. "Kenapa? Apa kau tidak enak badan?" tanya Fandy yang sudah ada di samping Danisha. Dia berdiri, melihat Danisha menyadarkan tubuh dan kepalanya ke meja. "Semalam kau pulang duluan dari tempat karaoke, apa karena tidak enak badan? Sebentar lagi jam istirahat, mau aku belikan obat?" tanya Fandy yang terlihat khawatir. Namun wanita di depannya hanya terdiam sambil memejamkan mata dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya. "Fandy, sini! Biarkan dia istirahat!" Tiba-tiba Stefia menarik tangan Fandy. Menjauhkan pria itu dari Danisha. "Eh, dia beneran sakit?" Fandy bertanya pada Stefia. Stefia pun mengangguk
Waktu menunjukan pukul 8 malam. Danisha yang sudah memakai piyama lengan panjang, juga sudah mengeringkan rambutnya menggunakan alat pengering, duduk di tempat tidur sambil melamun. Entah mengapa, kedatangan Bian kali ini membuat Danisha patah hati. Danisha sadar, Bian datang dan memutuskan untuk tinggal di tempat tinggalnya karena Danisha belum membayar DP dan cicilan yang sudah Bian keluarkan. Danisha pun tahu kalau pria itu bukan lagi suaminya, seharusnya mereka tidak tinggal di atap yang sama. Namun, yang membuat Danisha patah hati kali ini bukan karena Bian datang dan menganggu hidupnya, bukan pula karena Bian telah mengaktifkan tombol trauma yang sudah dikuburnya dalam-dalam, tapi... yang membuat Danisha patah hati adalah "Stefia." "Kenapa dia menghianatiku? Kenapa dia bilang tidak pernah datang saat aku tidak ada? Tapi nyatanya dia membocorkan sandinya pada Bian!" "Kenapa?" "Kenapa dia berbuat seperti ini terhadapku?" "Kenapaaa??? Huaaa ...." Danisha menjerit dengan
Di dalam mobil, Danisha duduk di kursi baris kedua bersama Wihaldy. Pria itu duduk dengan tegak setelah menyelesaikan pekerjannya. Saat ini, waktu sudah hampir jam 11 malam. Wihaldy yang memakai setelan olahraga berupa training dan sweater berwarna hitam, duduk sambil sesekali melihat wanita di sampingnya. Malam ini penampilan Danisha sangat aneh. Di malam hari, wanita itu masih memakai kacamata hitam, padahal langit sangat gelap, dan di dalam mobil malah semakin gelap lagi. Tapi dia tetap memakainya. "Ehem!" Setelah hening cukup lama, akhirnya Wihaldy berdehem. Lalu berkata dengan suara yang sangat merdu. "Kenapa tidak menjawab teleponku?" Dari jam 8 malam, Wihaldy terus menghubungi Danisha, namun wanita itu tertidur pulas dengan nada dering yang disenyapkan. "Hah?" Danisha menoleh ke samping. Mengerutkan kening dengan mata yang masih bengkak di balik kacamata hitam. "Menelepon?" tanya Danisha dengan heran. "Sekarang kau meneleponku? Kenapa? Bukankah kemari
Di pagi hari, Danisha terbangun di bawah selimut hangat dan di atas tempat tidur yang sangat empuk. Ia pun menggeliat, menikmati kualitas tidurnya yang sangat baik setelah tidur di kamar orang lain. "Ah, ya! Ini di rumah Haldy! Aku harus segera pulang," ucap Danisha sambil menyibak selimut, lalu turun dari tempat tidur. Di kamar itu tidak ada orang lain lagi selain Danisha. Kamar besar dengan dekorasi minimalis berwarna krem dan coklat itu nampak sepi karena sang pemilik kamar entah pergi ke mana. Padahal tadi malam Wihaldy masih tidur di samping Danisha, memeluknya dan terus mengecup kepalanya sambil memejamkan mata. Tapi sekarang, pria itu sudah tidak ada. "Taksi, aku harus segera memesan taksi! Kalau tidak, aku bisa terlambat," ucap Danisha dengan panik. Ia menatap kiri dan kanan, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan. Di atas nakas samping tempat tidur, terlihat ada jam tangan dan ponsel yang masih menyala. Sepertinya Wihaldy baru keluar dari kamar setelah membuka
Di pagi hari, Danisha terbangun karena kepalanya terus berdenyut. Lama kelamaan denyutan itu semakin kencang dan menyiksa. "Aishhh!" Danisha meringis di bawah selimut, mencengkram rambutnya dan menahan rasa sakit. Dirasa–rasa, suasana di kamar itu terasa berbeda, wanginya pun terasa asing, dan tekstur selimut dan bahannya sangat lembut dan berbeda dengan selimut miliknya yang ada di kamar. "Eh ... ini di mana?" Danisha segera tersadar. Ia membuka mata, lalu menatap sekeliling yang nampak gelap gulita karena semua lampu dimatikan dan gorden tebal masih tertutup rapat. "Apa semalam aku ikut dengan Stefi dan kedua pria itu?" Danisha terlentang di tempat tidur sambil mencengkram selimut di dada. Ia mengingat–ingat kembali kejadian semalam. Setelah keluar dari tempat hiburan, dirinya dan Stefia masuk ke dalam mobil pria itu, lalu ... lalu Danisha turun di apartemen. "Heh? Semalam aku masuk ke tempat tinggalku, bukan ke tempat tinggal pria itu ...." Danisha mulai ingat.
Wihaldy mulai curiga, Danisha tidak bisa menerima telepon, tapi dia masih bisa mengirim pesan. Kalau dia sedang tidur, harusnya dia mengabaikan teleponnya tanpa bisa mengirimnya pesan. ["Sayang! Apa kau sedang berada di luar?"] tanya Wihaldy lagi karena Danisha tidak menjawab. Sedangkan pesannya sudah dibaca. Cekrek! Danisha memfoto meja dengan piring dan gelas, juga dengan botol minuman, roko dan asbak. Lampu warna-warni terlihat di fotonya karena ruangan itu sangat gelap. Setelah itu Danisha mengirim dua foto sekaligus. Satu foto itu dan yang satunya lagi foto dirinya yang sedang memegang gelas anggur. Penampilannya yang glamour pun nampak terlihat dengan gaun seksi yang memperlihatkan leher, bahu polos dan belahan dada yang rendah. Terakhir Danisha mengirim sebuah pesan, ["Nanti kuhubungi lagi!"] ["Sayang, apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan?"] ["Kau di mana?"] ["Cepat beritahu aku!"] ["Apa kau bersama Fay?"] tanya Wihaldy dengan panik. Namun pesannya tidak
Di dalam apartemen, Danisha sudah merias wajahnya sangat cantik, rambutnya pun dikuncir kuda dengan rapi dan elegan, tubuhnya dibalut gaun seksi sepaha dengan belahan dada yang sangat rendah. Sedangkan teman baiknya sedari awal sudah memakai pakaian seksi dan riasan tebal untuk pergi bekerja di tempat karaoke. Tapi sekarang, mereka bersiap untuk pergi ke sebuah hotel bintang lima yang terletak di pusat Kota A. "Kau serius Sha, mau masuk ke dalam koper ini?" tanya Stefia dengan ragu. Pasalnya, Danisha sudah berdandan sangat cantik dengan gaun seksi yang indah, tapi akhirnya dia malah masuk ke dalam koper yang sangat besar. "Ini hanya sampai kita masuk ke dalam lift, Stef! Aku khawatir Fay akan mengikutiku kalau dia tahu aku keluar dari apartemen." Itulah yang Danisha pikirkan. Entah Fay atau Wihaldy yang sedang memantau CCTV di depan pintu apartemennya dan melihat gerak-geriknya, daripada ketahuan, lebih baik Danisha berjaga-jaga dengan bersembunyi di dalam koper saat keluar dar
Jam 8 malam, Stefia datang ke apartemen Danisha sebelum pergi ke tempat kerja. Dia melakukan hal itu atas permintaan Danisha yang sedang resah. "Aneh bagaimana maksudmu? Haldy hanya memberikan fasilitas terbaik untukmu. Walau hanya mobil dan sopir, tapi itu sudah sangat luar biasa, Sha! Kalau aku sih, sujud syukur, tidak akan mengeluh sepertimu!" ucap Stefia setelah mendengar curhatan kegalauan Danisha tentang pacarnya. Danisha pun mengerti dengan maksud Stefia. Namun, yang membuatnya galau bukanlah itu, melainkan sikap Wihaldy yang mendadak menjadi aneh dan misterius setelah mereka pulang kerja. Padahal dari siang, Wihaldy meneleponnya seperti biasa. Dia sendiri yang bilang kalau nanti akan menjemput Danisha ke kantornya. "Bukan itu! Aku mengeluh bukan karena sopirnya, tapi karena ... dia memberiku sopir pribadi secara mendadak. Seolah dia tidak ada waktu untukku lagi!" jelas Danisha dengan pelan. Walau saat ini mereka mengobrol di dalam kamar, namun Danisha masih khaw
"Emh, ya sudah, tidak apa-apa! Untungnya kau punya badan yang sehat dan kuat, kau mampu menanggung semua bebanmu dengan mudah! Aku yakin, kedepannya kau akan mendapatkan pria yang baik, yang bertanggung jawab, yang akan membahagiakanmu di sepanjang hidupmu!" hibur Danisha sambil memegang kedua tangan Stefia. Danisha memang tahu semua hal tentang Stefia. Bagaimana dia hidup dan bagaimana dia berjuang mati-matian untuk keluarga. Selain itu, dia pun selalu dimanfaatkan oleh pacarnya yang tidak bekerja. Untungnya sekarang mereka sudah putus, Stefia tidak perlu lagi mengeluarkan banyak uang untuk pria busuk itu. "Ya, Sha! Semoga saja aku punya pacar tampan, baik, kaya, dan bisa memanjakan aku seperti pacarmu!" "Eh, iya! Ngomong-ngomong, Fandy ke mana, ya? Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk kerja! Apa dia sakit?" tanya Stefia, mengalihkan pembicaraan. Danisha pun mendengarnya. Namun ia tidak tahu apa yang terjadi pada rekan kerjanya itu. "Entahlah! Mungkin dia saki
"Berjanjilah, Sayang!" ucap Wihaldy lagi karena Danisha hanya menoleh ke belakang, mengecup bibirnya lalu tersenyum. Menurut Danisha, tindakannya itu mengartikan bahwa dirinya sudah berjanji, tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi. Namun, Wihaldy tidak mengerti dengan hal itu. Dia kembali meminta, dan akan terus meminta sampai Danisha menjawab "Ya". "Sayang, berjanjilah!" rengek Wihaldy, kali ini dengan manja. Dia memeluk Danisha di dalam kolam air manas, menyandarkan dagunya di pundak ramping wanita itu sambil terus menunggu jawaban. "Hehe! Kenapa merengek seperti itu? Apa kau melakukan kesalahan?" tanya Danisha sambil tersenyum. Melihat tingkah manjanya yang belum pernah dilihat sebelumya, Danisha malah sangat suka. Tuan Muda Wihaldy yang kaya, gagah, dan tampan, saat ini terlihat seperti anak kecil yang sedang merengek meminta permen. Sangat manis dan menggemaskan. "Tidak! Aku tidak melakukan kesalahan! Aku hanya ... khawatir, kau akan meninggalkan aku di kemudi
Di meja makan yang cukup luas dengan berbagai menu yang sudah tersaji cantik di piring, ditemani satu botol anggur mewah, juga lilin-lilin yang menghiasi, Wihaldy bersama Danisha duduk saling berhadapan. Dinner romantis ini disiapkan oleh Wihaldy khusus untuk kekasih tercintanya. "Sayang, ini pertama kalinya aku mengajakmu makan malam! Walau ini belum terlalu malam, tapi kuharap kau menyukainya!" ucap merdu Wihaldy sambil menegang tangan kanan Danisha. Dia tersenyum penuh dengan rasa cinta. "Ah, ya! Ini sungguh luar biasa. Aku tidak menyangka kau akan menyiapkan ini di sela kesibukanmu yang padat. Aku sangat menyukainya. Terima kasih!" Danisha tersipu saat mengatakan kata terima kasih. Pipinya pun sampai merah karena gugup. Sebelumnya Danisha menikah, suaminya menyiksa dan menceraikannya di malam pernikahan. Dan sekarang, Tuhan membalas rasa sakit dan air mata itu dengan kehadiran Wihaldy dan cinta pria itu yang besar. Danisha benar-benar bersyukur atas hal itu. "Ayo Sayang,
Di jam istirahat, Danisha yang sudah memaafkan Stefia pergi bersama ke tempat makan yang ada di seberang gedung kantor. Mereka membicarakan banyak hal, termasuk rencana untuk mengambil pekerjaan sampingan setelan pulang kerja. "Untuk apa uang tambahan, Stef? Gaji dari kantor sudah lebih dari cukup untuk biaya hidupmu. Tidak perlu lagi bekerja di tempat lain!" ucap Danisha sambil menyantap makanannya. "Aku?" Stefia makan sambil mendengar pertanyaan dari teman baiknya. "Ada sesuatu yang diinginkan keluargaku di kampung. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk itu!" jelasnya dengan serius. Stefia menunduk, menyantap makanannya dengan sedikit lesu. Entah mengapa, setiap kali membicarakan keluarganya, Stefia selalu tidak bersemangat. "Bagaimana denganmu?" tanya Stefia, mengalihkan pembicaraan. "Sekarang Bian tinggal di tempatmu. Dia tidak akan pindah sebelum kau membayar semuanya!" "Sha! Apa kau sanggup membayar semuanya sendiri? Tidak bisakah kau menerima tawar
Di pagi hari, Danisha terbangun di bawah selimut hangat dan di atas tempat tidur yang sangat empuk. Ia pun menggeliat, menikmati kualitas tidurnya yang sangat baik setelah tidur di kamar orang lain. "Ah, ya! Ini di rumah Haldy! Aku harus segera pulang," ucap Danisha sambil menyibak selimut, lalu turun dari tempat tidur. Di kamar itu tidak ada orang lain lagi selain Danisha. Kamar besar dengan dekorasi minimalis berwarna krem dan coklat itu nampak sepi karena sang pemilik kamar entah pergi ke mana. Padahal tadi malam Wihaldy masih tidur di samping Danisha, memeluknya dan terus mengecup kepalanya sambil memejamkan mata. Tapi sekarang, pria itu sudah tidak ada. "Taksi, aku harus segera memesan taksi! Kalau tidak, aku bisa terlambat," ucap Danisha dengan panik. Ia menatap kiri dan kanan, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan. Di atas nakas samping tempat tidur, terlihat ada jam tangan dan ponsel yang masih menyala. Sepertinya Wihaldy baru keluar dari kamar setelah membuka