Emosiku semakin memuncak mendengar ucapan Dokter itu. Jangan-jangan mereka berdua ada hubungan spesial, dan aku tidak tahu. Pantas saja baru saja mengenal Ningsih, mereka sudah begitu akrab. Kurang ajar.
"Justru Dokter yang akan saya laporkan ke polisi, karena sudah menggoda istri saya!" ucapku sambil membalas tatapannya dengan lebih tajam lagi."Sudah, sudah, Mas! Jangan membuat keributan di rumah sakit." Akhirnya Ningsih membuka suaranya."Pak Dokter, ijinkan saya pulang. Saya juga khawatir dengan keadaan anak saya," lanjutnya pada Dokter Reza."Tapi kondisi Anda masih belum stabil," jawab Dokter Reza sok perhatian."Tidak apa-apa, Dok. Saya bisa ambil obat jalan saja," ucap Ningsih lagi.Dokter Reza tampak membuang napas, lalu menatapku."Pak, istri Bapak masih Bapak masih perlu menjalani pengobatan sampai kondisinya membaik. Jadi tolong lebih diperhatikan lagi keadaan istri Bapak," ucapnya padaku."Saya ini suaminya, jadi saya tahu yang terbaik untuk istri saya," jawabku.Kesal sekali rasanya mendengar ucapannya yang sok bijak itu. Dia itu belum menikah, mana tahu rasanya menjadi pemimpin rumah tangga. Enteng sekali dia bicara."Ya sudah kalau begitu, saya akan memberikan resep untuk obat jalan. Silahkan tunggu dulu sebentar," ucapnya kemudian.Aku terpaksa mengikuti Dokter Reza untuk menunggu. Setelah semuanya selesai, aku segera membawa Ningsih pulang. Pasti Mama sudah mulai kerepotan mengurus anak itu....Akhirnya kami tinggal di rumah Mama, seperti permintaan Mama sebelumnya agar sementara waktu kami tinggal di rumah Mama untuk sementara sampai kesehatan Ningsih kembali pulih.Dalam beberapa hari saja sepertinya Ningsih sudah benar-benar pulih, karena dia mulai melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Mama sepertinya cukup terbantu dengan kehadiran Ningsih. Vian juga bisa sedikit dekat dengan Neneknya. Tahu begini, seharusnya dulu aku tidak membeli rumah sendiri, biar dia juga bisa semakin dekat dengan Mama."Sapu yang bersih, Ningsih. Sebentar lagi pasti Mbakmu bakal datang hari Minggu begini," titah Mama.Ningsih hanya mengangguk sambil melanjutkan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara bel pintu berbunyi. Aku yang dari tadi duduk di ruang tamu sambil membaca koran turut menatap ke arah pintu yang dibuka oleh Mama."Mama," terlihat Mbak Mei langsung memeluk Mama.Aku terkejut ketika Nella muncul dari belakang punggung Mbak Mei."Loh, ada Nella juga?" tanya Mama saat Nella sungkem dengannya."Suamiku gak bisa ikut, jadi aku mengajak Nella," jawab Mbak Mei.Mbak Mei mengajak Nella duduk."Ningsih, ambilkan minuman untuk Nella," titah Mama pada Ningsih."Kalau boleh aku minta jus buah atau air putih saja, Mbak," ucap Nella. "Aku sedang diet.""Kamu dengar kan, Ningsih?" ulang Mama. " Ambilkan sekalian untuk Mei dan suamimu.""Loh, dia ini istrimu, Mas?" Nella membulatkan mata. "Maaf, aku kira pembantu."Aku hanya meringis seraya mengangguk. Ningsih terlihat melirikku, lalu berjalan ke belakang. Sesaat kemudian dia kembali dengan nampan berisi beberapa cangkir minuman. Susah payah dia berjongkok untuk menatap minuman itu di meja."Lamban sekali kamu ini, Ningsih. Itu pasti karena badanmu terlalu besar," ucap Mbak Mei tanpa basa-basi."Sudah pasti itu," sahut Mama. "Baru diet beberapa Minggu saja pakai acara masuk rumah sakit segala.""Masuk rumah sakit?" Mbak Mei kaget mendengar ucapan Mama."Aduh, Ningsih. Cuma kamu satu-satunya wanita di dunia ini yang tumbang cuma gara-gara diet. Lucu sekali kamu ini," cibirnya kemudian. "Menahan lapar sedikit aja gak sanggup. Gak bakal mati juga kali, Ningsih.""Benar itu, Ningsih. Lihat itu Mbakmu, sampai sekarang bisa menjaga badannya tetap ideal. Itu demi menyenangkan suami juga, dan menyenangkan suami itu kewajiban seorang istri. Lain kali dengar dong kata Pak Ustadz."Muka Ningsih terlihat merah padam, entah karena malu, entah karena menahan marah. Dia hanya diam, dengan tubuh sedikit gemetar."Jangan begitu dong, Tante, Mbak Mei. Gak semua wanita sanggup menjalani diet." Nella tiba-tiba menyahut."Kita saja yang mau-maunya tersiksa karena gak boleh makan ini itu," lanjutnya sambil tertawa."Kamu ini, Nella." Mbak Mei ikut-ikutan tertawa. " Ngomong-ngomong, dulu Ningsih pernah ingin jadi model, loh.""Oh, ya?" Netra Nella membola. "Kenapa Mas Dicki tidak mendukungnya?"Aku tersentak dan hanya nyengir mendengar pertanyaan Nella. Ningsih dulu memang pernah punya impian menjadi model. Tapi kalau sekarang rasanya mustahil impian itu akan terwujud."Siapa tahu ada sanggar untuk wanita-wanita big-size, Mas," lanjut Nella sambil mutup mulutnya, seperti menahan tawa.Ucapan Nella membuat Mama dan Mbak Mei sontak ikut tertawa."Maaf ya Mbak Ningsih, aku cuma bercanda," ucap Nella lagi pada Ningsih.Ningsih hanya diam mendengar candaan mereka. Tapi kedua tangannya terlihat mengepal."Tapi kamu memang benar, Nella," ucap Mama kemudian. "Wanita itu harus banyak berkorban. Kalau enggak, mereka gak akan pernah bisa sukses, apalagi di jaman yang serba mengutamakan penampilan seperti sekarang. Jadi Model, mimpi kali.""Siapa bilang wanita gendut tidak bisa sukses?" tiba-tiba Ningsih menjawab.Aku, Nella, Mbak Mei dan Mama sontak terkejut.Ningsih berdiri, lalu menatap kami satu-persatu."Tidak semua wanita sukses di dunia ini berbadan langsing. Lagipula, tak ada seorang wanita pun yang buruk, baik yang gemuk ataupun kurus. Yang buruk itu mata dan mulut orang-orang yang hanya bisa mengejek mereka dari penampilan luar, padahal mereka belum tentu lebih baik!" ucap Ningsih tajam.Mbak Mei, Mama dan Nella melongo mendengar ucapan Ningsih."Ningsih!" tegurku, sambil berdiri dan mendekat ke arahnya.Ningsih beralih menatapku dengan mata elang."Kenapa? Mas mau protes karena aku menyebut mata dan mulut mereka buruk?" tanyanya."Kamu jangan mempermalukan Mama dan Kakakku di depan tamu, Ningsih," tegurku lagi."Jadi kalian hanya boleh mempermalukanku saja?""Ningsih!" bentakku.Aku malu pada sikapnya itu, apalagi di depan Nella. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya."Kamu itu sudah benar-benar berubah, Ningsih!"Ningsih lagi-lagi menatapku tajam. Untuk pertama kalinya dia berani menatapku seperti itu."Aku yang berubah? Justru kamulah yang berubah, Mas!""Aku berubah? Apanya yang berubah?""Mas lupa, berkat siapa Mas bisa sukses seperti sekarang? Mas lupa dulu perlakuan keluarga Mas seperti apa?"Aku tersentak kaget mendengar pertanyaannya."Ingat, Mas! Kalau bukan karena aku menjual tanah Bapak untuk membantu usahamu, Mas tidak akan mungkin seperti sekarang! Karena itu jugalah impianku menjadi seorang model musnah! Itu gara-gara kamu, Mas!"Aku tak menyangka Ningsih bakal membahas semua itu di depan keluargaku. Aku benar-benar malu, apalagi di depan Nella."Ningsih! Sudah kewajiban seorang istri untuk membantu usaha suaminya, apapun caranya! Apa maksudmu membicarakan semua itu lagi?" Mama seketika berdiri sambil menatap ke arah Ningsih."Aku cuma ingin mengingatkan Mas Dicki, kalau selama ini aku tidak pernah berbuat apa-apa untuk pernikahan kami, Ma," jawab Ningsih. "Aku juga banyak berkorban untuk keluarga kami.""Jadi maksudmu, kamu tidak ikhlas melakukan itu semua?" tanya Mama lagi.Ningsih terlihat membuang napas. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, seperti berharap aku akan membelanya. Aku membuang muka, karena kesal dengan ucapannya. Mungkin memang benar dulu Ningsih yang membantuku membangun usaha kami dari nol. Tapi jika aku tidak bekerja keras siang malam selama ini, tentu usaha kami tidak akan pernah membuahkan hasil.Akhirnya Ningsih menyerah. Sepertinya dia sudah tidak ingin berdebat lagi.
POV Ningsih"Menikahlah denganku, Ningsih."Aku terkejut ketika Mas Dicki melamarku waktu itu. Bahagia, sekaligus juga takut. Mas Dicki adalah anak dari orang berada, sedangkan aku hanya gadis yatim piatu sebatang kara.Kami saling mengenal karena sama-sama kuliah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Bedanya, dia salah satu mahasiswa elit, sedangkan aku hanya bisa kuliah dengan mengandalkan beasiswa."Menikahi wanita kampung itu? Kamu sudah hilang akal, Dicki?"Sudah kuduga, reaksi Bu Yulia akan seperti itu saat Mas Dicki memperkenalkanku padanya. Bahkan tanpa basa-basi memanggilku wanita kampung."Dicki, setelah Papamu meninggal, kamulah yang seharusnya menjadi penerus usaha kami karena kamu anak laki-laki. Kamu malah ingin menikah, dan dengan wanita yang ...." Bu Yulia menatapku dengan pandangan jijik.Entah bagaimana cara Mas Dicki membujuk Mamanya, hingga akhirnya beliau mengijinkan kami menikah. Mas Dicki sendiri memilih untuk menjalankan pabrik kain yang diwariskan
POV NingsihSudah berhari-hari aku menuruti perintah Mas Dicki untuk bisa menurunkan berat badan. Aku hanya memakan sedikit buah dan sayur mentah, tanpa makan nasi sama sekali. Berhari-hari berlalu, tapi tak ada perubahan yang berarti. Aku bahkan sering merasakan nyeri di ulu hati.Vian juga semakin rewel saja ketika aku memutuskan untuk diet. Dia jadi sering tidak mau menyusu, dan akhirnya terpaksa memberinya susu formula sebagai tambahan makanan pendamping ASI.Pada akhirnya, tubuhku tak mampu lagi bertahan. Aku tumbang dan berakhir di rumah sakit. Mungkin inilah yang dinamakan depresi, ketika aku benar-benar merasa lelah secara fisik dan mental."Siapa bilang gendut itu jelek?" Dokter Reza, yang saat itu merawatku di rumah sakit selalu mengucapkan hal itu."Semua wanita itu cantik, biarpun yang gemuk ataupun kurus. Yang salah itu mereka yang hanya melihat dari penampilan luarnya saja," lanjutnya.Aku melongo mendengar ucapan Dokter yang mungkin usianya setara denganku itu. Baru kal
"Kamu menalakku dengan sadar, Mas?" aku menatapnya dengan netra membola, karena masih terkejut dengan apa yang baru saja dia ucapkan.Mas Dicki membalas tatapanku, dan tak ada sedikitpun keraguan di sana."Iya, Ningsih Aninda. Aku menalak kamu dengan penuh kesadaran. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi secara agama," jawabnya.Aku mengatupkan bibir. Dadaku seperti dihujam dengan puluhan ton benda berat. Sesak, sulit untuk bernapas. Aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata."Aku akan mengurus perceraian kita secara hukum secepatnya. Jadi tidak perlu lagi membuat pembelaan apapun!"Mas Dicki membalikkan badan, berjalan pergi dan membanting pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan halaman rumah. Mas Dicki lebih memilih dikuasai keegoisannya sendiri dibanding mendengarkan penjelasanku.Aku masih berdiri di tempatku, dengan perasaan campur aduk. Antara sadar atau tidak, dia sudah memilih untuk meninggalkan kami, istri dan anaknya. Namun kali ini tak ada lagi se
Mas Dicki menatapku dengan pandangan gusar. Dia pasti lupa, kalau tanpa surat persetujuan dariku dulu, tanah milik Bapak tidak akan bisa dia jual. Dan karena itu harta yang kumiliki sebelum menikah, hal itu tidak masuk dalam harta gono-gini."Kenapa, Mas? Harga tanah itu tidak akan menghabiskan seluruh perusahaanmu, jadi jangan khawatir," ucapku sambil tersenyum miring."Iya, Mas, tidak perlu khawatir," sahut Nella sambil menatapku remeh. "Kembalikan saja uang miliknya. Aku yang akan menggantinya. Lagipula, dia juga tidak akan bisa makan tanpa mengemis nafkah darimu, di balik nama anak."Aku seketika menggertakkan rahang mendengar ucapannya. Sabar, Ningsih. Hari ini biarkan saja mereka berkata sesuka hati. Suatu hari nanti kamu pasti akan punya kesempatan untuk membungkam mulut mereka!"Baguslah kalau kalian berniat mengembalikannya secepatnya," ucapku kemudian. "Kalau begitu tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalian tahu arah pintu keluar, kan?"Mas Dicki dan Nella menatapku penu
Acara malam itu ternyata lebih sukses dari dugaanku. Bahkan banyak sekali perusahan-perusahaan besar yang ingin menawarkan kerja sama, termasuk dari kalangan management para artis.Nyonya Diana bahkan secara terbuka memperkenalkanku pada rekan-rekan bisnisnya. Secara gamblang mereka semua bilang telah terinspirasi oleh tulisanku, juga amat sangat menyukai desain rancanganku.Tidak ada yang lebih membuatku bangga daripada ini. Meskipun impian utamaku menjadi seorang model belum tercapai, tapi setidaknya ada jutaan wanita yang ingin segera memakai busana hasil kerja kerasku selama ini."Selamat, ya, Ningsih. Akhirnya acara kita hari ini sukses luar biasa," ucap Nyonya Diana padaku begitu acara selesai."Justru saya yang harus berterima kasih, Nyonya, karena telah memberikan wanita kampung seperti saya ini kesempatan," jawabku."Jangan begitu, Sayang. Kamu membuktikan kalau latar belakang tidak akan membuatnya rendah dan menghalangi kesuksesan seseorang," ucap Nyonya Diana lagi."Oh, ya,
Aku menatap diriku sekali lagi dalam cermin. Perawatan yang belakangan rutin kujalani ternyata membuahkan hasil dengan sangat baik. Wajah yang dulu rusak parah dan penuh dengan jerawat, kini berubah mulus hanya dalam beberapa bulan saja.Aku sudah bersiap untuk hadir di acara pernikahan Mas Dicki, dengan gaun hasil rancanganku sendiri tentunya. Hari ini aku tidak bisa mengajak Vian, jadi aku menitipkannya pada Nina karena selama ini Nina cukup dekat dengannya. Aku meminta Nina untuk menginap di rumahku semalam saja."Mbak Ningsih tidak apa-apa hadir ke acara itu?" tanya Nina sambil merapikan gaun yang aku kenakan."Memangnya kenapa, Nin? Aku kan diundang," jawabku."Tapi itu kan pernikahan mantan suami Mbak Ningsih. Apa Mbak Ningsih tidak sakit hati? Mereka pasti akan menghina Mbak Ningsih seperti kemarin," ucap Nina lagi."Justru karena selama ini mereka selalu menghinaku, makanya aku datang."Nina terlihat membulat netranya, seperti menyadari sesuatu. Aku tersenyum melihat ekspresin
Aku tak menyangka kalau Bu Yulia dan Nella akan melabrakku pagi-pagi seperti ini langsung ke butik milikku. Aku langsung memberi isyarat pada salah satu karyawatiku agar menutup pintu masuk. Nama baik butik juga penting."Apa maksud kalian dengan menyebar fitnah? Mbak Ningsih saja baru tahu beritanya pagi ini," ucap Nina, tak terima ada orang yang seenak jidatnya masuk ke tempat orang sambil teriak-teriak."Karyawan rendahan sepertimu gak usah ikut campur, ya?" Bu Yulia langsung mendelik pada Nina."Bu, mari dibicarakan baik-baik," ucapku, mencoba bersabar atas sikap mereka."Halah, gak usah sok bijak kamu, Ningsih! Kamu pasti sengaja membuat berita heboh, seolah-olah kami yang jahat hingga kamu menjadi janda!"Aku seketika tersenyum mendengar ucapan Bu Yulia."Maaf, Bu. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan saya, jadi tidak punya waktu untuk hal-hal yang tidak penting seperti itu," jawabku."Bohong kamu, Mbak!" sahut Nella. "Kamu sengaja mempermalukan kami, kan, agar pernikahan kami ka
Dokter Reza membulatkan netranya, menatap ke arah Vanesa tak percaya."Tunggu apa lagi? Kalau tak segera kamu kejar, nanti dia diambil orang loh," ucap Vanesa lagi."Ta- tapi, Vanes ...." Dokter Reza masih belum mengerti apa yang dilakukan oleh Vanesa. Bukankah dia yang memintanya untuk ikut dengannya ke Singapura? Tapi kenapa ....Vanesa membuang napas, lalu tersenyum sambil menatap ke arah Dokter Reza yang masih dengan wajah kebingungannya."Kamu dan Mbak Ningsih saling mencintai, tapi kalian mengorbankan semuanya hanya karena kasihan padaku. Aku tidak butuh dikasihani," ucap nya kemudian."Bukan begitu maksud kami, Vanes," ucap Dokter Reza cepat."Sudahlah, jangan membohongi diri sendiri lagi," sahut Vanesa cepat. "Tadinya aku begitu takut kehilangan semua ingatan tentang kita. Tapi ternyata aku lebih takut hidup dalam kebohongan, dan rasa sedih kalian berdua.""Vanes ....""Tenang saja, aku yang akan menjelaskan pada Mama dan Papa, dan mereka pasti akan mengerti." Vanesa menepuk p
Vanesa menatap lekat ke arah Dokter Reza. Sungguh, ini pertama kalinya sahabatnya sejak kecil itu berkata begitu tegas padanya."Aku bukan orang jahat, Reza. Kamu mengenalku, dan aku tidak mungkin melakukannya," ucapnya kemudian.Dokter Reza terdiam mendengar ucapan Vanesa. Apa yang terjadi padanya? Dia tahu Vanesa bukan tipe wanita yang suka merendahkan orang lain. Tapi kenapa dia begitu takut Vanesa akan mempermalukan Ningsih? Dokter Reza seketika mengacak rambutnya."Sekarang jawab pertanyaanku," tegas Vanesa."Memangnya kamu punya hubungan apa sama dia, Reza?" tanyanya.Dokter Reza tersentak, lalu seketika membuang muka. Dia tak tahu harus menjawab apa."Lihat? Kamu bahkan tak bisa bilang tentang dia di depanku. Kenapa kamu jadi sok peduli?"Dokter Reza seketika menoleh, bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu."Loh, ada apa ini?" Vanesa dan Dokter Reza menoleh. Nyonya Diana berjalan ke arah mereka."Tadi bukannya Ningsih yang datang? Ke mana dia?" Nyonya Diana menatap ke arah
POV Author"Jadi benar, wanita yang kamu cintai itu Ningsih, Reza?" Nyonya Diana menatap lekat ke arah putranya.Reza tak langsung menjawab pertanyaan Mamanya. Dia menatap jauh ke arah taman di depannya dengan pandangan sendu."Iya, Ma," jawabnya kemudian.Nyonya Diana memejamkan netranya, seraya memijat pelipisnya. "Astaga, Reza, kenapa kamu tidak bilang dari awal?" tanyanya, menatap sedih ke arah putra kesayangannya itu.Dokter Reza mengacak rambutnya, lalu membalas tatapan Mamanya dengan wajah sendu."Apa yang harus aku lakukan, Ma?" tanyanya. "Aku pikir kemarin bisa memberi Mama kejutan atas hubungan kami."Nyonya Diana menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat ke arah Dokter Reza. Diusapnya rambut putra semata wayangnya itu dengan hati pedih. Baru kali ini dia melihat kedua bola mata Dokter Reza begitu sedih, begitu mematahkan hatinya.Teringat pula bagaimana dia membicarakan kedekatan antara Dokter Reza dan Vanesa di depan Ningsih. Desaigner kesayangannya itu tentu amat sak
POV AuthorDicki membaca map yang dilempar oleh ayah mertuanya itu dengan tangan gemetar. Alangkah terkejutnya dia, jika di sana Nella juga menuntut harta gono-gini setelah perceraian. Padahal harta dia yang tersisa hanya perusahaan yang sudah di ujung tanduk, hampir bangkrut."Cepat tanda tangani, Dicki! Jangan buang-buang waktu kami!" ucap Mama mertuanya lagi sambil menyodorkan bolpoin padanya."Aku tidak mau bercerai dari Nella, Ma," tolak Dicki."Kalau begitu kami akan melaporkan kamu ke pihak berwajib atas tuduhan KDRT!" sahut Papa mertuanya."KDRT?" Netra Dicki mendelik, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Saya tidak melakukan apapun pada Nella, Pa!"Papa mertuanya itu menarik krah baju Dicki dengan geram, lalu menunjuk ke arah pintu ruang operasi."Buka mata kamu, Dicki! Menurutmu, siapa yang menyebabkan putriku meregang nyawa sekarang, hah?" ucapnya penuh emosi. "Itu karena kamu tidak becus jadi suami!"Papa mertuanya melepaskan Dicki dengan kasar, hingga Dicki terdorong
POV Author"Maaf Pak Dicki, sepertinya kondisi Bu Nella semakin kritis, dan janin yang dikandungnya tidak mengalami perkembangan. Sepertinya kami harus melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa Bu Nella," ucap Dokter yang saat itu menangani Nella."Maksud Dokter ... bayi saya tidak selamat?" tanya Dicki dengan badan gemetar karena terkejut."Benar, Pak. Dari hasil tes laboratorium, selain kekurangan asupan nutrisi, sepertinya Bu Nella juga mengkonsumsi obat diet dalam dosis tinggi di tengah kehamilannya, sehingga mengakibatkan infeksi. Jadi dengan berat hati kami terpaksa mengangkat janin yang ada dalam kandungannya, untuk menyelamatkan nyawa istri Bapak.""Astaga, Dicki." Bu Yulia memeluk tubuh putranya, sambil menangis tersedu-sedu."Kami akan menyiapkan beberapa surat yang harus ditanda tangani sebelum memulai operasi. Tapi sebelumnya perlu saya sampaikan pada Bapak, jika kemungkinan setelah ini Bu Nella akan sangat sulit sekali untuk mendapatkan keturunan."Tangis Bu Yulia semak
POV AuthorSemua tamu undangan berkumpul karena melihat keributan itu. Dokter Reza mengangkat tubuh Vanesa, lalu membawanya masuk. Orang tua Vanesa juga mengikuti mereka, begitupun Ningsih yang langsung menggendong Vian dan ingin tahu keadaan Vanesa."Mohon maaf karena terjadi sesuatu di luar keinginan kami." Nyonya Diana berusaha menenangkan para tamunya. "Silahkan nikmati kembali pestanya. Kami akan segera kembali."Nyonya Diana kemudian bergegas masuk ke dalam. Beberapa orang pelayan kembali melayani para tamu, sambil menyampaikan pada mereka bahwa semuanya baik-baik saja.Dokter Reza membaringkan tubuh Vanesa di kamar tamu, lalu dengan cekatan memeriksanya. Ningsih hanya melihat dari pintu kamar dengan cemas, takut jika terjadi sesuatu pada Vanesa.Nyonya Tania juga sudah memanggil ambulan. Dia tidak bisa berhenti menangis sedari tadi."Padahal sudah kupinta padanya untuk operasi," ucapnya di pelukan suaminya.Beberapa saat kemudian, Vanesa membuka kedua matanya. Dia berusaha untu
POV NingsihAku masih terpaku dengan pemandangan di depanku. Dokter Reza terlihat melepaskan wanita itu dari pelukannya, lalu menatapnya dengan netra membola."Vanesa?" sebuah nama meluncur dari bibirnya."Iya, ini aku," ucap wanita yang ternyata bernama Vanesa itu dengan wajah yang berseri. "Kamu pasti merindukanku, kan?"Dokter Reza tak menjawab. Dia terlihat salah tingkah, dan berulang kali menatapku dengan wajah bersalah."Ningsih, kamu datang bersama Reza?" tanya Nyonya Diana seraya tersenyum padaku."I-iya, Tante," jawabku gugup."Kenalkan, Vanesa, ini Ningsih desaigner kebanggaan kami," ucap Nyonya Diana kemudian, sambil merangkul pundakku dan menghadapkanku pada Vanesa.Vanesa tersenyum seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya, sambil berusaha untuk tersenyum."Kenalkan, aku Vanesa, calon istri Reza," ucapnya, lalu merangkul lengan Reza setelah melepaskan tanganku.Bagaikan sebuah sembilu, seketika dadaku terasa perih. Aku menatap Dokter Reza dengan tubuh sedikit
POV Ningsih"Me ... menikah?"Suaraku hampir tak terdengar karena tercekat di tenggorokan. Antara kaget dan bingung, karena semua ini begitu mendadak."Terima ... terima!" Para karyawatiku berseru sambil bertepuk tangan, membuatku semakin salah tingkah.Dokter Reza masih tersenyum sambil menatapku, seperti sedang menunggu jawaban dariku. Air mataku berusaha untuk keluar dari pelupuk mata karena menahan haru, meskipun sebisa mungkin kutahan agar tidak menetes."Tolong ... jangan bercanda, Dokter," ucapku dengan bibir bergetar."Aku serius, Ningsih," jawab Dokter Reza lagi. "Selama mengenal dan bersamamu, aku merasa nyaman. Kamu adalah sosok yang aku cari selama ini."Aku menggigit bibir yang bergetar. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sungguh merasa bahagia. Tak bisa aku pungkiri, akupun merasa nyaman saat bersama Dokter Reza. Bagiku, dialah pahlawanku, yang datang di saat aku merasa begitu terpuruk.Dan yang lebih utama lagi, Dokter Reza mampu mengambil hati Vian, bahkan mengis
POV Ningsih"Mbak Mei terkena gangguan jiwa?" Netraku membulat sempurna ketika mendengar apa yang baru saja Dokter Reza ucapkan."Aku tidak tahu detailnya, tapi kudengar suaminya menceraikannya dan mengambil hak asuh atas anak-anaknya," ucap Dokter Reza lagi."Itu tidak mungkin. Selama ini suami Mbak Mei begitu memanjakan Mbak Mei. Pernikahan mereka terlihat sangat bahagia," ucapku, masih belum mempercayainya.Dokter Reza tersenyum, lalu menatapku."Kita tidak bisa menilai kehidupan seseorang hanya dari luarnya saja," ucapnya kemudian.Aku terdiam. Selama ini aku berpikir Mbak Mei adalah sosok istri yang sempurna. Dia cantik dan mampu membawa diri di manapun dia berada. Penampilannya juga selalu glamor, tak terlihat sedikitpun ada kecacatan di sana.Karena itulah dulu mantan suami dan Mama mertuaku selalu menjadikannya contoh untuk ditiru. Tapi bagaimanapun, aku tidak bisa seperti Mbak Mei. Saat itulah aku benar-benar merasa gagal menjadi seorang istri."Ningsih." Dokter Reza menepuk