"Astaga, Dicki! Lihat itu istrimu, sudah kayak kerbau! Suruh diet dong!"
Mukaku seketika memerah mendengar ucapan Mama. Kulihat wajah Ningsih, istriku, juga memerah dan langsung menunduk malu. Dia akhirnya memilih sedikit mundur dari sisiku sambil menggendong Vian, putra kami yang masih berusia sembilan bulan.Memang sejak melahirkan putra pertama kami, badan istriku sudah tak lagi langsing seperti dulu. Semakin hari dia semakin terlihat berisi, dan akhirnya melar tak terkendali. Wajahnya juga dipenuhi dengan jerawat, tak mulus seperti dulu lagi."Lihat itu kakakmu, sudah punya dua anak tapi masih seperti gadis," ucap Mama lagi, sambil menunjuk ke arah Mbak Mei, Kakak perempuanku.Mbak Mei melirik sinis ke arah Ningsih, lalu menatap ke arahku."Sebagai istri seorang pengusaha, harusnya bisa menjaga penampilan. Biar gak malu-maluin di acara penting seperti ini," ucap Mbak Mei, membuatku semakin malu saja."Benar itu, Dicky. Apa kata orang kalau melihat penampilan istrimu seperti itu?" timpal Mama lagi.Aku membuang napas, sambil menatap Nining dengan perasaan kesal. Benar juga, gamis panjang mahal yang dikenakan istriku tidak bisa menutupi bentuk tubuhnya yang bulat. Sepertinya ucapan Mama dan Kakakku mulai mempengaruhiku. Aku jadi jijik melihat ke arahnya.Hari ini adalah hari ulang tahun Mama. Akan banyak tamu dari kalangan pengusaha yang datang. Apa yang akan mereka katakan ketika melihat istriku nanti? Pikirku gelisah."Aku ke dapur saja, Mas," ucap Ningsih tiba-tiba, seperti tahu apa yang aku pikirkan.Dia menatap ke arahku dengan netra yang berkaca, mungkin mengharap pembelaan dariku. Tapi lagi-lagi, perasaan malu mampu mengalahkan rasa ibaku padanya."Maafkan Mas, Ning." Akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan, berharap dia bisa mengerti.Ningsih mengangguk, lalu berjalan menuju arah dapur sambil menunduk, dengan Vian masih berada dalam gendongannya. Aku masih memperhatikannya hingga dia menghilang di balik tembok ruang belakang. Entah kenapa hatiku merasa lega saat dia sudah tidak tampak lagi.Beberapa saat kemudian, para tamu undangan mulai berdatangan. Akupun ikut sibuk menyambut mereka, karena ada beberapa yang aku kenal dan merupakan rekan bisnis keluarga kami."Dicky! Sini!"Aku menoleh ketika mendengar Mama memanggilku. Aku berjalan mendekat ke arah Mama, dan pandanganku langsung jatuh pada sosok wanita yang berdiri di samping Mama.Aku langsung terpesona ketika pertama kali melihat wanita cantik dengan pakaian sedikit terbuka itu. Apalagi ketika dia mengulurkan tangan, mengajakku berjabat tangan. Aku menyambutnya dengan sedikit terpana."Kenalkan, ini Nella, putri dari sahabat Mama," ucap Mama. "Dia ini sedang mencari rekan bisnis, siapa tahu kalian cocok."Nella tersenyum manis sambil menyebutkan namanya, begitupun denganku. Saat itu, tak sengaja aku melihat Ningsih mengintipku dari balik pintu belakang, dengan pandangan yang sulit diartikan. Ah, masa bodoh. Toh aku tidak berbuat yang macam-macam...."Kok kamu makan nasi lagi sih, Dek? Kan Mas sudah bilang, jangan makan karbo!"Pagi-pagi aku sudah dibuat kesal karena Ningsih sarapan dengan seporsi besar nasi. Padahal sudah hampir dua Minggu ini aku menyuruhnya untuk berhenti makan nasi, agar tubuhnya bisa kembali seperti dulu lagi. Ningsih menghentikan makannya, lalu menatapku dengan pandangan nelangsa."Tapi ... aku kan masih menyusui, Mas," jawabnya membela diri."Air susu banyak dihasilkan oleh buah dan sayur, Ningsih. Kamu itu cuma mencari alasan saja!" bentakku kesal."Tapi, Mas ...."Sudah, gak usah tapi-tapi! Kamu itu memang tidak tahu cara menyenangkan suami!"Ningsih seketika menunduk dalam. Dia pasti menangis lagi. Aku jadi semakin kesal saja dibuatnya. Tanpa mempedulikannya lagi aku meninggalkannya begitu saja dan memilih berangkat kerja. Di tengah perjalanan gawaiku berbunyi, pesan masuk dari aplikasi hijau.[ Kebetulan ada proyek yang ingin aku bicarakan. Bisa mampir untuk sarapan? ]Aku tersenyum melihat pesan yang masuk dari Nella. Rasa kesalku pada Ningsih seketika hilang. Nella memang wanita yang sempurna. Bukan hanya cantik secara fisik, tapi dia juga wanita karir yang sukses. Diam-diam aku menyesal kenapa tidak bertemu dengannya sejak dulu, sebelum aku bertemu dengan Nining.Setelah membicarakan bisnis bersama dengan Nella, malam itu kami juga berjanji makan malam bersama sepulang dari kantor. Bersama Nella, rasanya hidupku serasa berwarna lagi. Kami banyak sekali kecocokan.Saat asik berbincang dengan Nella, gawaiku berulang kali berdering. Telepon masuk dari Ningsih. Dengan kesal aku langsung mematikan gawaiku."Siapa, Mas? Kok dimatikan?" tanya Nella."Ah, bukan hal yang penting," jawabku.Karena terlalu asik bersama Nella, aku tak sadar pulang sangat terlambat. Sesampainya di rumah, aku heran karena rumah dalam keadaan gelap. Beberapa saat kemudian, Bibi tetangga datang sambil menggendong Vian."Loh, kok Vian bisa sama Bibik? Memang Ningsih ke mana?" tanyaku heran.Wanita paruh baya itu mengulurkan Vian padaku, lalu memberi penjelasan."Tadi Neng Ningsih pingsan di teras rumah. Para tetangga sini sudah mencoba menghubungi Den Dicky, tapi tidak diangkat. Jadi kami membawa Neng Ningsih ke rumah sakit. Kondisinya kritis, Den."Tanpa pikir panjang lagi, aku segera menitipkan Vian ke Mama dan bergegas ke rumah sakit. Sesampainya di sana aku langsung bertanya pada petugas rumah rumah sakit. Rupanya Ningsih sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.Saat aku tiba di sana, seorang Dokter baru saja keluar dari ruangannya. Dokter Reza, begitu yang tertulis di tanda pengenal yang dia kenakan."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?" tanyaku padanya tanpa basa-basi.Pria tampan berkulit putih itu mempethatikanku sejenak."Anda suaminya?" tanyanya kemudian."Iya Dok," jawabku cepat."Pasien mengalami dehidrasi berat. Syukurlah nyawanya bisa terselamatkan," jawab Dokter itu kemudian.Aku membuang napas lega. Aku tahu Ningsih bukan wanita selemah itu, sampai begitu gampangnya tumbang hanya karena tidak makan."Jika berkenan, silahkan Bapak ikut ke ruangan saya untuk bisa mengetahui kondisi beliau dengan lebih jelas."Dokter Reza berjalan mendahuluiku, dan akhirnya aku mengikutinya menuju ruangannya."Bapak meminta istri Bap
"Pisah? Apa maksudmu, Ningsih?"Aku terkejut bukan main ketika perkataan itu keluar dari mulut Ningsih. Hal yang mustahil diucapkan oleh seorang wanita yang seharusnya merasa begitu beruntung bisa menikah dengan pria sepertiku."Kamu berani minta pisah dariku? Apa kamu sudah tidak waras, Ningsih?" tanyaku emosi.Ningsih bergeming. Tak sepatah katapun lagi keluar dari mulutnya. Sikapnya itu justru membuatku semakin kesal. Berani sekali dia menghinaku dengan meminta pisah. Seharusnya aku yang berhak melakukannya jika aku ingin."Pokoknya besok kamu harus sudah keluar dari rumah sakit ! Vian membutuhkanmu! Akan kubicarakan pada pihak rumah sakit setelah ini."Ningsih masih bungkam. Dia bahkan tak sedikitpun menoleh ke arahku. Astaga, lama-lama aku bisa gila kalau meladeni sikapnya. Akhirnya aku memilih keluar dari ruangannya, membiarkan dia sendirian di rumah sakit.Selesai mengurus administrasi, aku bergegas menjemput Vian ke rumah Mama. Mama langsung mengomeliku begitu aku sampai."Sek
Emosiku semakin memuncak mendengar ucapan Dokter itu. Jangan-jangan mereka berdua ada hubungan spesial, dan aku tidak tahu. Pantas saja baru saja mengenal Ningsih, mereka sudah begitu akrab. Kurang ajar."Justru Dokter yang akan saya laporkan ke polisi, karena sudah menggoda istri saya!" ucapku sambil membalas tatapannya dengan lebih tajam lagi."Sudah, sudah, Mas! Jangan membuat keributan di rumah sakit." Akhirnya Ningsih membuka suaranya."Pak Dokter, ijinkan saya pulang. Saya juga khawatir dengan keadaan anak saya," lanjutnya pada Dokter Reza."Tapi kondisi Anda masih belum stabil," jawab Dokter Reza sok perhatian."Tidak apa-apa, Dok. Saya bisa ambil obat jalan saja," ucap Ningsih lagi.Dokter Reza tampak membuang napas, lalu menatapku."Pak, istri Bapak masih Bapak masih perlu menjalani pengobatan sampai kondisinya membaik. Jadi tolong lebih diperhatikan lagi keadaan istri Bapak," ucapnya padaku."Saya ini suaminya, jadi saya tahu yang terbaik untuk istri saya," jawabku.Kesal se
Aku tak menyangka Ningsih bakal membahas semua itu di depan keluargaku. Aku benar-benar malu, apalagi di depan Nella."Ningsih! Sudah kewajiban seorang istri untuk membantu usaha suaminya, apapun caranya! Apa maksudmu membicarakan semua itu lagi?" Mama seketika berdiri sambil menatap ke arah Ningsih."Aku cuma ingin mengingatkan Mas Dicki, kalau selama ini aku tidak pernah berbuat apa-apa untuk pernikahan kami, Ma," jawab Ningsih. "Aku juga banyak berkorban untuk keluarga kami.""Jadi maksudmu, kamu tidak ikhlas melakukan itu semua?" tanya Mama lagi.Ningsih terlihat membuang napas. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, seperti berharap aku akan membelanya. Aku membuang muka, karena kesal dengan ucapannya. Mungkin memang benar dulu Ningsih yang membantuku membangun usaha kami dari nol. Tapi jika aku tidak bekerja keras siang malam selama ini, tentu usaha kami tidak akan pernah membuahkan hasil.Akhirnya Ningsih menyerah. Sepertinya dia sudah tidak ingin berdebat lagi.
POV Ningsih"Menikahlah denganku, Ningsih."Aku terkejut ketika Mas Dicki melamarku waktu itu. Bahagia, sekaligus juga takut. Mas Dicki adalah anak dari orang berada, sedangkan aku hanya gadis yatim piatu sebatang kara.Kami saling mengenal karena sama-sama kuliah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Bedanya, dia salah satu mahasiswa elit, sedangkan aku hanya bisa kuliah dengan mengandalkan beasiswa."Menikahi wanita kampung itu? Kamu sudah hilang akal, Dicki?"Sudah kuduga, reaksi Bu Yulia akan seperti itu saat Mas Dicki memperkenalkanku padanya. Bahkan tanpa basa-basi memanggilku wanita kampung."Dicki, setelah Papamu meninggal, kamulah yang seharusnya menjadi penerus usaha kami karena kamu anak laki-laki. Kamu malah ingin menikah, dan dengan wanita yang ...." Bu Yulia menatapku dengan pandangan jijik.Entah bagaimana cara Mas Dicki membujuk Mamanya, hingga akhirnya beliau mengijinkan kami menikah. Mas Dicki sendiri memilih untuk menjalankan pabrik kain yang diwariskan
POV NingsihSudah berhari-hari aku menuruti perintah Mas Dicki untuk bisa menurunkan berat badan. Aku hanya memakan sedikit buah dan sayur mentah, tanpa makan nasi sama sekali. Berhari-hari berlalu, tapi tak ada perubahan yang berarti. Aku bahkan sering merasakan nyeri di ulu hati.Vian juga semakin rewel saja ketika aku memutuskan untuk diet. Dia jadi sering tidak mau menyusu, dan akhirnya terpaksa memberinya susu formula sebagai tambahan makanan pendamping ASI.Pada akhirnya, tubuhku tak mampu lagi bertahan. Aku tumbang dan berakhir di rumah sakit. Mungkin inilah yang dinamakan depresi, ketika aku benar-benar merasa lelah secara fisik dan mental."Siapa bilang gendut itu jelek?" Dokter Reza, yang saat itu merawatku di rumah sakit selalu mengucapkan hal itu."Semua wanita itu cantik, biarpun yang gemuk ataupun kurus. Yang salah itu mereka yang hanya melihat dari penampilan luarnya saja," lanjutnya.Aku melongo mendengar ucapan Dokter yang mungkin usianya setara denganku itu. Baru kal
"Kamu menalakku dengan sadar, Mas?" aku menatapnya dengan netra membola, karena masih terkejut dengan apa yang baru saja dia ucapkan.Mas Dicki membalas tatapanku, dan tak ada sedikitpun keraguan di sana."Iya, Ningsih Aninda. Aku menalak kamu dengan penuh kesadaran. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi secara agama," jawabnya.Aku mengatupkan bibir. Dadaku seperti dihujam dengan puluhan ton benda berat. Sesak, sulit untuk bernapas. Aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata."Aku akan mengurus perceraian kita secara hukum secepatnya. Jadi tidak perlu lagi membuat pembelaan apapun!"Mas Dicki membalikkan badan, berjalan pergi dan membanting pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan halaman rumah. Mas Dicki lebih memilih dikuasai keegoisannya sendiri dibanding mendengarkan penjelasanku.Aku masih berdiri di tempatku, dengan perasaan campur aduk. Antara sadar atau tidak, dia sudah memilih untuk meninggalkan kami, istri dan anaknya. Namun kali ini tak ada lagi se
Mas Dicki menatapku dengan pandangan gusar. Dia pasti lupa, kalau tanpa surat persetujuan dariku dulu, tanah milik Bapak tidak akan bisa dia jual. Dan karena itu harta yang kumiliki sebelum menikah, hal itu tidak masuk dalam harta gono-gini."Kenapa, Mas? Harga tanah itu tidak akan menghabiskan seluruh perusahaanmu, jadi jangan khawatir," ucapku sambil tersenyum miring."Iya, Mas, tidak perlu khawatir," sahut Nella sambil menatapku remeh. "Kembalikan saja uang miliknya. Aku yang akan menggantinya. Lagipula, dia juga tidak akan bisa makan tanpa mengemis nafkah darimu, di balik nama anak."Aku seketika menggertakkan rahang mendengar ucapannya. Sabar, Ningsih. Hari ini biarkan saja mereka berkata sesuka hati. Suatu hari nanti kamu pasti akan punya kesempatan untuk membungkam mulut mereka!"Baguslah kalau kalian berniat mengembalikannya secepatnya," ucapku kemudian. "Kalau begitu tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalian tahu arah pintu keluar, kan?"Mas Dicki dan Nella menatapku penu
Dokter Reza membulatkan netranya, menatap ke arah Vanesa tak percaya."Tunggu apa lagi? Kalau tak segera kamu kejar, nanti dia diambil orang loh," ucap Vanesa lagi."Ta- tapi, Vanes ...." Dokter Reza masih belum mengerti apa yang dilakukan oleh Vanesa. Bukankah dia yang memintanya untuk ikut dengannya ke Singapura? Tapi kenapa ....Vanesa membuang napas, lalu tersenyum sambil menatap ke arah Dokter Reza yang masih dengan wajah kebingungannya."Kamu dan Mbak Ningsih saling mencintai, tapi kalian mengorbankan semuanya hanya karena kasihan padaku. Aku tidak butuh dikasihani," ucap nya kemudian."Bukan begitu maksud kami, Vanes," ucap Dokter Reza cepat."Sudahlah, jangan membohongi diri sendiri lagi," sahut Vanesa cepat. "Tadinya aku begitu takut kehilangan semua ingatan tentang kita. Tapi ternyata aku lebih takut hidup dalam kebohongan, dan rasa sedih kalian berdua.""Vanes ....""Tenang saja, aku yang akan menjelaskan pada Mama dan Papa, dan mereka pasti akan mengerti." Vanesa menepuk p
Vanesa menatap lekat ke arah Dokter Reza. Sungguh, ini pertama kalinya sahabatnya sejak kecil itu berkata begitu tegas padanya."Aku bukan orang jahat, Reza. Kamu mengenalku, dan aku tidak mungkin melakukannya," ucapnya kemudian.Dokter Reza terdiam mendengar ucapan Vanesa. Apa yang terjadi padanya? Dia tahu Vanesa bukan tipe wanita yang suka merendahkan orang lain. Tapi kenapa dia begitu takut Vanesa akan mempermalukan Ningsih? Dokter Reza seketika mengacak rambutnya."Sekarang jawab pertanyaanku," tegas Vanesa."Memangnya kamu punya hubungan apa sama dia, Reza?" tanyanya.Dokter Reza tersentak, lalu seketika membuang muka. Dia tak tahu harus menjawab apa."Lihat? Kamu bahkan tak bisa bilang tentang dia di depanku. Kenapa kamu jadi sok peduli?"Dokter Reza seketika menoleh, bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu."Loh, ada apa ini?" Vanesa dan Dokter Reza menoleh. Nyonya Diana berjalan ke arah mereka."Tadi bukannya Ningsih yang datang? Ke mana dia?" Nyonya Diana menatap ke arah
POV Author"Jadi benar, wanita yang kamu cintai itu Ningsih, Reza?" Nyonya Diana menatap lekat ke arah putranya.Reza tak langsung menjawab pertanyaan Mamanya. Dia menatap jauh ke arah taman di depannya dengan pandangan sendu."Iya, Ma," jawabnya kemudian.Nyonya Diana memejamkan netranya, seraya memijat pelipisnya. "Astaga, Reza, kenapa kamu tidak bilang dari awal?" tanyanya, menatap sedih ke arah putra kesayangannya itu.Dokter Reza mengacak rambutnya, lalu membalas tatapan Mamanya dengan wajah sendu."Apa yang harus aku lakukan, Ma?" tanyanya. "Aku pikir kemarin bisa memberi Mama kejutan atas hubungan kami."Nyonya Diana menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat ke arah Dokter Reza. Diusapnya rambut putra semata wayangnya itu dengan hati pedih. Baru kali ini dia melihat kedua bola mata Dokter Reza begitu sedih, begitu mematahkan hatinya.Teringat pula bagaimana dia membicarakan kedekatan antara Dokter Reza dan Vanesa di depan Ningsih. Desaigner kesayangannya itu tentu amat sak
POV AuthorDicki membaca map yang dilempar oleh ayah mertuanya itu dengan tangan gemetar. Alangkah terkejutnya dia, jika di sana Nella juga menuntut harta gono-gini setelah perceraian. Padahal harta dia yang tersisa hanya perusahaan yang sudah di ujung tanduk, hampir bangkrut."Cepat tanda tangani, Dicki! Jangan buang-buang waktu kami!" ucap Mama mertuanya lagi sambil menyodorkan bolpoin padanya."Aku tidak mau bercerai dari Nella, Ma," tolak Dicki."Kalau begitu kami akan melaporkan kamu ke pihak berwajib atas tuduhan KDRT!" sahut Papa mertuanya."KDRT?" Netra Dicki mendelik, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Saya tidak melakukan apapun pada Nella, Pa!"Papa mertuanya itu menarik krah baju Dicki dengan geram, lalu menunjuk ke arah pintu ruang operasi."Buka mata kamu, Dicki! Menurutmu, siapa yang menyebabkan putriku meregang nyawa sekarang, hah?" ucapnya penuh emosi. "Itu karena kamu tidak becus jadi suami!"Papa mertuanya melepaskan Dicki dengan kasar, hingga Dicki terdorong
POV Author"Maaf Pak Dicki, sepertinya kondisi Bu Nella semakin kritis, dan janin yang dikandungnya tidak mengalami perkembangan. Sepertinya kami harus melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa Bu Nella," ucap Dokter yang saat itu menangani Nella."Maksud Dokter ... bayi saya tidak selamat?" tanya Dicki dengan badan gemetar karena terkejut."Benar, Pak. Dari hasil tes laboratorium, selain kekurangan asupan nutrisi, sepertinya Bu Nella juga mengkonsumsi obat diet dalam dosis tinggi di tengah kehamilannya, sehingga mengakibatkan infeksi. Jadi dengan berat hati kami terpaksa mengangkat janin yang ada dalam kandungannya, untuk menyelamatkan nyawa istri Bapak.""Astaga, Dicki." Bu Yulia memeluk tubuh putranya, sambil menangis tersedu-sedu."Kami akan menyiapkan beberapa surat yang harus ditanda tangani sebelum memulai operasi. Tapi sebelumnya perlu saya sampaikan pada Bapak, jika kemungkinan setelah ini Bu Nella akan sangat sulit sekali untuk mendapatkan keturunan."Tangis Bu Yulia semak
POV AuthorSemua tamu undangan berkumpul karena melihat keributan itu. Dokter Reza mengangkat tubuh Vanesa, lalu membawanya masuk. Orang tua Vanesa juga mengikuti mereka, begitupun Ningsih yang langsung menggendong Vian dan ingin tahu keadaan Vanesa."Mohon maaf karena terjadi sesuatu di luar keinginan kami." Nyonya Diana berusaha menenangkan para tamunya. "Silahkan nikmati kembali pestanya. Kami akan segera kembali."Nyonya Diana kemudian bergegas masuk ke dalam. Beberapa orang pelayan kembali melayani para tamu, sambil menyampaikan pada mereka bahwa semuanya baik-baik saja.Dokter Reza membaringkan tubuh Vanesa di kamar tamu, lalu dengan cekatan memeriksanya. Ningsih hanya melihat dari pintu kamar dengan cemas, takut jika terjadi sesuatu pada Vanesa.Nyonya Tania juga sudah memanggil ambulan. Dia tidak bisa berhenti menangis sedari tadi."Padahal sudah kupinta padanya untuk operasi," ucapnya di pelukan suaminya.Beberapa saat kemudian, Vanesa membuka kedua matanya. Dia berusaha untu
POV NingsihAku masih terpaku dengan pemandangan di depanku. Dokter Reza terlihat melepaskan wanita itu dari pelukannya, lalu menatapnya dengan netra membola."Vanesa?" sebuah nama meluncur dari bibirnya."Iya, ini aku," ucap wanita yang ternyata bernama Vanesa itu dengan wajah yang berseri. "Kamu pasti merindukanku, kan?"Dokter Reza tak menjawab. Dia terlihat salah tingkah, dan berulang kali menatapku dengan wajah bersalah."Ningsih, kamu datang bersama Reza?" tanya Nyonya Diana seraya tersenyum padaku."I-iya, Tante," jawabku gugup."Kenalkan, Vanesa, ini Ningsih desaigner kebanggaan kami," ucap Nyonya Diana kemudian, sambil merangkul pundakku dan menghadapkanku pada Vanesa.Vanesa tersenyum seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya, sambil berusaha untuk tersenyum."Kenalkan, aku Vanesa, calon istri Reza," ucapnya, lalu merangkul lengan Reza setelah melepaskan tanganku.Bagaikan sebuah sembilu, seketika dadaku terasa perih. Aku menatap Dokter Reza dengan tubuh sedikit
POV Ningsih"Me ... menikah?"Suaraku hampir tak terdengar karena tercekat di tenggorokan. Antara kaget dan bingung, karena semua ini begitu mendadak."Terima ... terima!" Para karyawatiku berseru sambil bertepuk tangan, membuatku semakin salah tingkah.Dokter Reza masih tersenyum sambil menatapku, seperti sedang menunggu jawaban dariku. Air mataku berusaha untuk keluar dari pelupuk mata karena menahan haru, meskipun sebisa mungkin kutahan agar tidak menetes."Tolong ... jangan bercanda, Dokter," ucapku dengan bibir bergetar."Aku serius, Ningsih," jawab Dokter Reza lagi. "Selama mengenal dan bersamamu, aku merasa nyaman. Kamu adalah sosok yang aku cari selama ini."Aku menggigit bibir yang bergetar. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sungguh merasa bahagia. Tak bisa aku pungkiri, akupun merasa nyaman saat bersama Dokter Reza. Bagiku, dialah pahlawanku, yang datang di saat aku merasa begitu terpuruk.Dan yang lebih utama lagi, Dokter Reza mampu mengambil hati Vian, bahkan mengis
POV Ningsih"Mbak Mei terkena gangguan jiwa?" Netraku membulat sempurna ketika mendengar apa yang baru saja Dokter Reza ucapkan."Aku tidak tahu detailnya, tapi kudengar suaminya menceraikannya dan mengambil hak asuh atas anak-anaknya," ucap Dokter Reza lagi."Itu tidak mungkin. Selama ini suami Mbak Mei begitu memanjakan Mbak Mei. Pernikahan mereka terlihat sangat bahagia," ucapku, masih belum mempercayainya.Dokter Reza tersenyum, lalu menatapku."Kita tidak bisa menilai kehidupan seseorang hanya dari luarnya saja," ucapnya kemudian.Aku terdiam. Selama ini aku berpikir Mbak Mei adalah sosok istri yang sempurna. Dia cantik dan mampu membawa diri di manapun dia berada. Penampilannya juga selalu glamor, tak terlihat sedikitpun ada kecacatan di sana.Karena itulah dulu mantan suami dan Mama mertuaku selalu menjadikannya contoh untuk ditiru. Tapi bagaimanapun, aku tidak bisa seperti Mbak Mei. Saat itulah aku benar-benar merasa gagal menjadi seorang istri."Ningsih." Dokter Reza menepuk