Happy reading, dong forget to vote and comment. Your support are really worth for me
“Serina, kamu ada kerjaan. Kenapa kamu ikut?” tanya Beryl dengan berusaha menahan kesal. Serina terlihat berwajah masam. “Mas Beryl, pekerjaanku sudah selesai. Aku juga baru tahu kalau Laila sakit dan dirawat di sini. Laila temanku sekaligus teman kantorku, masa aku gak jenguk dia,” imbuhnya dengan suara yang terdengar menyedihkan. Beryl berusaha menepis pelan tangan Serina yang merangkulnya. “Ya sudah kamu bisa jenguk sekarang. Di dalam ada Jeena juga,” ucap Beryl dengan berusaha sabar mengingat jika Serina telah berjasa besar baginya karena telah menyelamatkan nenek tercintanya.“Mbak Jeena pulang? Asik, sudah lama aku gak ketemu Mbak Jeena.”Serina berkata dengan penuh antusias. Alby hanya bisa mendesah pelan melihat tingkah Serina yang manja dan cerewet.Namun sebelum langkahnya terayun, Serina menoleh ke arah Manggala sesaat dan menyapanya. “Mas Gala, bagaimana kabarmu?”“Baik, Serina,” jawab Manggala dengan singkat.Serina pun masuk ke dalam ruangan dengan senyum yang mengemb
“Assalamualaikum! Bagaimana kabarmu, Laila? Maaf nih aku baru datang.”Alby menaruh buket bunga di atas nakas. Ekor mata Laila mengikuti kemana Alby berjalan. Hum, ia menjadi tak enak hati tapi senang. Siapapun wanita akan merasa senang ketika diberi perhatian dengan bunga. Laila bangun dan tersenyum di balik maskernya. “Waalaikumsalam. Baik, Mas. Gak apa-apa Mas. Sebetulnya aku juga sudah baikkan.”Laila menjawab dengan sungkan. Namun ia bersyukur, ketika ia sakit banyak orang yang membesuknya. Baik dari teman kerjanya di istal kuda, toko busana muslim maupun teman kantor bagian staf admin. Terutama keluarga Basalamah.Hatinya berdebar-debar. Apakah ternyata Alby yang menyelamatkannya? Ia bersikap baik dan sopan. Ia juga tidak berkata kasar. Ia juga pria yang manis!Melihat itu semua, rona wajah Laila memerah karena malu. Beruntung, pemuda berhidung bangir itu tidak bisa melihat wajahnya di balik masker.Haruskah ia menanyakannya soal insiden kecelakaan waktu itu? Tapi … Laila meras
Di tempat yang berbeda, saat ini Ana sedang sibuk mengasuh Sagara yang mulai aktif. Wanita itu membawa cucunya masuk ke ruang musik miliknya. Teringat ia harus merapikan partitur lagu yang sudah lama ia buat. Seperti halnya putrinya, Ana juga suka menciptakan lagu lalu menjualnya. Hari itu ia sedang merapikan buku-buku lamanya dan berniat akan memperbaikinya. Berharap putrinya akan bisa menyanyikan salah satu lagu ciptaannya nanti.“Nyonya, bisa saya bantu?” Tanya Rosa yang sedari tadi menemani majikannya dengan siap sedia di ruangannya. Ia mendapat tugas extra yakni mengawasi Sagara. Saat Ana sedang sibuk, Sagara juga tak kalah sibuk dengan mengacak-acak buku dari rak lemari padahal Rosa sudah mencegahnya.Anak lelaki Jeena memang super aktif. Lama kelamaan siapapun akan merasa letih mengasuhnya. Babysitter Linda sedang pulang kampung karena ibunya sakit. Oleh karena itu hari itu Ana mengasuhnya sendirian. Beruntung, Rosa kebetulan datang ke sana karena ingin mengkonfirmasi soal k
Malam ini di kediaman Sulaiman Basalamah terlihat ramai. Semua anak, menantu, cucu dan cicit datang.Hanum dan Sulaiman duduk di singgasananya dengan perasaan penuh sukacita. Kebahagiaan mereka lengkap karena kehadiran Jeena. Mereka sangat merindukan Jeena.“Jeena, kamu kok kurusan. Kamu makan bagus di sana?” cecar Hanum seraya mencium wajah Jeena dengan penuh haru.Jeena terkekeh geli ketika ia diperlakukan seperti anak kecil olehnya. Setelah merenggangkan pelukannya, Jeena pun memeluk Sulaiman bergantian. Kemudian ia duduk di samping Hanum dan merangkul lengannya. Kepalanya bersandar pada lengannya dengan manja. “Aku makan bagus dong, Nena. Nena gak usah khawatir! Justru Nena yang harus makan yang banyak, minum vitamin dan rajin yoga biar kayak Mami. Orang mengira jika Mami kakakku karena awet muda.”Jeena berkata sembari menahan tawa melihat ekspresi ibunya yang kerepotan mengasuh Sagara.Baru saja tiba di sana anak kecil itu langsung membuat keributan.“Sekarang Nena makan sedikit
Ali tidak suka ibunya menyuruh istrinya saat mereka sedang makan. Mengapa tidak menyuruh art saja? Lagipula ia juga kurang suka pada Serina. Mungkin pada awalnya ia menyukai sifatnya yang terlihat baik dan lugu. Bahkan ia terlihat alim. Namun lama kelamaan gadis itu berubah menjadi gadis yang manja. Ali tidak suka anak gadis yang manja. Dulu ia memilih Sulis sebagai istrinya—yang meskipun terkenal tomboi dan keras kepala namun ia sangat mandiri.Jika bukan karena Hanum, ia akan menolak perjodohan itu. Namun ia juga tidak akan memaksa putranya. Sedari awal, ia membiarkan ke dua putranya mencari wanita yang cocok dengan mereka.“M-Mas,” imbuh Sulis merasa tak enak hati menolak permintàan mama mertuanya. Meskipun Ali berbicara pelan, namun bahasa tubuhnya menunjukan ia keberatan.Sulis tetap akan bersikap baik pada gadis itu sebelum ia benar-benar bisa membuktikan jika gadis itu memang penyelamat nyawa Mama mertuanya.Tiga hari yang lalu, tercetus sebuah ide. Saat Sulis pergi ke mall MEN
“Bagaimana kabarmu?”Dania menarik kursi lalu duduk di depan Laila dengan bersedekap tangan di dada. Laila pun berusaha bangun meskipun masih lemah. “Gak usah bangun! Santai aja,” imbuh Dania yang terlihat berwajah pucat. Di pergelangan tangannya masih menempel perban kecil. Seperti halnya dirinya, Dania masuk rumah sakit karena penyakit lambungnya kumat.Mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara Dania lebih dulu keluar meskipun lemah.“Sekarang kamu sudah ingat semua?”Dania berkata dengan nada dingin tak seperti biasanya.Mendengar perkataan itu keluar dari bibir Dania, hati Laila terasa pedih. Ia pun berusaha tegar dan menjawab. “Aku sudah ingat semuanya. Aku bukan anak kandung Ayah.”Dania menatap Laila dengan perasaan yang lega. Sudah seharusnya Laila tahu diri. Ia sudah mengambil tempat dirinya dari sisi ayahnya.“Baguslah! Ingatanmu sudah kembali,” lanjut Dania dengan menyisir ruangan Laila. “Bos kamu baik banget! Kalau gak salah, ruangan ini biasanya di
“Eh, Tante. Aku mau minum soalnya aku haus. Tapi aku lihat ruang tamu masih menyala jadi aku menengoknya. Ternyata ada Mbak Jeena dan Mas Gala lagi pacaran.”Serina berkata dengan tenang setelah berusaha menormalkan perasaannya. Ia bisa menghadapi siapapun dengan santai. Namun ia hanya bersikap gugup di depan wanita cantik di depannya. Sulis memiliki aura yang kuat sebagai seorang wanita dewasa. Cara ia menatapnya terlihat intimidatif. Apalagi Serina pernah mendengar dari ke dua anaknya bahwa Sulis adalah seorang mantan detektif. Pasti ia pandai dalam melakukan investigasi dan deduksi. Ia takut jika kebohongannya akan terbongkar.“Tante, permisi, aku mau ke dapur,” seru Serina buru-buru melarikan diri dari Sulis. Sulis hanya menatap punggung gadis itu yang secepat kilat menghilang dari pandangannya. Wanita bertubuh semampai itu pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ia membuka pintu kamar dan seketika terkejut saat melihat ke dua anaknya tidur di atas ranjangnya. “Kalian ngapa
Usai sarapan Jeena sudah bersiap-siap akan pulang kembali ke Jakarta lebih dulu dari yang lain. Ia pun berpamitan pada keluarganya, nenek, kakek dan para sepupunya. “Sayang, jaga diri baik-baik ya selama di sana!” Hanum memeluk Jeena dengan erat dengan air mata yang sudah menggenang di matanya. Kemudian ia menatap Rosa dan berkata padanya. “Rosa, kamu harus jaga Nona Jeena! Jangan sampai lengah!”Rosa pun menjawab dengan penuh keyakinan. “Siap, Nyonya! Tenang saja!”Hanum tersenyum puas melihat kesetiaan Rosa pada keluarganya. “Bagus! Nanti Nena minta Ana kasih bonus ya! Soalnya kamu pasti gak bisa pulang selama ada di LN,”Rosa meneguk salivanya karena gugup. Ia pernah meninggalkan Jeena sendirian di sana. Mungkin lain kali ia tidak akan melakukannya.Tiba-tiba Rosa mengerutkan keningnya. Siapa yang memindahkannya tidur? Tak mungkin setan kan? Apa jangan-jangan pemuda berwajah oriental itu? Pemuda itu sedang mengobrol dengan Ali. Tak mungkin kan si kembar? Mereka terlalu cuek padany
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang