“Aku benar-benar nggak paham denganmu, Permata. Aku bahkan merasa kalau kamu sekarang tengah merasakan jatuh cinta lagi kepadanya.” Wajah Denial tampak marah sekali. Di sampingnya ada Almeda dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menatap Permata dalam diam. Mungkin dia juga sedang berpikir tentang sikap Permata yang tiba-tiba berubah. Saat pertama kali dia datang ke Indonesia, Permata dengan bersungguh-sungguh mengatakan jika dia akan membuat Axel menyesal. Ya, Almeda mengakui, Axel sekarang sudah merasakan penyesalan itu. Bahkan lelaki itu sudah bersimpuh di kaki Permata untuk meminta kesempatan. Tapi baginya, sepertinya masih belum cukup. Setidaknya itulah yang ditangkap dari wajah Almeda yang berada di layar ponselnya. “Aku minta maaf kepada kalian karena sudah mengambil keputusan itu. Tapi itu akan menjadi adil kalau kita bermain secara fair.” Mereka hanya sedikit basa-basi setelah itu dan mengakhiri panggilannya. Permata termenung di dalam kamarnya sambil duduk di
Tidak ada yang lebih melegakan dibandingkan dengan jawaban Angkasa yang menyentuh hati. Axel akan berusaha untuk mengambil hati Angkasa dan menjadikan bocah itu miliknya sepenuhnya. Bukan hanya Angkasa, tapi Permata juga. Sesulit apa pun tantangannya, dia akan menghadapinya, tekad Axel. Dia sudah jauh-jauh datang ke Paris untuk mendekati Angkasa dan dia sangat mengharapkan keberhasilannya. Axel turun ke lantai bawah dan menuju ke rumahnya sendiri. Unit yang sudah disiapkan oleh Alvan kemarin. “Ya, saya sudah ada di unit sekarang.” Alvan menghubunginya dan memastikan jika bosnya itu sampai dengan selamat. Axel melihat ke segala penjuru ruangan dan tidak jauh berbeda dari unit Permata. Axel meletakkan kopernya sembarang dan memilih membaringkan tubuhnya di sofa setelah panggilan diakhiri. Tatapannya lurus ke depan menatap langit. Lelahnya baru terasa saat dia sudah berbaring. Meskipun dia sudah tidur saat di pesawat, tapi perjalan jauh tetap saja membuat otot-ototnya kaku. Hanya den
Karena unit itu luas, jadi mobil-mobilan yang dikendalikan oleh remote itu bisa meluncur dengan bebas layaknya mobil sungguhan. Senyum Angkasa menguar lebar saat melihat mobil berwarna hitam melenggok melewati kaki sofa. “Wah, ini hebat. Lebih besar dari punya Angkasa yang ada di rumah.” Begitu tanggapan bocah itu dengan puas.Tangannya cepat memencet tombol untuk mengendalikan mobil-mobilan tersebut. Menunggu Angkasa bermain, Axel hanya terus menatap bocah itu dalam diam. Perasaan bersalah di dalam hatinya tak bisa tidak menyakitinya. Kejahatannya di masa lalu menimbulkan luka di banyak hati. Terutama Permata dan juga Angkasa. Angkasa memang sekarang belum begitu mengerti tentang permasalahan orang tuanya. Tapi kukuhnya bocah itu belum ingin memanggil Axel dengan panggilan yang sebenarnya, membuat Axel memahami jika itulah yang dinamakan ikatan batin antara ibu dan anak. Ketika seorang ibu masih menyimpan dendam kepada sang ayah, Axel yakin kalau Angkasa akan tetap memanggilnya om.
“Permata, tidak bisakah kamu menolongku?” Telat. Panggilan sudah diakhiri dan Axel hanya bisa terkekeh menyedihkan seorang diri bersama dengan keheningan. Dia sungguh diombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri. Ketakutan, kesedihan, dan kekhawatiran berlomba-lomba menyerangnya. Axel kini hanya terus meratapi kebusukan yang dilakukan di masa lalu. Hari-hari berikutnya, Angkasa masih sama. Bocah itu mau dan bersedia bermain dan tinggal di apartemen Axel. Tiba-tiba saja dia mengingat tentang hari itu. Hari di mana Angkasa tidur di kamarnya saat pulang berkuda. Maka dia segera menanyakan kepada Sus Dian tentang itu. Kenapa sikap Angkasa berbeda dengan yang waktu itu.“Selama dia tidur saat berada di mobil dan kemudian dia dibaringkan di tempat asing, dia tentu tidak masalah. Karena pada nyatanya, dia tak tahu sebelumnya. Tapi saat dia masih bangun dan dan sadar, dia akan menolak. Dia akan memilih pulang dan tidur di rumah.” Axel tadinya mengira kalau itu bujukan dari om dan tantenya.
“Angkasa serius?” Ekspresi yang tadinya layu itu kini tampak cerah kembali. Axel tidak pernah menyangka jika Angkasa akan mengatakan kata-kata yang begitu merdu di telinganya. Bocah ini, terkadang bisa memberi begitu banyak kebahagian, tapi di satu waktu dia bisa melemparnya pada kubangan kesedihan. Luar biasa sekali. “Iya.” Dan jawaban disertai anggukan yakin itu membuat Axel bahagia luar biasa. Axel tersenyum lebar dan kemudian membimbing Angkasa untuk membersihkan tubuhnya sebelum mulai tidur. Beberapa pakaian milik Angkasa sudah tertata rapi di satu lemari dengan pakaian Axel seolah mereka sudah tinggal bersama. Tapi itu digunakana Angkasa di saat-saat seperti ini saja. Seperti pulang dari sekolah, selesai mandi sore, atau pada saat Angkasa merasa baju yang dikenakan kotor dan dia ingin menggantinya. “Jadi, apa Papa perlu membacakan dongeng untuk Angkasa?” Kini ayah dan anak itu sudah berada di atas kasur. Angkasa sudah memeluk gulingnya dan siap untuk tidur. Matanya sayu aki
“Baiklah. Kalau gitu kita pulang sekarang.” Axel berjalan di belakang dua lelaki beda usia itu dengan terus menatap punggung kecil Angkasa dengan perasaan yang sudah tidak begitu sakit seperti penolakan sebelumnya. Dia hanya mengatakan di dalam hati jika hanya perlu bekerja lebih keras lagi. Saat masuk ke dalam apartemen dan hanya dirinya dengan beberapa mainan yang terlihat di box, Axel hanya bisa mendesah lelah. Mendapatkan hati Angkasa seperti mendapatkan tender besar yang sulit ditaklukkan. Itulah yang dirasakan Axel selama ini. Di tempat lain, Permata yang tengah membaca chat dari Denial yang menceritakan tentang ini dan itu. Tentang perkembangan ‘hubungan’ Axel dan Angkasa. Denial memang akan selalu melaporkan kepada Permata tentang ayah dan anak tersebut. “Sebenarnya aku kasihan dengan Axel.” Almeda membuka obrolan setelah meletakkan tabnya di atas meja. Menatap Permata yang ada di sampingnya dengan tatapan serius. “Dia benar-benar berusaha keras untuk menarik perhatian Ang
“Tapi memberikan keluarga lengkap kepada anak adalah kewajiban kita sebagai orang tua.” Ayah Axel akhirnya bersuara. “Kamu memang melihat dia bahagia dengan hanya adanya kamu dan orang yang sudah menemaninya dia sejak kecil. Tapi dia tetaplah anak-anak. Dia membutuhkan keutuhan orang tuanya dalam hidupnya.” Permata tampak tidak bereaksi dan hanya memberikan tatapan santai miliknya. Apa yang dikatakan oleh ayah Axel memang benar. Angkasa memang sekarang bahagia, karena dia masih terlalu kecil untuk mengerti tentang banyak hal. Ada sosok Denial yang sudah seperti ayahnya sendiri, tapi sekali lagi. Lelaki itu hanya laki-laki pengganti. “Berlian. Bukankah kamu sekarang hanya akan mengorbankan Angkasa untuk kepentingan hatimu sendiri? Itu nggak adil buat anak sekecil Angkasa.” “Angkasa sekarang belum mengerti tentang masa lalu yang pernah terjadi antara saya dan bapaknya. Jika dia pada akhirnya mengerti, bagaimana reaksinya? Lalu, dia akan menyalahkan saya karena sudah kembali dengan or
“Terima kasih, Mami.” Angkasa tersenyum cerah. “Om, ayo kita pulang ke rumah Angkasa.” “Mobil Angkasa tidak muat kalau Papa ikut ke sana. Papa akan naik mobil papa saja.” “Kalau begitu, Angkasa ikut.” “Tentu saja.”Dan bertepatan dengan itu, mobil hitam mengkilat milik Axel datang dengan Alvan yang membawanya. Dia segera keluar dari mobil dan menyambut bosnya dengan suka cita. “Bapak akhirnya kembali. Saya lega sekali.” Begitu kata Alvan. Kini tatapannya beralih pada bocah kecil yang sejak tadi menggandeng tangan Axel. “Hai, Boy.” “Hai, Om. Om juga boleh ke rumah Angkasa.” Alvan bingung dengan ucapan Angkasa. Lelaki itu menatap ke arah Axel meminta penjelasan. Tapi sekali lagi, bukan Axel yang menentukan boleh atau tidak dia mengajak Alvan. Dengan Angkasa yang meminta orang-orang itu datang, itu hanya akan membuat Permata sibuk. Tapi apa mau dikata, sifat baik Angkasa harus diapresiasi. Maka mau tak mau, Permata yang pengambil keputusan akhirnya harus bersuara.“Angkasa mengunda
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C