Ruangan rapat itu mendadak hening karena untuk pertama kalinya Denial menumpahkan rasa kesalnya. Tidak ada pelototan. Tapi matanya menunjukkan semuanya. Tatapannya begitu tajam sehingga mampu membuat mengusik ketenangan semua orang. Dia memerhatikan satu per satu orang-orang di sana memberikan penilaian yang begitu mendalam. Dia menganggap di kantor pusat adalah gudangnya orang-orang yang profesional, karena dia melihat memang seperti itulah saat dia mendatangi kantor-kantor showroom, nyatanya, justru di kantor pusat lah dia melihat ada yang tidak beres. “Rapat kali ini selesai.” Denial mengakhiri, kemudian keluar dari ruangan rapat. Membuat orang-orang yang ada di sana mendesah kesal. “Sepertinya dia sudah mulai menunjukkan sifat aslinya.” Satu orang berkacamata bersuara. “Dia nggak seperti CEO kita yang dulu yang memberikan kita kebebasan. Aku pikir, kita nggak boleh diam saja. Meskipun dia pemilik, dia adalah orang baru di sini. Apa kita boleh diperlakukan seperti ini?” Teman-te
Denial mendongak dengan mata memerah. Lelaki itu menatap Permata dengan dalam sebelum lelehan air mata itu membanjiri wajahnya. Kepalanya mengangguk cepat dan berkali-kali. “Dia hebat. Dia kuat dan akan segera sembuh. Angkasa pasti sembuh.” Denial tidak pernah selemah ini. Dia tak pernah menangis karena sesuatu. Tapi sekarang, dia tanpa sungkan mengeluarkan semua air matanya. Permata maju untuk memeluk Denial dan mereka melebur pada kesedihan yang sama. Kondisi ini sangat tidak masuk akal, tapi memang inilah yang terjadi. Denial bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Acara menangis itu selesai setelah mereka bisa mengunjungi Angkasa ke dalam ruangan. Beberapa alat sudah dipasangkan di beberapa titik di dadanya dan hal itu membuat Denial merasa ingin mati detik itu juga. Angkasa masih terlalu muda. Dia baru sepuluh tahun dan tak seharusnya mendapatkan penyakit mematikan itu. “Uncle!” Angkasa tersenyum lemah ketika mengatakan nama Denial. Tangannya yang bebas terangk
Mengesampingkan segala hal yang terjadi, sekarang Denial juga akan membantu Almeda menyingkirkan lelaki tak tahu diri bernama Radit. Hitung-hitung, untuk membalaskan kerugian yang pernah Crystal rasakan akibat perbuatan lelaki itu beberapa bulan yang lalu. Bagaimana caranya, itu urusan nanti. Tapi tentu, ini sudah waktunya menghadapi Radit dari mata ke mata. Tentu, dia tidak akan mengatakan kepada Bu Cintya tentang masalah itu atau perempuan itu akan murka. Biarlah menjadi rahasia antara mereka saja. “Mas kalau mau berhadapan dengan Radit, tolong hati-hati.” Hampir pukul tiga pagi saat Denial pergi dari rumah sakit. Mereka tidak ke rumah melainkan ke apartemen milik Crystal. “Kamu khawatir tentang apa?” tanya Denial, “aku akan terluka?” “Radit itu orangnya nekad. Jadi dia bisa melakukan apa pun dan menghalalkan segala cara untuk menang. Aku nggak mau Mas mendapatkan masalah.” Terlihat jelas kekhawatiran Crystal dan tidak sungkan ditumpahkan kepada Denial. Dia hanya tidak ingin s
Tatapan mengintimidasi yang dimiliki oleh Denial tak akan pernah mengejutkan Sandra. Sejak mereka dulu bersama, begitulah sikap Denial. Mungkin sudah bawaan dari bayi sikap Denial yang dingin dan tak acuh, atau bisa jadi karena kehidupannya yang sulit di masa lalu yang pernah dilaluinya. “Ada banyak hal yang sebenarnya aku ingin tahu, Den.” Tidak ada panggilan formal yang diberikan oleh Sandra untuk Denial. Karena dia tengah membicarakan tentang masalah pribadi. “Sejak kapan kamu bertemu dengan orang tua kamu? Apa kamu pulang kembali ke Indonesia karena mereka?” Sandra jelas tahu tentang kehidupan Denial di masa lalu. Juga tentang orang tuanya yang tidak pernah Denial tahu keberadaannya. Lelaki itu yang dulu dibesarkan di panti asuhan lalu keluar dari tempat itu setelah merasa bisa hidup sendiri. Sandra tahu semuanya karena Denial pernah menjelaskan kepada Sandra. Denial bukan tanpa alasan mengatakan itu kepada perempuan itu karena dia merasa, Sandralah yang akan menjadi teman hidup
“Tidak menyangka kalau kamu sebenarnya adalah putra ayahku. Dan juga, pewaris Diratama group. Sangat mengesankan.” Baru saja Radit masuk ke dalam ruangan besar Denial, duduk di sofa, mengarahkan tatapannya ke segala penjuru ruangan, lalu keluarlah komentar itu. “Aku kira, kamu akan menjadi lelaki menyedihkan seumur hidupmu.” Kalimat itu sangat menyebalkan ketika didengar. Tapi Denial sudah terlatih untuk mendengarkan hal-hal seperti itu sehingga dia menanggapi dengan santai. “Mau minum apa?” Bahkan dengan ringan Denial menawarkan minuman kepada lelaki itu. Seolah sindiran yang dilontarkan oleh Radit sama sekali tak memengaruhinya. “Aku datang ke sini bukan untuk minum. Aku akan mengatakan sesuatu yang penting.” “Tentang apa?” “Saham.” Denial masih terlihat santai menanggapi. Untuk membahas tentang hal itu saja Radit bahkan rela pergi ke kantor Denial. Tapi, mari dengarkan dulu apa yang sebenarnya ingin Radit katakan kepada Denial. “Kamu berpikir kamu berhak atas saham itu sehi
Senyum Crystal menular pada sang suami sehingga Denial pun tampak ikut tersenyum. “Udah berani menghadapi mantan, itu poin plusnya,” kelakar Denial. “Tapi aku kan tetap berani sama dia sebenarnya. Takut kan wajar. Aku bukan Mas yang punya tatapan mata tajam.” Kelebihan Denial tentulah satu itu. Hanya dengan tatapannya saja sudah membuat ketar-ketir. Namun Denial tidak menolak ‘pujian’ itu dan justru mengajukan pertanyaan lagi. “Kok kamu datang? Udah selesai kerjanya? Naik apa ke sini?” Mereka saja tadi kesiangan. Dan Crystal pun tak membawa mobil sendiri. Ada sedikit kekhawatiran yang ditunjukkan oleh Denial pada akhirnya. Seolah jika bukan kendaraan pribadi, ada hal-hal buruk yang terjadi. “Aku naik taksi ke sini. Mas nggak perlu khawatir. Dan juga, Mas tadi nggak ada ketinggalan apa-apa ‘kan? Misalnya ada meeting yang terlewatkan?” “Ada meeting dadakan saja tadi. Dengan Sandra.” Seketika, perubahan ekspresi Crystal pun terlihat. Sedikit terkejut sebelum dia mengangguk. “Oh,” d
“Kamu mendapatkan saham dari lelaki itu, Denial?” Tidak tahu siapa yang membocorkan tentang masalah tersebut, tapi tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulut ibunya di suatu pagi. Denial tidak menghitung jarak hari ketika kedatangan Radit sampai pertanyaan itu datang kepadanya dari Bu Cintya. Tapi dia berusaha menyembunyikan pun nyatanya ibunya tahu. Entah apa yang tidak ibunya ketahui apabila itu menyangkut dirinya. “Iya.” Denial sama sekali tak berkelit dan memilih jujur. Percuma berbohong. Toh ibunya sudah mengetahuinya. “Mama tahu dari mana tentang masalah itu?” Dia juga penasaran dan dia juga butuh jawaban. “Apa yang tidak Mama tahu?” Bu Cintya mengedikkan bahunya tak acuh seolah tidak peduli. “Tapi, Mama bangga sama kamu. Kamu memberikan benda itu kepada orang lain. Mama hanya nggak mau kamu terbebani dengan saham tak seberapa itu.”Dua puluh persen saham bukan sedikit. Jika itu diuangkan, maka tentu saja mencapai milyaran. Tapi seolah tidak terganggu dengan nominal, Bu
Denial termenung di dalam ruangannya. Dia memutar ulang percakapan yang beberapa waktu lalu sudah berlalu. Dirinya dan Sandra dulu jelas pasangan yang bahagia. Pertama kali dia meminta Sandra untuk melanjutkan hubungan mereka dengan serius, Sandra langsung menerimanya. Tapi sayang, orang tua Sandra lain di mulut lain di hati. Yang dikatakan di depan Sandra akan berubah ketika di depan Denial. Denial kira, setelah lama hubungan itu terjalin, dia akan mampu mengubah pandangan orang tua Sandra. Tapi nyatanya dia justru diminta untuk mundur. Ada sisa pedih yang dirasakan oleh Denial saat dia berpikir sekarang. Tapi sekali lagi, masa lalu tetaplah akan menjadi masa lalu meskipun Sandra mengaku dia sudah tahu semuanya. Kini dia hanya punya istri bernama Crsytal yang dicintainya. “Apa aku mengganggu?” Tiba-tiba saja, pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok Crystal yang tengah berada di dalam pikirannya.Memaksakan senyum, Denial menggeleng. Memberikan isyarat agar Crystal bisa mendekat
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C