“Orang yang pernah saya selamatkan?” Denial mengulangi. “Itu sulit untuk dicerna. Beberapa waktu lalu, Bu Kasih sempat mengatakan kalau ada seorang perempuan yang mencari saya. Saya juga ingat kalau perempuan itu pernah saya tolong. Tapi bagaimana bisa dia mengenal Ibu.”“Aku mendengar kamu menyebut nama kamu kepada orang tersebut. Dan secara kebetulan, aku mendengarnya sekilas. Tentu saja, aku segera memastikan jika aku mendengar dengan benar. Setelah sudah pasti, aku mengajaknya untuk datang ke panti asuhan. Sayangnya kamu sudah pergi saat itu. Ke mana, Denial? Ke mana kamu pergi? Kenapa kamu harus pergi? Kamu masih lima belas tahun saat itu. Kamu baru lulus SMP. Kenapa harus keluar panti?” Kini, bu Cintya sama sekali tidak peduli kalau wajahnya penuh dengan air mata. Percuma dia terus mengusapnya tapi ternyata bulir bening itu terus terjun. Tentu saja itu berbeda dengan Denial yang sama sekali tidak mengeluarkan air matanya. Namun jangan tanyakan bagaimana perasaannya. Sama sakitn
Denial lupa apakah dia pernah berpikir bertemu dengan orang tuanya atau tidak di masa lalu. Terlebih lagi dimasakkan, lalu dibawakan bekal makan siang oleh seorang ibu. Dulu dia hanya tersenyum saat melihat Permata melakukan itu untuk Angkasa. Sekarang, bak seorang anak yang masih menggantungkan hidupnya dengan ibunya, dia bahkan mendapatkan perlakuan sama seperti Angkasa.Denial sungguh tidak bisa berkata-kata. Untuk pertama kalinya dia melihat masakan yang dimasak langsung oleh sang ibu. Hanya dari aromanya saja dia bisa merasakan masakan itu sepertinya enak.“Makan ya. Mama juga buatkan kamu air lemon juga buat menambah stamina.”Perempuan itu lantas duduk tepat di depan Denial dan menunggu pergerakan putranya. Namun, dia kembali bertanya, “Apa kamu setiap hari seperti ini, Denial? Sendirian?”Denial mendongak dan menatap lurus pada bu Cintya. Kemudian kepalanya mengangguk. “Saya memang sendirian setelah mereka menikah dan tinggal bersama dengan suaminya.”“Mereka?” Benar, bu Cint
“Bagaimana perkembangannya, Denial?” Hari ini Denial dan om Rudy melakukan pertemuan untuk tahu sudah sejauh mana pencarian keluarga lelaki paruh baya tersebut. Om Rudy tentu berharap terlalu besar kepada Denial. “Maaf, Pak. Tapi kami benar-benar belum bisa menemukan putra dan istri Bapak. Kalau pencariannya terlalu sulit seperti ini, saya tidak yakin kalau mereka masih ada di Indonesia.” Bahkan Denial pun dulu sulit ditemukan oleh bu Cintya. Terlebih lagi ketika dia sudah ‘melarikan diri’ ke luar negeri, tentu saja orang yang mencarinya akan kesulitan mendapatkannya. Denial bisa melihat bagaimana kecewanya om Rudy saat dia mengatakan itu. Tapi memang begitulah faktanya. Sekali kehilangan orang yang dicintainya, seolah begitu sulit untuk mendapatkannya kembali. “Radit masih belum menemui Bapak?” Om Rudy menggeleng. “Dia tidak pulang sama sekali. Untungnya dia tak membuat masalah pada perusahaan.” Kalau sampai itu terjadi, maka om Rudy hanya akan merasa tertekan. “Dia membutuhkan
“Tidak, tentu saja aku tidak ingin kehilangan Crystal,” jawabnya pada dirinya sendiri. “Crystal adalah hidupnya sekarang.” Denial pergi dari apartemen itu kembali ke rumahnya. Sudah malam dan dia memberikan waktu kepada Crystal untuk beristirahat. Namun baru saja dia akan masuk ke dalam rumah, sebuah panggilan telepon dari Gema terdengar. Lelaki itu mengatakan jika dia dalam perjalanan pergi ke rumah sakit. Almeda akan melahirkan. Tanpa berpikir, Denial segera kembali ke mobil dan memacu mobilnya dengan cepat sampai ke rumah sakit. Di depan ruang persalinan, orang tua Gema dan juga om Rudy ada di sana. Ini tentu sangat mengejutkan buat Denial karena om Rudy ikut serta menunggu Almeda melahirkan. “Tante, bagaimana Almeda?” Denial bertanya pada ibu Gema. “Prosesnya sepertinya cepat, Den. Doakan saja semuanya lancar ya.” “Pasti, Tante.” Denial menarik napasnya panjang setelah itu dan hanya diam. Duduk tepat di samping om Rudy dan mereka berempat benar-benar tampak gugup. Terutama i
Crystal tidak sabar ketika berjalan mendahului Denial. Sesekali perempuan itu menoleh ke belakang dan meminta agar kekasihnya itu cepat menyusulnya. Namun Denial hanya tersenyum kecil melihat tingkah Crystal yang baginya menggemaskan. Entah kenapa dengan dia melihat gadis itu dengan segala tingkahnya, membuat Denial merasa dirinya sangat jahat jika menyia-nyiakannya.Bukankah benar kata ibunya, menunda sesuatu untuk menepati janji yang tak seharusnya, itu tidak benar. Denial menggeleng dan menyingkirkan dulu urusan tersebut. Dia bisa membicarakan masalah itu nanti saja. “Mas, ini benar kamarnya ‘kan?” Barulah setelah sampai di depan kamar rawat Almeda, Crystal menunggu Denial. “Iya, benar.” Denial membuka pintu dan seketika suara orang-orang yang ada di dalam sana terdengar. Keluarga Permata juga berada di sana. Om Rudy pun sama. Kedatangan Denial dan juga Crystal pun menambah ramai ruangan VVIP yang ditempati oleh Almeda. Moza tidak dibawa namun Angkasa dengan wajahnya yang sumrin
Denial hanya mengangguk dan tidak begitu memerhatikan ibunya. Dia dengan santai makan potongan buah yang ada di depannya. Karena mood Denial sepertinya sedang sangat baik, maka perempuan itu bertanya tentang om Rudy. “Tapi, Den. Kenapa pemilik JS itu kehilangan anak dan istrinya? Tentu saja ada alasannya ‘kan?” Denial mengangguk sambil menyuapkan kiwi ke dalam mulutnya. “Pak Rudy dulu pernah mengambil keputusan yang salah dalam rumah tangganya. Hal itu kenapa istrinya membawa anak mereka untuk pergi meninggalkan Pak Rudy.” Denial menghabiskan potongan buah tersebut sebelum mendesah panjang dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Seandainya nama Mama dan istri pak Rudy sama, mungkin aku bisa mengambil kesimpulan kalau kita adalah orang yang sama dengan orang yang dicari. Sayangnya, itu nggak mungkin. Karena dari segi nama saja sudah berbeda.”Kata-kata itu membuat bu Cintya menahan ekspresi wajahnya agar tidak terkejut. Menutup kegugupannya dengan ketenangan yang dimiliki,
Radit tentu saja merasa direndahkan oleh Crystal dengan kata-katanya. Bagaimana mungkin perempuan itu berani melakukannya? Dia adalah Radit, seorang pengusaha hebat yang seharusnya dihormati. Tapi belum dia bersuara, Crystal kembali berbicara. “Aku berharap, kita tidak perlu bertemu lagi. Aku sudah muak denganmu. Hidupku sudah sangat baik setelah keberadaan Denial di sampingku. Aku nggak membutuhkan keberadaanku hanya untuk mengusik hidupku. Aku nggak akan melanjutkan masalah ini, anggap saja pertemuan ini tidak pernah terjadi.” Crystal berdiri dari kursinya mengambil, kemudian menggenggam ponselnya. Menatap sengit pada Radit sebelum dia pergi dari sana. Sayangnya, Radit benar-benar tidak melepaskan Crystal begitu saja. Dia mengejar Crystal keluar dan menarik tangan gadis itu dengan kuat. “Kamu pikir kamu siapa bisa memperlakukan aku begini?” tatapan Radit melotot penuh amarah. Genggamannya mengerat kuat. Crystal terkejut luar biasa. “Kalaupun harus berpisah, seharusnya itu melalui
Crystal ikut mendesah pasrah. Untung saja Denial datang tepat waktu. Dia tak tahu kalau tidak ada Denial tadi, sedangkan orang-orang yang melihat pertengkarannya dengan Radit pun sama sekali tidak ada yang berani mendekat untuk melerai. “Terima kasih.” Hanya itu yang bisa Crystal ucapkan kepada Denial. “Lain kali, kamu jangan temui dia lagi.” “Aku pikir, dia nggak akan muncul di depanku lagi.” Tatapan keduanya bertemu. Denial bisa melihat bagaimana Crystal tampak tidak nyaman saat membahas tentang masalah itu. Maka Denial pun tidak memperpanjang. Yang terpenting adalah Crystal sekarang merasa nyaman kembali dengan Denial ada di sampingnya. Setelah selesai mengoleskan salep di tangan Crystal, Denial menenggak minumannya kemudian memejamkan matanya. Crystal beranjak mengambil buku sketsa miliknya kemudian menunjukkan kepada Denial.“Mas lihat, mana yang lebih bagus gaun-gaun ini?” Denial membuka matanya kembali dan melihat pada buku yang dipegang oleh Crystal. Dia melihat ada empat
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C