“Aku pernah membuat kesalahan besar dalam hidupku dan mengacaukan semuanya.” Om Rudy mengawali cerita. “Aku pernah menabrak seorang calon pengantin sampai meninggal.” Denial tidak bisa lagi menyembunyikan ekspresi wajahnya yang kelam saat mendengar pernyataan om Rudy kepadanya. Cerita yang diungkapkan benar-benar sama dengan cerita yang Marta ungkapkan saat itu. “Karena rasa bersalahku yang begitu tinggi, aku memaksa calon istri korban untuk aku nikahi. Aku pikir dengan melakukan itu aku setidaknya bisa bertanggung jawab. Sayangnya aku justru kehilangan banyak hal.” Ekspresi yang ditunjukkan oleh om Rudy adalah rasa kesakitan yang Denial pun bisa merasakan kesakitan itu. Kehilangan banyak hal, apa itu berarti dia juga kehilangan istri pertamanya yang saat itu juga tengah mengandung? Denial sungguh merasa perlu menahan dirinya agar tidak meminta om Rudy untuk segera menyelesaikan ceritanya. “Jadi Almeda benar-benar putri Bapak?” Denil tak sabar bertanya. “Kalau Marta ingin membumi
Om Rudy tidak bisa menjawab. Denial sungguh seperti menampar lelaki itu tepat di wajahnya. Ucapannya tak main-main saat menyentil hati seseorang. Om Rudy pastilah merasakan bagaimana sakitnya perasaan Denial sampai dia tumbuh menjadi lelaki dingin seperti tak berperasaan. “Terkadang ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah sehingga harus mengambil keputusan yang sulit. Mungkin itu juga yang dilakukan oleh orang tuamu.” Denial menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Permata dulu juga mengandung dengan keadaan yang begitu sulit. Tapi perempuan itu tahu kalau anak adalah sebuah anugerah yang diberikan kepadanya, jadi dia menjaganya dengan baik. “Itu bukan alasan,” tolak Denial dengan hasil pemikiran om Rudy. “Bilang saja kalau malas mengurus.” Tepat Denial selesai berbicara, Almeda datang. Sedikit terkejut saat melihat seseorang yang dulu pernah dia lihat saat di rumah sakit. Denial tadi tidak mengatakan tentang om Rudy saat meminta Almeda datang. “Kamu sendiri? Udah b
“Apa kamu bilang?” Gema tentu terkejut mendengar penuturan Denial. Lelaki itu lantas segera duduk di samping Almeda yang sudah lebih dulu berada di sofa. Almeda tampak terdiam dengan tatapan kosong. Sejak tadi dia hanya bungkam seribu bahasa tanpa mengeluarkan segala pikiran yang ada di dalam kepalanya. “Yang, kamu oke?” tanya Gema setelah itu. “Kamu bisa bilang sama aku apa yang kamu rasakan sekarang.” Masih tidak ada tanggapan. Tapi kepalanya segera bersandar pada pundak Gema. Menutup matanya dengan dia mengatakan secara non verbal kepada dua orang itu jika dia membutuhkan ketenangan. Denial paham dan dia memutuskan untuk pamit. “Kalau lo butuh sesuatu untuk dikatakan, lo bilang aja sama gue. Gue yang akan kasih tahu.” Dan hanya mendapatkan anggukan kecil dari Gema. Hari ini juga terasa sangat panjang buat Denial. Mendengar cerita dari om Rudy menjadikannya mengerti tentang bagaimana orang-orang itu salah mengambil keputusan yang berakhir melukai banyak orang. Ada di sisi hatin
Crystal membuka matanya tak lama setelah itu. Mengumpulkan nyawanya yang tercecer di alam mimpi. Kedipan matanya pelan dan tampak sedikit terkejut saat menatap Denial di depannya. Merasa malu, dia malan menyembunyikan wajahnya di dada Denial. Dan mau tak mau membuat Denial terkekeh geli. “Ayo bangun. Aku mau mandi. Udah pagi.” “Aku malu,” kata Crystal yang suaranya teredam oleh dada Denial. “Malunya dilanjutkan nanti saja. Ibadah-ibadah.”Barulah Crystal melepaskan pelukannya. Denial beranjak dari kasur setelah mengecup kepala Crystal dengan penuh sayang. Tersenyum kecil saat gadis itu menutup wajahnya dengan selimut. “Aku tidur nyenyak semalam. Sepertinya, aku akan tidur lagi di sini nanti malam.” “Aa … Mas. Malu!” Derai tawa Denial terdengar dan itu membuat Crystal merasa ingin menenggelamkan dirinya di dasar bumi. Namun meskipun begitu, dia benar-benar bahagia. Entah bagaimana, semalam benar-benar tidur yang berkualitas baginya. Benar kata Denial, sepertinya memang mereka har
Entah itu adalah sebuah hormon kehamilannya, atau karena terbawa suasana. Tapi Almeda benar-benar merasa membeku di tempatnya saat pertanyaan itu diajukan kepadanya. Kakek. Dia tidak pernah berpikir ada seorang lelaki yang mana adalah ayah kandungnya untuk dipanggil kakek oleh anaknya nanti. Dia hanya pernah berpikir jika itu adalah ayah Gema dan ayah Axel yang akan mendapatkan panggilan tersebut karena memang merekalah yang ada dalam kehidupannya sekarang. “Dokter sudah memanggil kita.” Gema datang dan pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban. Om Rudy hanya tersenyum tampak kecewa karena pertanyaannya pasti hanya akan terabaikan begitu saja. Almeda berada di dalam pelukan Gema menuju sebuah ruangan. Om Rudy ikut beranjak dan masuk ke dalam ruangan yang sama. Beberapa proses dilakukan dengan cepat dan mereka hanya akan perlu menunggu dua puluh empat jam untuk mendapatkan hasilnya. Semua biaya bahkan Gema yang membayarnya meskipun om Rudy berharap dia yang menanggungnya. Setelah s
Om Rudy pulang ke rumahnya dengan raut wajah yang tampak bahagia. Dia memang tidak berbicara apa pun dengan Almeda setelah keluar dari rumah sakit. Namun dia mengerti Almeda membutuhkan waktu menerimanya. Dia akan menunggunya sampai Almeda benar-benar mau menerimanya. Kalaupun tidak, dia juga tidak akan memaksanya. “Papa sepertinya dalam mood yang baik.” Radit masuk ke dalam rumah dan segera melihat ayahnya yang tampak sumringah. Tidak seperti biasanya. “Oh, kamu sudah pulang.” Om Rudy tersenyum menatap Radit. “Ayo kita makan bersama malam ini. Papa akan istirahat dulu.” Om Rudy kali ini benar-benar seperti orang lain bagi Radit. Biasanya, lelaki itu tak pernah senyum secerah itu. Tapi sekarang justru sebaliknya. Radit ingin mengabaikan sikap aneh ayahnya, tapi entah kenapa dia merasa terdorong untuk bertanya kepada orang kepercayaan sang ayah apa yang terjadi. Dia tentu merasa penasaran. “Bapak memang sedang dalam mood yang baik, Mas.” Begitulah orang itu memberi jawaban kepada R
“Siapa, Bu?” tanya Denial dengan jantung kebat-kebit tak karuan. “Dia mengaku kalau pernah kamu selamatkan saat hampir ketabrak motor.” Denial tersenyum kaku saat mendengar itu. Bayangannya jelas berbeda.Dia pikir orang lain yang … sudahlah, Denial tidak ingin berpikir terlalu jauh. Dia tahu itu tak akan mungkin terjadi. Kembali mengubur rasa kecewanya dan kembali tersenyum seperti biasa. Mencoba mengingat-ingat tentang seorang perempuan yang pernah diselamatkan. Ada bayangan yang tak jelas yang muncul di pikirannya dan menjadikannya mengingat tentang itu. “Oh, aku ingat, Bu.” “Ibu ingat saat itu, orang itu membawakanmu makanan. Dan terlihat kecewa saat kamu sudah pergi.” Denial tidak menanggapi lagi. Memilih menatap bunga-bunga yang tertanam rapi di pinggir dinding panti. Bayangannya berkelana di masa lalu. Tempat itu adalah rumah baginya. Dia dididik dan dibesarkan di tempat itu dengan suka dan duka. Sekarang, entah ke mana teman-teman seperjuangannya dulu. Denial tidak ingin m
“Memang masalah yang Mas bilang sudah terselesaikan?” tanya Crystal pada akhirnya. Gadis itu menghindari tatapan Denial yang seolah menusuknya. “Selama kita hidup, kita nggak akan pernah jauh dari yang namanya masalah. Kalau nunggu masalah selesai sepenuhnya, harus mati dulu.” “Sembarangan.” Crystal cemberut kesal. Namun pada akhirnya dia pun kembali bertanya. “Mas tapi katanya mau beli rumah dulu. Sedangkan uangnya dipakai aku. Kita tinggal di apartemen aku aja ya.” “Tinggal di mana aja juga boleh. Aku nanti akan bilang sama Permata dan Almeda tentang masalah rumahnya.” Pembicaraan itu cukup sampai di sana. Crystal tentu bersedia menikah dengan Denial secara sukarela. Dia sudah benar-benar jatuh cinta dan ingin menghabiskan hidupnya bersama dengan lelaki itu. Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Tidak ada lagi drama yang tidak perlu. Denial setiap malam menginap di rumah Crystal hanya untuk bisa tidur. Lambat laun, dia sudah bisa hidup normal seperti orang-orang kebanya
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C