Denial membuka matanya saat malam semakin larut. Crystal ada di pelukannya dan sudah tenggelam dalam mimpi indah. Denial tahu dia melakukan kesalahan besar dengan tidur di kamar kekasihnya tanpa ikatan pernikahan. Tapi percayalah, mereka tidak pernah melakukan sesuatu di luar batas. Mereka benar-benar hanya tidur. Karena itulah yang mereka butuhkan sekarang. Denial bangun dan melepaskan tangan Crystal yang membelit perutnya dengan erat. Keluar kamar, lalu berdiri di balkon sambil mengeluarkan rokok dalam bungkusnya. Sesekali, jika pikirannya terlalu kalut, dia akan menggunakan rokok sebagai pelarian. Angin malam menerbangkan rambut-rambutnya yang sudah acak-acakan. Tatapan Denial mengarah pada langit gelap yang ada di depannya. Pikirannya menerawang jauh ke depan sana. Setelah percakapan yang terjadi beberapa jam yang lalu, dia menjadi berpikir tentang apakah harus dia mencari tahu tentang masa lalu yang sudah di kuburnya? Satu sisi hatinya menolak, tapi satu sisinya lagi menerima.
Mendengar ucapan Radit, lelaki kepercayaan om Rudy itu tidak menanggapi. Sudah tahu tabiat Radit yang seperti itu membuatnya hanya perlu melihat dari jauh. Dia pun segera melaporkan tentang obrolannya bersama dengan Radit kepada bosnya. Dan om Rudy sepertinya juga tahu apa yang akan dilakukan oleh putranya tersebut.“Biarkan saja dia melakukan apa pun yang dia inginkan. Tapi kamu juga harus memastikan dia tidak berbuat sesuatu yang membahayakan Almeda.” Begitulah tanggap om Rudy yang hanya dijawab anggukan oleh lelaki itu. Om Rudy sudah menelantarkan Almeda sejak kecil dan membuat putrinya menderita. Jadi, meskipun Almeda barangkali tidak akan menerima om Rudy, tetap saja dia harus melindunginya. Sudah cukup hanya Marta yang pernah mencelakai Almeda sampai hampir mati. Ada banyak hal baik yang ingin om Rudy lakukan untuk Almeda untuk sedikitnya bisa menebus rasa sakit yang dulu pernah Almeda rasakan. Tentu saja semua itu tak akan pernah cukup. Tapi setidaknya dia ingin melakukannya.
“Mas.” Crystal menggenggam tangan Denial yang gemetar dengan surat tersebut masih dipegang erat. Kekhawatiran Crystal semakin menjadi ketika air mata mengalir dari netra sang kekasih. Bu Kasih bahkan ikut menangis karena itu. Lalu beliau berlalu begitu saja dari sana dengan mengusap air matanya. Hal-hal semacam ini sebenarnya sering sekali terjadi. Dan ini bukan pertama kalinya beliau menyerahkan atribut yang digunakan saat anak-anak asuhnya ketika pertama kali ditemukan di depan panti asuhan. “Semua akan baik-baik saja. Mas bisa mengeluarkan semua tangis Mas di depanku.” Denial pasti tidak pernah berpikir dia akan kembali menangis di depan Crystal setelah kejadian beberapa minggu yang lalu di mana dia baru saja mengunjungi panti asuhan ini. Ternyata saat dia melihat pakaian kecil dan juga membaca surat yang ditinggalkan, dia tak bisa membendung luapan emosi yang ada di dalam hatinya. “Maaf sudah membuatmu khawatir.” Denial akhirnya bisa menahan dirinya agar tidak terlarut dalam
Pertemuan dengan bu Cintya berakhir. Beliau seolah menyadari jika Crystal tidak akan berkonsentrasi bekerja, oleh karena itu dia memilih menjadwal ulang pertemuan mereka. Crystal benar-benar bersyukur karena bu Cintya begitu baik kepadanya. Maka sekarang dia pun bisa menemani Denial di rumahnya. “Bapak nggak keluar dari tadi, Bu.” Bibi memberitahukan kepada Crystal saat Crystal sudah ada di rumah Denial. Sejak Denial masuk ke kamarnya siang tadi, tidak sekalipun dia keluar. Bahkan kini siang sudah digantikan malam. “Jadi dia juga nggak makan dong, Bi?” “Nggak, Bu. Saya tadi sudah ketuk pintu kamarnya tapi nggak ada sahutan. Jadi saya biarkan dulu nunggu Ibu datang.” Crystal sudah membawa makan malam, lalu dia meminta bibi untuk menyiapkan selagi dia memanggil Denial. Namun benar, bahkan Denial benar-benar tidak menyahut saat Crystal memanggilnya. Ketukan pintu dan panggilan Crystal tak berhenti dan sungguh nihil. Lalu, Crystal mencoba membuka pintu kamar lelaki itu yang ternyata
“Saya masih butuh waktu memikirkan tentang ‘hubungan’ yang terjadi tiba-tiba ini.” Ini baru satu bulan. Mungkin akan lebih banyak waktu untuk Almeda bisa menerima perubahan ini. Meskipun om Rudy sudah menjelaskan dengan amat jelas tentang kelalaiannya di masa lalu sampai tidak pernah sekalipun menjenguk Almeda saat kecil, semua masih menyakitkan untuk Almeda.Untuk mempertahankan istri yang dicintainya, seharusnya dia bisa tetap mengurus Almeda kala itu. Dibandingkan mengasuh keponakannya, bukankah lebih baik dia mengasuh putrinya sendiri. Almeda menyuarakan pikiran itu. Tapi om Rudy segera menjelaskan.“Di dalam pikiran saya saat itu, jika saya memilih mengasuh kamu, saya takut istri saya tiba-tiba datang dan menjadi salah paham. Saya takut itu semakin menyakiti hatinya. Karena itu saya memilih membesarkan Radit. Dia dulu bisa menjadi pelipur lara bagi saya.” Sesungguhnya Almeda semakin muak dengan pikiran jika dirinya dari dulu memang tidak pernah diinginkan. Tapi semua itu sudah
“Maaf kalau ini mengejutkan buat Bapak. Tapi itulah yang terjadi sebenarnya.” Almeda kembali bersuara dengan lembut namun tegas. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Radit masih tampak kaku dan termenung. Namun kepalan tangannya tidak terurai. Dia bahkan belum berhasil mendapatkan informasi dari orang-orang kepercayaannya tentan putri kandung ayahnya, tapi Almeda justru mengatakan dengan ‘lantang’ di depannya menyatakan jika dia adalah orang dicari Radi. “Saya tidak menyangka ini akan terjadi.” Radit akhirnya bersuara. Terkekeh kaku dengan keberanian yang ditunjukkan oleh Almeda. Belum jelas apa maksud dari perempuan itu melakukan semua ini, tapi tentu ini bukan sesuatu yang sederhana. “Jujur saja, selama ini saya tidak pernah berpikir masih ada kerabat di dunia ini. Yang masih memiliki ikatan darah dengan saya.” Ada nada getir yang terdengar di dalam suara Almeda. “Tapi, saya juga tak lantas bisa menerima keberadaan Pak Rudy yang memang adalah ayah kandung saya. Tidak mudah mengobati lu
Bu Cintya merasa bodoh karena dia tak sekalipun tahu nama lelaki itu. Crystal pun tidak pernah menyebutkan nama kekasihnya. Gadis itu hanya memanggil ‘mas’ yang terlalu singkat. Rasa penasaran itu terasa melambung di dalam hatinya. Dia ingin segera mengetahui sesuatu, tapi seharusnya dia memiliki alasan yang lebih baik untuk itu. Tapi apa? Apa yang harus dia katakan untuk bertanya. Akan semakin aneh kalau tiba-tiba saja dia bertanya tentang kekasih Crystal itu kepada kekasihnya langsung. Bagaimana kalau ternyata ada anggapan dia menyukai brondong dan ….Bu Cintya menggelengkan kepalanya untuk menolak segala pikiran aneh yang ada di dalam kepalanya. Akan ada waktunya untuk dia mengetahui semuanya. Tapi entah kenapa, perasaannya mengatakan jika lelaki yang siang ini ditemui adalah orang yang selama ini coba dicarinya. *** “Apa yang coba Papa katakan kepada putri Papa?” Radit tampaknya tidak akan berlama-lama untuk membuat semua menjadi jelas. Dia segera saja bertemu dengan om Rudy d
“Tapi keputusan yang Papa buat ini tidak adil bagi aku.” Radit bersuara dengan nada keras. “Aku yang sudah bekerja keras untuk perusahaan. Kenapa Papa memberikan lebih banyak kepada mereka dari pada aku?” “Di usiamu yang yang ke delapan belas, aku sudah memberikan saham sebesar lima persen kepadamu. Bahkan property yang aku beli atas namamu tidak aku masukkan di sini untuk dikaji ulang. Kamu masih mengatakan semua ini, Dit?” Om Rudy memang benar-benar memanjakan Radit sejak dulu. Delapan belas tahun, lelaki itu bahkan sudah memiliki saham atas namanya sendiri. Tidak banyak memang, tapi tetap saja dia masih memiliki saham tertinggi di antara Almeda dan putra pertama om Radit. Ayah dan anak itu saling menatap sengit satu sama lain. Tidak ada dari mereka yang ingin mengalah lebih dulu. “Anak Papa bahkan belum ditemukan, bagaimana mungkin Papa sudah membagikan saham itu untuknya? Bagaimana kalau ternyata dia sungguh tidak ditemukan?”“Tentu saja itu akan menjadi urusan belakangan. Aku
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C