Yey! Akhirnya part selanjutnya sudah masuk pada cerita Almeda dan Gema. Ya, meskipun ada yang disempil-sempilin tentang kehidupan Axel dan Permata ya. OK! SEMANGAT MEMBACA
“Al, aku serius saat bilang aku suka kamu.” Kalimat itu membuat Almeda sedikit uring-uringan akhir-akhir ini. Bagaimana tidak kalau dia terus mengingat ucapan Gema kepadanya saat dia diantar pulang oleh lelaki itu. Denial sedang ada urusan waktu itu, jadi secara kebetulan Gema lewat dan memberi tumpangan. Mereka berbicara banyak sebelum kata-kata itu meluncur begitu saja membuat obrolan sebelumnya menguap entah ke mana. “Bu Al.” Almeda terhenti ketika disapa oleh beberapa anak didik dari Flame. Dia hampir tersenyum dengan angin saat rombongan yang menyapanya meninggalkan dirinya. Sialan! Gue lagi-lagi ngelamun. Almeda merutuki dirinya sendiri dengan kasar di dalam hati. Dulu saat dirinya dan Gema masih bekerja bersama secara profesional, bahkan tidak ada sedikitpun pikiran untuk menggaet lelaki itu. Dia tidak memiliki mimpi semuluk itu sampai disukai oleh lelaki seperti Gema. Gema adalah pengusaha sukses, bahkan agensinya pun nomor satu di negeri ini. Lalu dia siapa? Dia hanyalah
“Apa?” Almeda terkejut dengan ucapan Gema. Maksudnya apa? Lalu untuk apa dia datang di tengah-tengah keluarga Gema yang dia tidak tahu seperti apa. Mau bunuh diri ceritanya? “Iya, makan malam keluarga. Keluargaku nggak banyak kok. Cuma orang tua dan para tante.” “Sebentar!” Almeda tidak ingin Gema melanjutkan ucapannya. “Alasan apa yang Bapak punya untuk mengajak saya ke sana? Ini terlalu mengada-ada dan tidak masuk akal.” “Mengenalkan kamu sebagai calon istri.” Gema ini positif gila. Itulah yang sedang dipikirkan oleh Almeda sekarang. Lelaki macam apa yang tidak mengerti ‘penolakan’ yang sudah di-kode-kan olehnya selama ini? Dia tidak bisa, atau tidak ingin bersama dengan Gema terlalu intens. Urusan pekerjaan jika ada, okelah dia mau. Tapi bagaimana mungkin hubungan yang biasa-biasanya saja naik begitu cepat sampai menjadi calon istri. “Aku tahu kok, Al. Kamu bukan orang yang akan membuang waktumu untuk bermain-main dengan pacaran. Jadi, aku menawarkan sebuah pernikahan.” Almed
“Saya lupa bagaimana wajah orang tua saya. Atau bahkan, saya tidak mengetahuinya.” Almeda mengeluarkan suaranya tercekat seolah ada batu besar di dalam tenggorokannya. Pertanyaan itu terasa tiba-tiba sampai Almeda merasa tak tahu harus menjawab apa. Tapi, bukankah lebih baik dia memberikan jawabannya dengan jujur ketimbang harus menutupi sesuatu yang tidak seharusnya ditutupi? Lalu bagaimana kalau mereka berpikiran buruk kepadanya? Almeda tidak peduli. Dia tidak ingin hidup dalam kebohongan. Maka dia harus jujur. “Maaf, apa mereka meninggal?” tanya ayah Gema setelah ruangan itu senyap. Membuat Almeda mengerti jika memang inilah tahap yang perlu dilewati jika dia ingin bersama dengan Gema. Bersama? Bahkan dia tak pernah mengatakan kata cinta untuk lelaki itu. Cinta? Perasaannya belum sejauh itu.Lalu kenapa dengan bodohnya kamu mau ikut makan keluarga Gema?Pertanyaan itu muncul di dalam kepalanya. Dan jawabannya cukup sederhana. Dia hanya ingin mencoba. Kalau memang mudah dilalui
“Aku akan mempertimbangkan.” Itulah jawaban yang Almeda berikan untuk Denial sebelum dia naik ke lantai atas masuk ke dalam kamarnya. Mengganti pakaian, menghapus riasan, dan naik ke atas kasur untuk bersiap tidur. Sayangnya, tidak semudah itu. Ucapan Gema, pertanyaan demi pertanyaan orang tua Gema, membuat Almeda memikirkan lagi dan lagi. Lalu berakhir pada kesimpulan yang Denial katakan beberapa waktu lalu tentang perasaannya. Dia memang selalu menutup hati dan ketidaktertarikan akan menjalin hubungan dengan seseorang menjadikan dirinya lalai. Sudah lama hatinya tidak ditumbuhi cinta. Lalu saat ada Gema yang datang dan menyebarkan benih cintanya, Almeda tak tahu apakah dia juga merasakan hal yang sama. Dia membutuhkan waktu untuk mencari jawabannya dan dia berharap akan mendapatkan secepatnya. Gema ternyata tidak putus asa. Lelaki itu keras kepala ingin benar-benar memiliki Almeda untuk dirinya sendiri. Sekuat apa pun Almeda mendorong Gema untuk menjauhinya, nyatanya tak dihirauk
“Sebentar, Kakak ini pacarnya Bang Gema ‘kan?” Gadis itu adalah Kelly. Sepupu Gema. Gadis yang heboh karena Gema membawa Almeda di acara makan malam keluarga waktu itu. Tatapan Kelly tampak menilai dan tajam. Tidak seperti pertemuan saat itu, gadis itu kini seperti tak bersahabat. Mungkin karena melihat Almeda menggandeng tangan Denial dengan mesra dan tampak seperti pasangan kekasih. “Saya abangnya.” Denial pada akhirnya yang menjawab. Melihat Almeda yang diam dan mengeluarkan tatapan setannya, dia tahu ini mungkin tidak akan mudah. Namun tampaknya gadis muda itu tidak peduli dengan jawaban Denial. Karena yang dia butuhkan adalah klarifikasi dari Almeda. Maka ditatapnya lekat perempuan di depannya itu tanpa mengalihkannya sedikitpun. Almeda yang malas meladeni hal-hal seperti ini pada akhirnya harus mengalah. Bagaimanapun dia harus bersikap ‘profesional’ karena kalau dia mengatakan hal yang salah, bukan hanya dia. Tapi Gema akan kena imbasnya. “Benar. Bisa dibilang begitu,” jawab
“Al, tolong maafkan adek aku. Dia hanya takut kalau aku disakiti.” “Tapi dia sudah nyakiti hari orang lain dengan kata-katanya.” Almeda melirik Gema. “Tidak harus menginjak orang lain untuk menyelamatkan miliknya. Itu bukan sifat yang bijak.”“Aku tahu, dia masih labil.” “Dia sudah dua puluh tahun ‘kan?” Almeda menatap Kelly lekat. Menebak usia Kelly. “Dua satu.” Gema menjawab.“Seharusnya dia paham bagaimana memperlakukan orang lain dengan benar.” Almeda berdiri. “Ayo, Den. Kita balik. Aku udah ngantuk.” “Apa karena masalah ini, Kakak akan menjauhi Abang?” Kelly berdiri dan tatapan matanya bertemu dengan tatapan Almeda. “Aku minta maaf, Kak. Aku salah. Apa itu nggak cukup?” “Sepertinya kamu perlu belajar lagi bagaimana meminta maaf dengan tulus.” Almeda melirik Gema. “Saya tadinya sudah mempertimbangkan untuk mulai menerima Bapak. Tapi sepertinya, saya perlu mengurungkannya. Denial sudah memberi saya banyak wejangan agar saya mau mencoba menjalin hubungan dengan seorang Gema. T
Pak Gema : Kamu masih marah sama aku?” Chat itu masuk ke dalam ponsel Almeda saat dia baru saja bersandar di kepala ranjang dan siap kembali mengecek beberapa pekerjaannya. Beberapa artikel yang akan diluncurkan untuk Flame pekan depan, beberapa wajah baru anak didik Flame yang siap didebutkan baik itu untuk menjadi model atau bahkan artis. Almeda berpikir apakah dia perlu membalas chat itu atau tidak. Tapi, pada akhirnya mengabaikannya. Tak lama, notifikasi terdengar lagi dan masih orang yang sama. Pak Gema : Sepertinya kamu sudah tidur. Good night, Al. Semoga mimpi indah.Sejujurnya, Gema adalah sosok laki-laki yang mudah dicintai. Dia baik hati dan lembut. Tentu saja berbeda dengan Axel yang selalu menunjukkan tatapan tajam dan dingin. Gema tidak seperti itu. Tatapan lelaki itu cenderung hangat dan bersahabat. Dari segi wajah? Tentu saja sama tampannya dengan Axel. Gema itu tegas, tapi tidak galak. Seandainya status social mereka yang sama, mungkin Almeda akan menerima lelaki
Janji yang dikatakan oleh Gema membuat Almeda akhirnya mengangguk. Dia menerima Gema sebagai kekasihnya mulai malam ini. Setelah sekian lama, Gema akhirnya berhasil menaklukkan hati Almeda yang kelewat keras dan kaku. Gema bahkan tersenyum sepanjang makan malam bersama dengan keluarga Axel. Dan orang-orang yang berada di sana pun tidak bertanya tentang kegilaan Gema yang terus tersenyum tiada henti. Mereka pasti paham jika Gema sudah mendapatkan apa yang diinginkan selama ini.“Pulang sama aku, ya.” Gema menahan tangan Almeda yang berjalan di depannya. “Udah ada Denial.” Almeda mengedikkan kepalanya ke arah Denial yang sudah berdiri di bagian kanan mobil. Siap masuk dan duduk di belakang kemudi. “Nggak papa. Aku sanggup kok kalau cuma harus nyetir jauh.” Jarak antara rumah Axel ke rumah Almeda mungkin sekitar hampir satu jam jika tidak macet, lalu jarak dari antara rumah Almeda ke apartemen Gema pun sama. Mungkin dia harus terus menyetir selama dua jam untuk bolak-balik hanya untuk
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C