Yang mau kepoin visualnya dua sekawan Axel dan Gema, boleh mampir ke IG : Loyce ya. Cuscus!!!!
Permata tidak akan ikut campur dengan urusan percintaan Almeda. Dia percaya jika perempuan itu akan akan melakukan hal baik dan penuh pertibangan. Hidupnya sendiri saja sudah dipenuhi dengan kebimbangan dan kebingungan. Di tempat lain, Gema, Axel, dan Denial sedang berkumpul. Mereka membicarakan masalah lamaran yang akan Axel berikan untuk Permata. Bertepatan dengan hari ulang tahun Permata satu bulan lagi, rencana itu harus sudah mulai disusun agar lebih matang. “Lo yakin nggak kalau Permata akan menerima lo, Xel?” tanya Gema sedikit khawatir. Setelah mendengarkan alasan-alasan yang diberikan oleh Permata lewat cerita Axel, entah kenapa dia merasa perlu meyakinkan Axel kembali. Denial tidak bersuara dan memilih bungkam. Dia memang sudah memberikan restu untuk Permata dan Axel, dengan bukti kemunculan dirinya di apartemen Axel saat ini. Tapi seandainya dia diminta untuk menjawab pertanyaan Gema tersebut, dia pun tidak tahu apa yang akan dia katakan. “Gue nggak tahu. Itulah kenapa
Permata tidak tahu harus mengatakan apa. Dia terkejut dan juga gugup. Padahal, dia sudah melalang buana di luar negeri. Melenggak-lenggok di catwalk, ditonton oleh puluhan bahkan ratusan orang. Dia tak pernah merasa bergetar seperti ini. Tapi hari ini, di hari ulang tahunnya, dia dibuat tak bisa berkata-kata oleh kejutan yang diberikan oleh Axel kepadanya.“Mami. Apa jawaban Mami?” Dan lagi, Angkasa bahkan bertanya dengan ekspresi yang tampak penuh damba. Bocah itu mungkin sudah tahu apa itu menikah. Pasti sudah ada yang menjelaskan jika setelah menikah, orang tuanya akan bersatu dan tinggal bersama. “Mami … Papa sudah menunggu. Kami juga sudah menunggu.” Bagaimana bisa Angkasa menjadi tidak sabaran seperti itu? Permata menatap ke arah Axel dengan ekspresi kaku dan salah tingkah. Permata tak ingin gegabah. Mengabaikan semua orang yang ada di sana, dia memilih menutup matanya dengan erat. Membayangkan bagaimana jika dirinya tak lagi bersama Axel. Membayangkan Axel meninggalkan dirin
Axel merasa jika semua usaha yang sudah dia lakukan selama ini benar-benar terbayarkan dengan luluhnya perasaan Permata kepadanya. Dia berjanji pada diriya sendiri untuk menjaga apa yang dia miliki dan dia dapatkan dengan susah payah. Axel sudah pernah hidup dalam perasaan bersalah, dan ketidaktenangan. Mulai saat ini, dia akan hidup dengan damai bersama dengan Permata dan Angkasa dalam satu keluarga yang lengkap dan utuh. “Terima kasih, Permata.” Untuk sekian kalinya, Axel memeluk Permata sebelum dia benar-benar pergi dari rumah Permata. “Aku tidak akan menjanjikan apa pun padamu. Aku takut aku tidak bisa menepatinya.” “Aku juga tidak memerlukan janjimu. Yang terpenting adalah kamu akan bisa membuktikan dengan tindakanmu.” “Aku tahu.” Axel merangkum wajah Permata dan menyematkan senyum kecil sebelum dia mengecup dahi perempuan itu. “Aku pergi sekarang,” katanya pamit sebelum masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah Permata. Kejadian hari ini dimuat oleh Almeda di sosial medi
Axel merasa puas saat melihat gambar yang ada di depannya. Gambar gaun yang panjang dan tertutup seperti yang diinginkan Axel. Sebenarnya itu seperti gaun-gaun pada umumnya, tapi sedikit lebih mewah. Gaun mengembang dengan dihiasi berlian kecil di bagian lehernya. Berlian itu akan menggunakan berlian langsung dari Roque Glacio. “Kami akan mengusahakan segera menyelesaikannya, Pak, Bu.” Begitu kata Krystal. “Saya akan meminta sekretaris saya untuk mengirimkan berliannya secepatnya,” jawab Axel. “Tentu. Kami akan menunggu.” Dan untuk urusan gaun akhirnya berakhir. Mereka semua mengambil pakaian dari Krystal butik membuat Krystal tampak begitu bahagia dengan kepercayaan pasangan Permata dan Axel dengan butiknya. “Bahkan kalau aku jadi model, tubuhku juga terbuka.” Itu adalah komentar yang diberikan oleh Permata saat mereka berada di dalam mobil. Merasa kesal dengan tingkah Axel yang memperlambat waktunya untuk cepat. “Aku ingin memastikan ke kamu, Sayang.” Axel menatap Permata bers
“Sepertinya kita harus membuat perjanjian deh,” kata Permata setelah itu. “Kalau kamu ingin hidup bahagia denganku dan Angkasa, jangan lagi mengingat tentang masa lalu itu. Aku udah berusaha melupakan dan sekarang justru kamu yang terus mengingatnya.” Masa lalu adalah bagian dari kehidupan. Dia akan terus dibawa sampai maut menjemputnya. Tapi bukan berarti mereka tak bisa menyembunyikan. Cukup sekali diingat sebagai pembelajaran. Itulah yang Permata inginkan. Jika melihat bagaimana Axel yang terus mengatakan tentang masa lalu, lelaki itu memang terluka sama besarnya seperti Permata. “Angkasa berbohong.” Axel lantas berbicara. “Berbohong ingin membeli sesuatu tapi sebenarnya dia hanya ingin main-main?” tanya Permata.“Kamu tahu?” “Dia sudah mengatakan kepadaku. Dia minta maaf. Kamu sudah mengingatkannya dan dia menyesal.” Beban berat yang dirasakan oleh Axel seolah terangkat begitu saja. Angkasa ternyata bisa dipercaya. Sebelum Permata mengetahuinya dari orang lain, dia sudah menj
Permata tidak menghindar ketika Axel menguasai bibirnya. Ini masih sangat pagi untuk melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Tapi semalam mereka sudah menundanya. Maka selagi ada kesempatan, Axel tidak ingin menyia-nyiakannya. Namun dia tetap masih harus meminta izin kepada sang istri.“Boleh kan?” tanyanya dengan suara serak. Permata hanya menjawabnya dengan ‘hem’ dan Axel tidak membuang waktu untuk segera mengangkat tubuh Permata dan membawanya ke atas kasur. Jika Permata bisa mengungkapkan, ada perasaan takut yang menyerangnya. Bagaimana kalau setelah ini Axel kembali meninggalkannya seperti waktu itu? Permata tidak berani membuka matanya dan dia juga tidak begitu bereaksi atas tindakan Axel kepadanya. Axel menyadari itu dan dia berhenti.“Kamu takut?” tanyanya perhatian. “Aku nggak akan melanjutkan kalau memang kamu tidak ingin.” Permata membuka matanya dan menatap bola mata hitam milik Axel. Permata tahu Axel seharusnya tidak dihentikan di saat-saat seperti ini. Tangan Permata din
Permata yang tadinya hampir tertidur kembali membuka matanya dan menatap wajah Axel. Lelaki itu masih memejam tapi ucapannya sudah ngawur. Namun hal itu tak urung membuat Permata sedikit mengulum senyum. Dan tangannya tak lupa mencubit perut liat Axel sampai lelaki itu terkekeh-kekeh. “Siang-siang nggak enak lihat kupu-kupu,” jawab Permata setelah itu dengan suara gumaman. Axel tak lagi berbicara karena dia memilih memeluk Permata dan mereka tenggelam dalam alam mimpi. Sayangnya, mereka tidak mengunci pintu kamarnya sehingga saat Angkasa bangun lebih dulu, dia segera mencari orang tuanya ke dalam kamar Permata. Dengan langkah pelan dan gerakan hati-hati dia masuk ke dalam kamar. Angkasa mengintip ibu dan ayahnya sebelum ikut bergabung di tengah-tengah mereka. Senyumnya melebar saat menatap kedua orang tuanya bergantian. Di sisi kanannya ada ibunya dan di sisi kiri ada sang ayah. Inilah yang dia inginkan. Tidur dengan kedua orang tuanya. “Angkasa.” Permata membuka matanya merasakan
“Mami, boleh Angkasa main basket sekarang?” Setelah dari halaman belakang, Angkasa datang memutus ‘ketegangan’ yang terjadi antara ibu dan ayahnya. Bocah itu menatap ketiga orang yang tampak serius tersebut dan menutup mulutnya rapat-rapat. “Jangan lama-lama. Karena Oma dan Opa akan datang.” Axel yang menjawab. “Siap, Papa.” “Mau Om temani?” Alvan menawarkan diri. “Nggak seru dong kalau main sendiri.” “Yey. Boleh Om.” Angkasa langsung menarik tangan Alvan untuk meninggalkan ruangan besar tersebut menuju halaman rumah. Meninggalkan Permata dan Axel yang akan menyelesaikan urusan mereka berdua. Mendapatkan semua ini tentu tidak pernah ada dalam kepala Permata. Dia hanya ingin menikah dengan Axel karena dia ingin memberikan keluarga yang utuh untuk putranya. Tapi melihat semua surat-surat ini membuat kepalanya tiba-tiba saja pusing. Bahkan dia merasa tidak tahu apa yang harus dia katakan. “Mas,” panggil Permata pada Axel setelah beberapa saat. “Kamu benar-benar ingin melakukan ini
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C