Selamat lebaran, Teman-teman bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir batin.
Sepanjang perjalanan, Permata hanya diam tanpa mengatakan apa pun kepada Axel. Dia seolah tak suka Axel ikut campur dalam urusan bayar membayar. Dia adalah perempuan dengan banyak uang. Dia tak biasa dibayari, dia tak biasa dibelanjakan, dan dia juga bukan perempuan matre yang justru bangga dibelanjakan oleh laki-laki. “Kamu marah?” Axel tak tahan untuk tidak bertanya. Mereka baru saja berdamai dan tidak seharusnya perempuan itu kembali marah kepadanya. Ya, Axel mengakui kalau semua ini karena dirinya sendiri. Dia aku dia bersalah karena sudah memaksakan kehendaknya. Pertanyaan itu tak mendapatkan jawaban dari Permata karena justru Permata menutup matanya. Axel menarik napasnya panjang tak lagi mengutarakan pertanyaan. Memilih terus melajukan mobilnya dengan sebuah keheningan yang menyelimuti. Namun saat mobilnya berhenti di lampu merah, Axel kembali berbicara. “Kalau aku membelokkan mobilnya ke kanan, itu artinya kita akan ke rumahmu, tapi kalau lurus, itu akan ke apartemenku. Pil
“Aku tidak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupku.” Hanya dua buah baju dan satu celana panjang saja, Axel seperti baru saja mendapatkan banyak uang. Permata memahami, ini bukan karena barang sepele itu. Axel bahagia karena perhatian yang diberikan oleh Permata kepadanya. Selama ini mereka selalu bersitegang dan tampak tidak pernah akur. Tapi sekarang semuanya seperti sudah berakhir. “Lebih bahagia mana saat kamu mendapatkan saham perusahaan itu dan membuangku beberapa tahun lalu?” Pertanyaan itu seketika membuat Axel mengerutkan bibirnya kaku. Axel sekarang percaya kalau seorang perempuan yang dulu pernah tersakiti tidak akan pernah melupakan rasa sakitnya dan akan terus mengenang di dalam pikirannya. Dan Permata pun sama. Perempuan itu akan tetap mengungkit saat ada kesempatan meskipun dia sudah menyatakan memberikan maaf kepada Axel.Mau tak mau, Axel harus menerima hal itu. Bahkan seandainya mereka nantinya sudah menikah dan menjalani bahtera rumah tangga, Axel harus sanggup
“Aku ingin berada di sisimu sampai aku mati. Kalau aku bisa menebusnya, aku akan menggunakan seumur hidupku untuk menebus kesalahanku kepadamu.” Di bawah cahaya temaram lampu kamar Angkasa, Axel melamar Permata. Permata bahkan tampak terkejut mendengarnya. Mereka baru saja menjalin hubungan yang mencoba memperbaiki hal buruk di masa lalu. Tapi Axel malah memintanya menikah dengannya. Permata tidak bisa melakukan itu. Jadi, dia hanya menggeleng pelan. “Mungkin aku akan menikah denganmu nanti. Tapi tidak dalam waktu dekat. Bersabarlah.” Dan hanya itu yang dia katakan Permata kepada Axel. Dan Axel tak bisa memaksa Permata untuk menerima dirinya. “Aku mengerti.” Axel mengeluarkan senyum kecilnya sebelum dia memutuskan beranjak dari ranjang Angkasa. “Aku pergi dulu sekarang.” Permata mengikuti Axel dari belakang untuk mengantarkan lelaki itu sampai keluar. Saat itu bertepatan Almeda dan Denial baru saja sampai. “Kalian dari mana?” tanya Permata. “Aku didatangi sama emak-emak rempong.
“Wah, ternyata, Berlian ini sedikit ada sombong-sombongnya, ya.” Begitu tanggapan salah satu dari mereka. Meskipun dia tersenyum, tapi bibirnya mengkerut kaku. Tampak tidak suka ucapannya terkalahkan oleh Berlian. “Memang begitulah kenyataannya, Bu. Saya tidak akan pernah mengatakan sesuatu yang tidak saya ketahui datanya. Menduga-duga? Itu bukan saya.” Ada senyum kecil lagi yang ditunjukkan oleh Permata di bibirnya seolah dia tengah mencemooh teman-teman ibu Axel. Mereka mungkin merasa tersindir. Karena mereka berdehem dan tampak menatap ke segala arah untuk menghindari tatapan Permata. Bagaimanapun, ucapan mereka yang tadi seolah memojokkan Permata adalah hanya dugaan dan tuduhan. Jadi tentu saja mereka merasa tersentil. Ibu Axel yang tengah menyeruput minumannya itu hanya tersenyum kecil mengetahui teman-temannya kalah telak dengan calon menantunya. Axel dan Permata memang sudah diciptakan untuk bersama. Bahkan kata-katanya pun sama-sama bisa membuat orang lain keki. Lantas ac
“Apa-apaan pertanyaan itu?” Permata terkejut dengan pertanyaan Axel yang tiba-tiba. Sepengetahuannya, Axel sama sekali tidak memiliki ketertarikan yang ditunjukkan kepada Almeda. Pun, hubungan mereka juga tidak sebaik itu. “Kamu naksir dia?” “Jangan salah paham dulu, Sayang.” Buru-buru, Axel menjelaskan. “Karena ada laki-laki yang naksir sama Almeda. Dan aku harus memastikan kalau Almeda dan Denial tidak memiliki hubungan apa pun.” “Siapa yang naksir Almeda?” Permata tak bisa menahan rasa penasarannya. “Kamu kasih tahu dulu sama aku hubungan mereka, nanti aku kasih tahu siapa orangnya.” “Kamu harus bilang dulu siapa yang naksir Almeda. Selama yang naksir dia orang baik, mungkin aku bisa mempertimbangkan.” Axel menatap Gema yang ada di sampingnya dan meminta pendapatnya apakah dia boleh memberitahukan kepada Permata atau tidak. Gema mengangguk dan akhirnya Axel berbicara terus terang.“Gema.” Begitu kata Axel. “Beberapa waktu lalu dia mengatakan sama aku kalau dia naksir sama Alme
“Nggak ada laki-laki yang berani nyakiti kamu,” jawab Denial dengan cepat. “Hanya dengan melihat ekspresimu saja, laki-laki akan mundur teratur melakukan yang tidak-tidak.” Almeda cemberut mendengar ucapan Denial. Namun Denial segera menambahkan. “Tentu saja aku akan melakukan hal yang sama, Al. Jadi karena Permata sudah mengalami hal buruk, kamu jangan lagi mengalami hal yang sama sepertinya. Kamu harus bisa belajar dari pengalaman Permata. Ganteng saja nggak cukup buat kamu bahagia.”“Tapi akan lebih baik dia ganteng dan baik.”“Semua orang punya plus dan minusnya. Jangan mencari yang sempurna. Kamu tidak akan mendapatkannya.” Permata tidak pernah menyangka kalau obrolan mereka justru membuka banyak hal yang tidak pernah dibahas sebelumnya. Dia tahu Denial sangat menyayanginya, tapi pagi ini dia lebih memahami perasaan Denial kepada dirinya dan Almeda yang selama ini tidak pernah dia ketahui. “Jadi itu artinya, Permata sudah bisa menikah dengan Axel?” tanya Almeda lagi. “Selama
“Apa aku bisa menemui dia?” tanya Axel setelah dia menghilangkan keterkejutannya. Ada tampak antusias di wajah Axel saat menanyakan hal itu. “Lalu, apa kamu siap untuk menikah?” Permata diam tak menjawab. Untuk sekarang, dia masih nyaman dengan hubungan cinta yang seperti ini dengan Axel. Berkencan dan tidak terlibat terlalu dalam bersama dengan Axel sepertinya lebih nyaman. Tapi dia tak bisa membiarkan Axel menunggu lebih lama. Axel melihat kebungkaman Permata dan dia menyadari jika perempuan itu masih belum bisa menerima pinangannya. Dengan sabar dia bersuara, “Aku nggak akan maksa kamu.” Permata tahu meskipun Axel berbicara seperti itu, tapi lelaki itu tengah menyimpan perasaan kecewa di dalam hatinya. Tapi jujur, Permata pun belum siap menjalani bahtera rumah tangga. Tidak mudah menghilangkan perasaan buruk yang sudah menjalar sampai ke dalam darah. Untungnya, Axel benar-benar tidak memaksa. Lelaki itu pamit pergi dari ruangan Permata seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Me
Permata tidak akan ikut campur dengan urusan percintaan Almeda. Dia percaya jika perempuan itu akan akan melakukan hal baik dan penuh pertibangan. Hidupnya sendiri saja sudah dipenuhi dengan kebimbangan dan kebingungan. Di tempat lain, Gema, Axel, dan Denial sedang berkumpul. Mereka membicarakan masalah lamaran yang akan Axel berikan untuk Permata. Bertepatan dengan hari ulang tahun Permata satu bulan lagi, rencana itu harus sudah mulai disusun agar lebih matang. “Lo yakin nggak kalau Permata akan menerima lo, Xel?” tanya Gema sedikit khawatir. Setelah mendengarkan alasan-alasan yang diberikan oleh Permata lewat cerita Axel, entah kenapa dia merasa perlu meyakinkan Axel kembali. Denial tidak bersuara dan memilih bungkam. Dia memang sudah memberikan restu untuk Permata dan Axel, dengan bukti kemunculan dirinya di apartemen Axel saat ini. Tapi seandainya dia diminta untuk menjawab pertanyaan Gema tersebut, dia pun tidak tahu apa yang akan dia katakan. “Gue nggak tahu. Itulah kenapa
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C