Pertengkaran hebat yang membuat Dara harus pergi dari rumah Aaron. Sejak beberapa hari kemarin, Raka memang sudah menguntit wanita itu. Alasannya sepele, karena dia tidak ingin seorang pria mana pun mendekati wanitanya. Dari jaman orok sampai saat ini Raka tetap mengklaim bahwa Sandara adalah miliknya, selamanya. Mungkin cinta memang sudah menggerogoti nurani sampai membuat dirinya gila bahkan merencanakan hal yang lebih gila lagi.
Pria itu masuk ke rumah, bukankah sudah jelas bahwa sepeninggalan Dara ada yang menatapnya di sisi lain? Itulah Raka, senyuman sinis itu terlihat begitu puas.
Aaron yang uring-uringan di dalam rumah sendirian tidak mengetahui bahwa seseorang telah menerobos pintu rumahnya yang tidak terkunci.
"Hei! Siapa kamu?!" teriak Aaron kala membalikkan tubuh sembari melangkah mundur ketika Raka mendekat dengan menodongkan pisau.
Dari dalam masker yang dikenakan oleh Raka, pria ini menyeringai, seolah mencibir bahwa nyali yang dimiliki Aar
Mantan karyawan sekaligus suami Dara. Harusnya dia bisa menebak. Sayangnya rasa sakit itu membuat cara pikir Aaron melamban, tetapi jelas dia tahu siapa yang dibicarakan olehnya. Saat ini hanya Dara-lah yang dekat dengan dirinya. Hanya Dara yang tidur di tempatnya semalam."Oh, ya? Lalu bagaimana jika hidupmu benar-benar berakhir di sini?!" Raka mengangkat pisau tinggi-tinggi dan langsung membabi buta menyerang Aaron. Entah berapa puluh tusukan yang diterima oleh Aaron. Pria itu tersungkur dan meninggal di tempat.Luka tusuk yang berada di dada, perut, bahkan paha. Raka benar-benar kesetanan. Tidak berpikir sebelum bertindak. Seharusnya semuanya mudah, karena sedari awal Dara bahkan memohon dan mencoba untuk memperbaiki hubungan ini. Nyatanya apa yang dirasakan oleh Raka terlalu mendarah daging. Di mana dendam sudah menguasai jiwa. Hanya sekali penolakan, tetapi seumur hidup dia membenci dan menyiksa istrinya.Semua sempurna dengan drama yang dia mainkan, mening
Harusnya hari ini akan menjadi hari indah untuk Aaron. Seharusnya… tetapi, tidak ada yang bisa melawan takdir. Jantung Abby terasa perih, sangat perih bahkan terlampau perih hingga hanya bisa terisak tanpa mampu menjawab pertanyaan seseorang yang ada di seberang sana.Abby menangis, ia juga merasa bahwa seharusnya sang kakak bisa melepaskan rindu dan berbagi kisah dengan mertuanya, melepaskan rindu dan juga memberitahu bahwa dia menemukan perempuan yang mirip dengan anaknya. Sayangnya kesempatan itu sama sekali tidak bisa dimiliki. Aaron berada di ruangan autopsi."Aaron? Kamu masih di sana? Kamu kenapa, nak?" Abby mengangguk, dia kira orang itu akan mengetahui anggukannya? Tentu saja tidak, Abby."Aaron… aku Abby, Tante. Adiknya, Aaron… Aaron meninggal, Tante," lirihnya dengan suara yang tidak terlalu jelas."Abby? Ah— adiknya Aaron. Aaron kenapa sayang? Bicara yang jelas, kamu membuat Tante cemas, Nak." Abby mengusap mukanya d
Satu jam berlalu, Veily dan Wisnu tiba di rumah Abby. Keduanya dipersilakan masuk, rumah yang rapi dan juga sunyi. Abby menggiring mereka menuju ruang tengah. Memang seharusnya ia menyajikan makanan, mungkin mereka belum makan malam. Namun kedatangan mereka ke sana bukan untuk makan malam. Mereka berkabung dan ingin bertanya banyak hal pada Abby.Abby adalah bayi yang sudah mereka tolong dulu. Membiayai persalinan yang tidak memiliki persiapan untuk melakukan operasi sesar. Masa lalu yang tidak pernah Veily lupakan. Bahkan, mereka sendiri ingin menjadi kerabat sampai besan. Itulah sebab juga Cloe menikah dengan Aaron. Meski perjodohan menjadi dasarnya, tetapi sungguh keduanya saling mencintai."Nak, bagaimana bisa ini terjadi?" Wisnu mencoba bertanya. Dia terlalu penasaran untuk menunggu nanti."Sampai saat ini aku belum menemui pelakunya. Tapi aku sudah tahu siapa dia. Mungkin ini salahku," lirih Abby yang mengalahkan dirinya karena harus mencoba mengenal Dara.
"Maaf sudah membuatmu cemas, Girl," ucap Abby sembari menyentuh pinggang Dara. Membalas pelukannya sekilas dan melerai. Namun, Dara justru tidak ingin menjauh dari dekapan Abby, ia lingkarkan kedua lengannya di leher laki-laki itu.Abby membawa wanitanya masuk, meski Dara tetap bergelayut manja pada dirinya. Dia memang menyukai hal itu, tetapi rasa takut dalam diri Abby juga begitu mengusik pikiran. Entah bagaimana dan dari mana dia harus menjelaskan lalu apa tanggapan Dara pun Abby tidak bisa menerkanya."Tidak apa-apa, By. Kamu sudah makan? Aku menunggumu, kita makan bersama, ya? Aku sudah sangat lapar, kamu juga 'kan?" Dara menangkup wajah kekasihnya dan berceloteh panjang lebar, wajahnya ceria dan bahkan ia memberikan kecupan pada bibir Abby.Pria itu hanya sedikit memajukan bibirnya, tidak ada acara lumat melumat kali ini. Namun, Dara juga tidak menuntutnya, toh mereka akan makan malam di meja makan bukan di ranjang."Kamu belum makan sejak
Lalu kini, Dara harus memihak pada Aaron? Dia yang kabur dari pria itu, lalu kini dia harus menyalahkan kekasihnya? Dara bangkit, dia memang salah berucap, seharusnya bukan pertanyaan itu yang terlontar."Maafkan aku, By. Maaf, berita ini mengejutkan. Maafkan aku. Aku kira aku bisa meminta maaf dan kita bisa menunjukkan hubungan kita pada pria itu hingga tidak ada dendam di antara kita semua." Gadis itu mendekati Abby yang masih setia mengepalkan tangannya di kursi sebelumnya."By, maaf. Aku hanya syok. Aku hanya… entahlah ini aneh dan mendadak. Ya, kematian, kelahiran memang tidak ada yang pernah tahu. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menuduhmu, By," sesal Dara. Ia menggenggam jemari tangan Abby, mengelus punggung tangannya untuk memberikan ketenangan.Seharusnya Abby bisa tenang dengan bercerita dan jujur, tetapi respons Dara membuatnya kecewa."Kamu ingin tahu siapa yang melakukannya?" Abby menatap Dara dengan intens, matanya memerah. Abby
Plak! Dara menampar pria itu.Setelah semua yang terjadi, masih bisa mulut busuk itu mengatakan ketidakrelaan. Raka sungguh sudah tidak waras. Bahkan sekarang, hanya dengan menatap wajah laki-laki yang pernah begitu dia cintai, Dara merasa ingin menendangnya menjauh."Kamu gila! Sumpah kamu gila! Kejadian bertahun-tahun lamanya setelah drama yang kamu mainkan, sekarang apa?! Kamu berharap bahwa aku akan… apa?! Apa maumu?!""Aku tidak akan membiarkan kamu bahagia jika bukan denganku, Dara! Tidak akan!"Bugh!Abby langsung memberikan pukulan keras pada wajah pria itu. Sudah cukup semuanya. Satu kali, dua kali bahkan entah berapa kali Abby menghancurkan muka itu. Tidak hanya itu dia juga mencekik leher Raka. Wajah sangar itu memperlihatkan urat-urat kemarahan yang tidak bisa dia sembunyikan lagi."Seberapa pantas kamu mendapatkan maaf? Kamu kira kamu malaikat? Kamu kira kamu pantas?!" Nada bicara yang pe
Setelah kepergian Abby, Wisnu menelepon seluruh keluarga Aaron. Orang tua, bahkan juga kakek dan neneknya. Mereka harus tahu, bahwa anak dan cucu mereka tidak lagi bersama mereka. Ajang pertemuan yang seharusnya mampu melepaskan rindu antara Wisnu dan keluarga besannya itu, kini harus berubah arah. Kesedihan dan kehilangan. Memang betul bukan? Jika salah seorang tiada maka, seluruh orang akan berkumpul, jika mereka sehat wal'afiat jangan pernah tanyakan sebuah kebersamaan, karena hal itu tidak mudah untuk diwujudkan.Abby membawa Dara untuk pulang ke rumahnya bertemu dengan kedua orang tua Cloe. Juga sebagai permintaan maaf yang telah membentak bahkan membuatnya ketakutan, Abby tidak akan biarkan wanita itu sendirian."Masuklah, sudah malam. Aku ingin sendiri," ungkap Abby. Meminta wanita itu untuk masuk terlebih dulu."Maafkan aku, By," lirih Dara. Dia benar-benar sangat menyesal. Satu hal gila yang pernah dia lakukan adalah, pertama menikahi Raka, kedua tidak mempercayai orang yang
Sang nenek juga sudah sangat berharap bahwa Aaron pasti bahagia dengan Dara. Sayangnya Tuhan memiliki rencana lain untuk keduanya.Setelah mengantarkan Dara ke kamar. Membiarkan gaadis berambut panjang itu sendirian. Wanita itu hanya duduk di bibir ranjang dengan memeluk jaket pemberian Abby setelah dari lapas tadi.Sedangkan, Abby. Pria itu menyulut rokok dan duduk di bagian samping rumahnya, menatap begitu banyaknya bintang yang terlihat tengah malam ini."Kenapa tidak masuk, By?" seru Wisnu yang tiba-tiba saja muncul. Abby mengarahkan pandangan pada pria itu."Om? Abby, hanya ingin mencari angin," kilahnya. Lagi, ia sesap nikotin yang mampu mengusir sementara lara yang ada.Wisnu mendekat dan duduk di sampingnya. Membawa kopi yang diulurkan untuk Abby."Terima kasih, Om." Abby menyesapnya, menikmati aroma khas kopi, serta rasa pahit manis yang menyatu. Paduan nikmat dari kopi murni pedesaan."Ada sesuatu yang kamu pikirkan kecuali semua yang terjadi?" Wisnu adalah seorang pria, se
"Siapa aku? Siapa aku yang kalian kenal?" Setelah sekian lama.membisu, bahkan daftar menu yang sebelumnya tersentuh pun kini teronggok tidak dihiraukan. Mereka kalut dengan pemikiran mereka masing-masing. Mereka sibuk meminta maaf dan menantikan jawaban yang diberikan oleh anaknya."Prilly. Dara, bahkan namamu sekarang atau dulu, mommy tidak peduli. Siapa pun nama yang kamu sukai, kamu berhak memakainya. Bu Larasita sudah memberikan nama yang begitu baik, begitu indah dan bagus. Mommy hanya ingin kamu memaafkan kamu, Nak. Mommy telah kehilangan segalanya, penyesalan mommy tidak pernah bisa berhenti setelah mengetahui berita hilangnya, kamu. Mommy minta maaf, Dara." Veily mencoba meraih tangan anaknya.Anak yang tidak pernah dia asuh, tidak pernah dia susui. Tidak pernah berhenti dia rindukan, tetapi tidak pernah ada aksi yang dia lakukan hingga dua puluh enam tahun berlalu. Sebegitu pentingkah Cloe sampai harus melupakan anak mereka yang lainnya?"Ibu," gumam Dara. Air mata yang menet
Sebuah mobil putih berhenti di halaman sempit milik Dara, tepat di bahu jalan mungkin lebih lama. Karena pekarangan rumah itu bahkan tidak muat untuk di masuki motor."Siapa, ya?" tukas Dara dengan tatapan yang lurus ke depan meniti siapa gerangan orang yang menakutkan mobilnya di depan gubuk reyot miliknya."Aku kenal mobil itu," jawab Abby, tetapi dia tidak berniat memberitahukan siapa pemiliknya ke pada Dara. Begitu keduanya tiba dan keluar dari mobil. Dara melihat dua orang berdiri di depan rumahnya dan barang-barang miliknya yang sudah berada di luar rumah.Dara melongo tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Bahkan wanita paruh baya dengan gayanya yang khas dan tubuh yang masih sangat kokoh dan fit itu terlihat berseteru dengan sang pemilik rumah."Tante Veily? Ada apa ini? Ibu Luri, kenapa barang-barang saya di luar?" Dara yang telah berhasil mendekati mereka, langsung bertanya alasan kenapa barang-barang miliknya seolah terbuang."Masih tanya kenapa! Kamu jelas-jelas tidak bi
Dalam ruangan yang tidak terlalu besar, mungkin hanya tujuh kali delapan meter, di sana hanya ada ranjang yang memiliki tiang besi dengan ukiran lawas di bagian atas kepala, dua nakas di samping kanan dan kiri tempat meletakkan lampu tidur dan satu sofa serba guna, atau sofa seribu gaya. Ranjang itu sendiri tidak terlalu besar, dengan ukuran besar. Sempit dan memang itu yang diinginkan oleh pemiliknya. Tidak ada almari di dalam ruangan itu, karena bukan difungsikan untuk serba bisa.Almari dan ruang ganti berada di sebelah kamar utama dengan satu pintu penghubung yang hanya ditutup dengan tirai transparan. Di depan kamar sedikit ke kiri adalah ruang baca yang menyuguhkan pemandangan gunung di depannya. Di ruangan paling ujung adalah kamar mandi dan dapur. Ada satu pintu yang menuju ke kebun sayur dan beberapa buah yang bisa hidup di kaki gunung.Di samping ruang tamu, jendela besar yang terpasang kaca itu, tempat bersantai, membaca buku tentunya yang sudah pasti sungai adalah pemandan
Lain rasa bahagia yang dirasakan oleh Dara bersama dengan keluarga barunya. Lain pula apa yang dirasakan Ravella pada keluarganya. Semuanya berubah 180° atau mungkin putaran penuh? 360° atau bagaikan dijungkir balikkan sebuah fakta yang mengejutkan nuraninya? Intinya kehidupannya sudah tidak lagi sama dengan kehidupan yang pernah dia rasa sempurna. Dari kubangan dipungut tercuci bersih dan menyombongkan diri, lupa bahwa dia telah merebut kehidupan bahagia seseorang. Kini, semuanya dikembalikan! Dia tetap akan mengingat bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, yang justru kini harus menanggung beban tetapi orang lain menyebutnya anugerah.Anak— ya! Ravella harus mengurus anaknya seorang diri. Di mana sang ayah mertua meninggal dunia tidak lama setelah dilarikan ke rumah sakit. Sang ibu mertuanya harus syok berat menghadapi kenyataan bahwa dia seorang diri saat ini. Ia juga tidak akan menerima kehadiran Ravella tanpa Raka. Membiarkan wanita itu terkatung-katung tidak jelas bersama cucunya. A
Dalam perjalanan pulang mengantar Dara pulang dengan hati yang diliputi rasa malu, Abby bungkam. tidak ada sepatah kata yang keluar kecuali ungkapan maaf."Maafkan aku, Dara. sungguh, kukira Mommy akan luluh saat melihatmu. tapi, dia justru bersikap layaknya manusia paling suci.""Aku sama sekali tidak mempermasalahkan semua ini, Bee. Tidak mudah menerimaku di tengah musibah yang telah terjadi. Kamu tidak seharusnya marah sama ibumu. Kamu tahu bagaimana aku begitu merindukan sosok ibu kan? Maukah kamu kembali ke rumah dan lebih baik kita meminta maaf padanya.""Tidak! dia sudah merendahkanmu, Sayang." Dara menggeleng."Direndahkan tidak selalu rendah kan? Aku punya kamu, aku tidak merasa di rendahkan saat seorang pria membelaku mati-matian. Aku hanya tidak mau hubunganmu dengan Ibu semakin hancur gara-gara aku. Kita kembali, ya?"Menanti beberapa menit untuk menimbang keputusan hingga mobil itu berputar arah kembali ke rumah. Saat kembali membuka pintu yang sempat dua tinggalkan Abby
"Tidak! Aku tidak mau mereka kemari! Kalau pun tetap memaksakan ke sini, ya sudah kamu saja yang layani mereka, Pa!" ketusnya setelah Abrisam menyampaikan jika Abby dan Dara akan ke sini untuk makan malam bersama."Ma! Kenapa kamu sangat membenci Abby? Apa salah dia padamu?" Abrisam duduk di sofa, kemudian menatap tajam istrinya yang masih saja terlihat ketus.Sebetulnya Dayyana juga bingung, jawaban apa yang harus dia lontarkan untuk suaminya. Abby memang anaknya yang cukup baik dan tidak senakal itu sehingga dia tak menyukainya. Hanya saja, mungkin karena dia terlalu menyayangi Aaron membuat dia menomor duakan anaknya yang lain, yakni Abby."Kamu itu ibunya! Kenapa kamu bisa-bisanya bersikap seperti itu pada Abby? Ma, Abby itu anak kita satu-satunya sekarang! Abby satu-satunya penerus keturunan kita! Dia darah daging kita! Abby—""Sejak kecil, Abby selalu kamu bedakan. Padahal dia anak yang baik, Ma. Kenapa bisa-bisanya kamu membeda-bedakan kasih sayang antara Aaron dan Abby? Keduan
Rasanya aura rumah mewah ini terasa mencekam bagi Dara. Dia semakin kedinginan, bukan karena suhu di sini, melainkan karena cemas dan takut hingga suhu yang hangat berubah menjadi dingin bagaikan di kutub selatan.Dayyana duduk di atas sofa ruang tamu, wajahnya tetap terlihat tidak bersahabat. Hanya Abrisam yang menampakkan wajah humble-nya. Bahkan, dia sampai menyambut anak dan calon menantunya itu dengan pelukan hangatnya. Membuat ketakutan serta kecemasan Abby dan Dara berkurang beberapa persen."Akhirnya kalian sampai, Papa sejak tadi menunggu. Bagaimana perjalanan ke sini, Abby menjalankan mobil dengan santai? Tidak ngebut?" tanya Abrisam, terdengar sangat perhatian, bukan basa-basi semata.Dara mengangguk pelan, bingung harus menjawab apa karena takut salah bicara, terlebih Dayyana masih terlihat dingin."Kamu cantik sekali, Anakku. Pantas saja Abby sangat tergila-gila padamu?" Abrisam tak mau berhenti menggoda calon mantunya itu, niat dia sebetulnya baik, karena ingin membuat D
Selama di perjalanan, Dara tak henti-hentinya berpikir keras. Jika sekarang dirinya dan Abby akan bertemu dengan Dayyana, apakah tidak akan terjadi hal yang buruk? Mengingat kejadian waktu itu tidak begitu menyenangkan. Perjalanan yang tadinya dia pikir akan terasa menyenangkan karena bisa berdua, mengobrol, serta semakin dekat dengan kekasihnya kini berubah menjadi menegangkan. Dara benar-benar takut jika Dayyana akan melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Saat ini rasanya kepala wanita bernama Dara ini pening sekali. Tak mau rasanya jika nanti ketika bertemu Dayyana terjadi hal yang tidak menyenangkan. Dara mencinta Abby, sangat mencintainya, terlebih Abby mampu membuatnya bisa berdamai dengan masa lalu yang begitu pahit. Dara tak mau kehilangan Abby, pria ini terasa sudah sempurna baginya jika dibandingkan dengan mendiang mantan suami yang memiliki perangai tidak baik. "Kamu kenapa, Baby?" Abby memecah keheningan perjalanan, segera Dara meresponsnya dengan senyuman disertai ge
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber