"Cepat pakai bajumu, selesaikan urusan kita sekarang juga ke pengadilan," titah Abian tanpa melepaskan ikatan di tangan Jihan sama sekali dan mulai keluar meninggalkannya.
Tak butuh waktu lama. Jihan menggenggam surat perceraiannya dengan Abian di depan pengadilan agama, tanpa debat juga banyak pertimbangan. Masih teringat jelas suara Abian memberi Jihan talak tiga sekaligus. Kata yang sangat haram itu, justru Jihan dapatkan dari suaminya. Sekarang Jihan berada di mobil bersama Abian, pasalnya Abian janji akan mengembalikan Jihan ke Bogor, rumah orang tuanya.Jihan sedikit tertegun oleh tangan Abian yang tiba-tiba saja menggenggamnya. Segera Jihan menarik tangannya. Hal itu membuat Abian tersenyum sinis. Jihan menggeser duduknya sedikit menjauh dari pria ini. Meski pagi tadi masih jadi suami, tapi siang ini sudah bukan lagi. Jihan sudah tidak halal untuk pria ini."Bagaimana kalau kau angkat rahimmu?" tanya Abian tiba-tiba membuat Jihan melirik terkejut."Angkat rahim, tega ya kamu Mas memintaku melakukannya," sungut Jihan dengan pandangan terluka.Abian melirik perutnya. "Selama kau mau membuangnya dan tidak punya anak, aku akan mempertimbangkan untuk menikahi dirimu lagi, Jihan. Pikirkan tawaranku ini, aku banyak mengenal dokter yang handal melakukannya."Jihan menatap tak percaya ke arah mantan suaminya ini. Setelah ditalak dan diceraikan, Abian justru memintanya untuk tidak punya anak dengan cara jahat seperti itu. Jihan langsung mendengkus atas tawaran konyol dari Abian. Sementara pria ini meliriknya dengan pandangan meminta keputusan."Bagaimana? Aku tidak akan berselingkuh darimu jika kau mau melakukannya.""Coba saja minta selingkuhanmu untuk melakukannya. Apa Yuna rela mengangkat rahimnya demi dirimu?" tantang Jihan dengan kesal.Abian menatap sedikit lekat, kemudian mendengkus mendengar ucapannya. Ya, mana berani Abian meminta Yuna melakukannya. Hingga mereka berdua memutuskan sama-sama saling diam selama perjalanan.Begitu tiba di Bogor. Abian turun dari mobil, lantas bergegas memutar hanya untuk membantunya membuka pintu dan turun. Jihan sudah tak heran dengan sikap pura-pura baik dari mantan suaminya ini. Abian bahkan mengambil salim pada orang tuanya. Ketika Jihan hendak melakukan hal yang sama, ibu tirinya langsung menarik Jihan untuk menjauh dari ayah kandungnya."Apa otakmu sudah hilang? Berani sekali kau minta cerai dari Abian," sungut ibunya marah namun dengan nada berbisik.Jihan menatap ibu tirinya dengan terluka. Sudah jelas tubuh Jihan penuh lebam, tapi masih dipertanyakan alasannya bercerai. Juga, mulut tak bisa mengungkap keburukan Yuna pada seorang ibu. Jihan hanya bisa menguburnya, sebab diceritakan pun tak akan ada yang percaya padanya."Rujuk lagi saja sana, selagi masih baru tanda tangan surat cerai," pinta ibu tiri Jihan."Bu, masalahnya sebelum cerai pun, aku sudah ditalak tiga.""Talak tiga ya? Gampang, ibu kenalkan kau pada duda di desa. Barulah kau nikah lagi sama Abian, bagaimana?""Bu," tegur Jihan dengan mata berkaca-kaca.Anak sudah berhasil berpisah dari pria bejat seperti Abian. Malah dibujuk untuk bisa bersama kembali. Pembicaraan ini tak berlangsung lama ketika Abian mendekat dan merangkul pinggangnya. Segera Jihan beringsut menghindar mengundang Abian untuk meliriknya."Ponselku selalu aktif, jika kau berubah pikiran. Aku akan langsung datang dan menjemputmu," ujar Abian sembari mencolek dagunya, tapi Jihan langsung menghindar.Abian tersenyum sinis, lantas pamit pada orang tuanya dan mulai memasuki mobil untuk kembali ke Jakarta. Tepat saat itu, mobil warna hitam yang dikendarai Pakde dan Bude Jihan berpapasan dengan Abian.Ibu tirinya langsung menunjuk Bude Jihan yang mulai turun dari mobil. "Sana ikut dengan Bude-mu, rumah ini jadi sesak kalau tambah orang lagi."Jihan segera menatap ayahnya, tapi pria setengah baya itu malah melengos dan menghindar. "Tidak mungkin aku tinggal dengan Bude, sementara aku masih punya Ayah dan Ibu."Jihan menarik napas dengan sesak. Ibu tirinya ini begitu mendominasi hidup ayahnya, hingga Jihan yang diceraikan pun tak punya tempat untuk melanjutkan hidup."Jihan ikut tinggal denganmu, Mba," tutur ibu tirinya terang-terangan mengusirnya di hadapan Bude Jihan.Bude berjalan mendekat. "Tidak masalah jika Jihan tinggal bersama dengan kami."Terpaksa, Jihan ikut dengan Bude Nisa. Setelah menempuh perjalanan dua hingga tiga jam, Jihan akhirnya kembali ke Jakarta dan langsung dibawa ke Melati Daycare, tempat penitipan anak-anak milik Bude Nisa."Namanya Bella, ibunya meninggal sewaktu melahirkannya. Bella tidak bisa bicara," ujar Bude memberi tahu anak yang Jihan tatap duduk di pojok sendirian.Jihan menatap Bella lagi, gadis kecil sekitar lima tahunan itu sendirian saja. Sementara anak seusianya yang lain sibuk bermain bersama. Jihan menoleh ke arah Bude-nya, kepala Bude Nisa mengangguk, memberi Jihan izin jika ingin masuk.Jihan langsung duduk di depan Bella yang tak meliriknya sama sekali. Dapat Jihan saksikan dari dekat, beberapa tubuh Bella nampak memar dan terluka. Jihan menatap gadis kecil ini dengan kasihan.Tiba-tiba saja Jihan menyentuh lengannya yang memar juga karena Abian. "Kenapa luka seperti ini sulit hilang?"Jihan berhasil menarik perhatian Bella hingga melirik ke arah tangannya. Mata Bella dan dirinya saling bertemu. Jihan langsung tersenyum dan menunjuk luka di tangan Bella."Kita punya luka yang sama. Warna rambut kita juga sama, apakah nama kita juga sama?" Jihan berusaha memancing dan mendapat gelengan kepala dari Bella.Sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung daycare. Pria mengenakan stelan jas abu itu mulai keluar dan memandang ke dalam daycare dengan dahi mengerut. Bude Nisa yang mengenali pria tersebut langsung tersenyum."Pak Darren sudah datang, Bella mau langsung dibawa pulang sekarang?" tanya Bude ramah pada ayah tunggal dari Bella ini."Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren dengan ekspresi terkejut, "Bella tak pernah mau dekat dengan orang lain."Sementara Jihan tersenyum dan kembali bicara. "Namaku Jihan, kalau nama kamu siapa? Bisa ditulis saja pakai jari."Jihan sudah mengulurkan telapak tangannya, siap untuk menjadi papan tulis dadakan. Tapi, Bella tak kunjung menuliskan nama pada kulitnya. Hal itu membuat Jihan terdiam, sepertinya ia baru saja gagal mendekati gadis kecil ini."Bella," ujar gadis kecil ini sangat pelan.Mata Jihan terbuka lebar. Apa katanya tadi? Bella? Gadis kecil ini ternyata bisa bicara, yang dikatakan oleh Bude-nya sama sekali tidak benar. Darren tak kalah terkejut dan mata menyorot serius pada Jihan."Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren masih dengan tatapan serius ke arah Jihan yang sibuk bercengkrama bersama Bella.Bude Nisa yang ikut terkejut melirik ke arah Darren. "Namanya Jihan, dia bukan pengasuh tapi anak tiri dari kakakku, Pak."Netra Darren menatap Bude Nisa tajam. "Apa yang kau lakukan? Bukan pengasuh tapi membiarkannya mendekati Bella.""Tapi Pak Darren. Selama ini, tak ada pengasuh mana pun yang berhasil dekat dengan Bella, kan?"Darren membisu begitu mendengar pertanyaan dari pemilik Daycare ini. Bella juga tak pernah bicara karena trauma masa lalu, bahkan terhadap Darren pun tidak. Tapi ... di hadapan wanita bernama Jihan itu, sang anak begitu mudahnya bicara."Apakah Anda masih mencari orang untuk merawat Bella, Pak?" tanya Bude Nisa membuat Darren menyipitkan mata."Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?"Bude Nisa tersenyum. "Aku rasa hanya Jihan orangnya, yang bisa membuat Bella perlahan terbuka dan mau bicara kembali. Tidakkah Pak Darren ingin mem
"Menjadi ibu pengganti Bella? Tapi Pak, aku ke sini bekerja untuk jadi pembantu," Jihan bersikukuh pada pendiriannya.Darren menyeringai. "Siapa yang mengatakannya? Kalau aku butuh pembantu.""Bude-ku, pemilik Daycare," sahut Jihan.Kepala Darren nampak mengangguk mengerti. Tapi mulut tak juga bicara kembali, hingga membuat Jihan merasa sangat membutuhkan keputusan. Mata Darren memperhatikan Jihan cukup serius."Sebutkan saja berapa nominal uang yang kau inginkan. Jangankan rupiah, dollar juga aku bersedia membayarmu," ujar Darren masih berusaha membujuk Jihan."Sepertinya Pak Darren salah paham--""Salah paham dari mana? Jelas-jelas kau setuju aku bawa untuk jadi ibu Bella," potong Darren.Jihan menarik napas cukup panjang. Sepertinya ia butuh tenaga lebih untuk berdebat dengan pria yang Jihan kira bakal jadi majikannya, rupanya justru ingin menjadikan dirinya sebagai istri. "Kata Bude--""Aku tidak peduli. Kau hanya harus tahu satu hal, aku tidak sembarangan membawa wanita ke rumah.
"Hanya dengan status istri dariku, harusnya cukup bagimu untuk pamer pada mereka," tutur Darren lagi.Meski Jihan berpikir tak akan sudi untuk bertemu lagi, jika sampai harus berpapasan, Jihan memilih memutar jalan. Tapi, sampai kapan ia harus menghindar? Sepuluh tahun? Hingga tutup usia? Rasa sakit di hati begitu membekas dengan baik. Sampai Jihan rasanya ingin menenggelamkan Yuna dan Abian dari dunia."Hanya ibu pengganti saja kan, Pak?" tanya Jihan memastikan.Tangan Jihan mengambil pena dari Darren, lantas mulai berjongkok hanya untuk menorehkan secuil tanda tangannya pada kertas ini. Tapi, tanggung jawabnya sangat luar biasa. Menjadi ibu dari anak yang berkebutuhan khusus, serta istri dari pengusaha kaya yang kerap muncul di berbagai media.Mata Jihan menatapi kontrak yang telah sah ditanda tangani oleh kedua pihak dengan ekspresi terkejut. Jihan telah lalai. Jihan lupa siapa sosok Darren Gerald di khalayak umum."Pak. Apakah aku harus tampil di berbagai acara sebagai istri bersa
"Pak Darren ... tolong pakai dulu bajunya," ujar Jihan mengingatkan sembari menggeliat, berusaha lepas tanpa membuka matanya.Darren menatap sinis. "Sejak tadi aku pakai baju, tidak polosan. Pikiranmu saja yang kotor."Tubuh Jihan sedikit terhuyung ketika pinggangnya dilepaskan kasar oleh Darren. Perlahan Jihan mulai melepaskan kedua tangannya, mata ini menatap Darren yang memakai kaos putih. Darren sendiri tampak memilih set piyama tidur, lantas mulai memakainya."Mau sampai kapan melihatku seperti itu?" sindir Darren berbalik dan menatapnya lagi."Seka air liurmu," titah Darren dengan nada datar.Jihan tertegun dan merasa sangat malu, sebab ketahuan melihat Darren dengan pandangan terpaku. Kemudian tangan benar-benar menyeka bibirnya, padahal Darren hanya menyindir saja. Hal itu membuat mata Darren menyipit melihat tingkah dari Jihan.Tapi, Darren tampak mengabaikannya dan mulai bicara, "meski aku membawamu dan memberimu status ibu untuk Bella. Bukan berarti kau bisa melewati batas.
"Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu."Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan."Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontrakn
Makan siang dengan ... Darren Gerald. Otak Jihan dipenuhi oleh perkataan itu. Sementara Abian sudah melempar senyum pada Darren dengan tangan menggenggam erat dirinya. Hingga mata Darren menyipit."Bisa lepaskan tanganmu? Wakil ketua tim," tutur Darren dengan nada dingin.Jihan menatap mantan suaminya ini. Wakil ketua tim? Bukankah sewaktu di perusahaan lama, Abian adalah seorang manajer. Kenapa bisa diturunkan begitu perusahaan diakusisi? Sementara Abian menatap sedikit kesal, tapi tak bisa sepenuhnya menunjukan ekspresi itu pada Darren."Maaf Pak Darren. Ini istri saya, dia datang karena ada janji untuk makan siang dengan saya, iya kan Jihan?"Darren tersenyum sinis atas pengakuan dari Abian. "Istri? Apa kau pria yang suka menjilat ludah sendiri?"Abian masih tetap tersenyum. "Maksudnya bagaimana Pak Darren?"Tubuh Darren mendekat hanya untuk melepaskan genggaman Abian padanya dengan paksa. Lantas, tangan ini mulai digenggam oleh Darren. Rasa hangat yang Jihan rasakan membuat netran
Jihan tertegun dengan tatapan dari ibu Darren yang terang-terangan tidak menyukai dirinya. Harusnya tadi Jihan tidak usah bersuara. Sementara Darren melirik ke arahnya dengan serius."Bawa Bella ke kamarnya dan tidurkan lagi jika masih ingin tidur," titah Darren membuat Jihan mengangguk.Tubuhnya mulai berjalan melewati ibu Darren, meski Jihan harus menundukkan wajah dan terus menuntun Bella. Sementara ibu Darren yang bernama Stella itu, melemparkan tatapan tajam pada Jihan yang menaiki anak tangga."Katakan, dari mana kau dapatkan wanita miskin itu," celetuk Stella berhasil membuat hati Jihan mencelos.Kata miskin itu tetap tak akan hilang, meski Jihan menikah secara resmi dengan Darren sekali pun. Jihan menyadari hal itu. Tapi, berhubung Jihan dengan Darren hanya kontrak saja, tak benar-benar ada ikatan serius. Jihan berusaha mengeluarkan omongan Stella dari otaknya.Darren memastikan Jihan sudah menjauh dulu baru bicara, "tidak penting dari mana asalnya, aku hanya butuh kemampuanny
"Bercerai?" ulang Darren dengan mata mendelik tajam.Jihan sendiri sedikit merinding mendapat respon ini setelah menawarkan sebuah perceraian, tepatnya belum ada satu jam setelah pernikahan. Bella sendiri berhenti bermain ponsel, kepala mendongak dengan mata menatapnya. Cerai. Kata itu menghuni otak Bella dengan baik.Hingga tak lama Bella menangis keras, membuat Jihan tersentak. Sementara Darren mendengkus kesal dan ingin mengambil alih Bella dari Jihan. Tapi, Bella malah berbalik dan memeluk dirinya erat, bahkan ponsel terjatuh ke bawah kursi.Jihan panik, sementara tangan Darren terulur untuk mengelus punggung Bella. Dapat Jihan lihat, Darren menatap begitu lembut pada Bella. Sisi yang pertama kali dirinya lihat."Mama sama Papa tidak akan cerai Sayang," tutur Darren dengan pelan.Jihan tertegun. Benar, ia telah lupa, meski Bella hanya anak kecil tapi memiliki cara berpikir seperti orang dewasa. Jihan telah melakukan kesalahan hingga membuat mata Darren menajam saat menatapnya. Jih
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun