"Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.
Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu."Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan."Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontraknya. "Apakah keputusanku berlaku di sini?"Mata Darren masih menyorot tajam. "Ya, benar. Meski kau menolak pun, aku akan tetap memaksamu untuk datang.""Baiklah."Ya, Jihan mulai menyadari. Kalau sejak ia menorehkan tanda tangan di atas kontrak itu, maka Jihan akan terjerat oleh Darren. Jadi, berusaha menolak pun pria itu akan memaksa."Ayo, kita ke kamar sekarang, gosok gigi kemudian tidur," ajak Jihan pada Bella."Berhenti," titah Darren membuat Jihan menoleh, "kau ke ruang kerjaku sekarang.""Mau membahas masalah kontrak ... dokumen itu?" Jihan meralat, sebab tak mungkin terang-terangan membahas di depan Bella."Hal yang boleh dan tidak untuk kau lakukan di rumah ini."Di ruang kerja yang sangat luas ini, Jihan duduk dalam diam. Tapi, mata menatap tiap pelosok ruangan yang banyak dihuni oleh buku-buku. Pintu terbuka dan Darren memasukinya membuat Jihan menoleh."Baca ini dan terapkan mulai besok." Darren melemparkan dokumen padanya, kemudian mulai duduk di sofa depannya.Jihan mulai membuka halaman pertama, tapi mata langsung menatap Darren. "Pak, kenapa jadi seperti ini. Bukankah aku di sini hanya untuk mengasuh Bella?"Darren sedikit menyenderkan punggung pada sofa, tangan saling menggenggam di atas pangkuan. Mata menatap dingin ke arah Jihan."Lupa? Kalau kau ini bukan hanya seorang ibu, tapi istri juga?"Jihan membisu. Peraturan pertama tertulis, harus menjadi pendamping saat Darren mengikuti acara penting hingga pertemuan keluarga. Itu sudah sangat memberatkan bagi Jihan. Dirinya hanya wanita dari kalangan orang miskin, tiba-tiba bergaul dengan keluarga kaya, itu sangat tidak cocok dengan Jihan."Selama satu minggu ini, aku mendatangkan guru untukmu. Kau bisa belajar menjadi wanita elegan darinya," ujar Darren seperti bisa menebak pikirannya.***Kaki Jihan memasuki perusahaan keluarga Gerald dengan tangan menggenggam erat bekal yang dibuat oleh koki rumah. Mata Jihan menangkap beberapa karyawan yang sibuk berlalu lalang, tangan mereka menggenggam dokumen. Andai, Jihan tidak dipaksa menikah dengan Abian, juga pria itu tidak terpaksa. Maka, mungkin Jihan masih lajang dan sekarang seperti mereka.Mengejar karir dan mengesampingkan urusan pernikahan. Sayangnya, semua itu sudah menjadi kenangan, yang cukup buruk bagi Jihan. Helaan napas terdengar darinya, meratapi nasib sekaligus berusaha menenangkan diri dari rasa gugup."Selamat siang," sapa Jihan pada dua wanita di lobi."Siang juga, ada yang bisa kami bantu Nona?" Salah satu wanita dengan set pakaian warna biru ini bertanya sembari tersenyum.Jihan melirik sekeliling dahulu, kemudian sedikit berbisik, "ruang kerja pak Darren, ada di lantai berapa ya?"Seketika ekspresi wajah wanita ini langsung berubah, tak ada lagi senyum yang Jihan dapatkan. Sudah Jihan duga. Meski penampilan dirinya yang cukup berkelas ini, tetap tidak bisa meyakinkan bagian resepsionis untuk meloloskan dirinya."Apakah Nona sudah membuat janji? Jika belum, lebih baik Nona datang lain kali saja," ujar wanita ini berusaha tersenyum dan bersikap ramah.Jihan hendak melangkah pergi, tapi tak jadi. "Itu, bisakah beri tahu pak Darren, kalau aku datang ke mari."Wanita ini tersenyum, tapi mata jelas menatap tak suka. "Pak Darren saat ini sedang sibuk, bagaimana kalau Nona datang lain kali? Atau telepon sekretaris pak Darren lagi untuk membuat janji."Jihan menatap bekal di tangannya dengan miris. Jangankan sekretaris, nomor ponsel Darren saja, Jihan tidak memilikinya. Apalagi kan, ponsel milik Jihan sudah ketinggalan versi, suka eror juga. Jadi, jarang Jihan gunakan dan dibawa juga."Tidak bisakah telepon sebentar? Pak Darren pasti akan mengizinkan aku untuk masuk," pinta Jihan berusaha tebal muka."Baik, tunggu sebentar ya Nona."Jihan tersenyum dan menunggu dengan mata mengawasi. Wanita ini sedang berbicara di telepon dan baru saja menyebut Jihan sebagai pengantar bekal. Ketika selesai menutup telepon, Jihan menatap penuh harap."Bagaimana? Apa aku diizinkan untuk masuk?" tanya Jihan sangat antusias.Wanita ini tersenyum. "Maaf Nona. Pak Darren tidak merasa memesan makanan, jadi lebih baik Nona kembali saja."Jihan menatap bekal dengan sedih. "Lalu bagaimana dengan makanannya?""Begini saja, bagaimana kalau Nona letakkan saja di sini, dan biarkan kami yang membayar?" tawar wanita satunya lagi.Jihan menurut dan menyerahkan bekal makan milik Darren pada kedua wanita ini. "Tolong berikan ini pada Pak Darren ya.""Totalnya berapa Nona?"Jihan langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah. Aku bukan kurir pengantar makanan, bekal ini dibuat dari bahan yang dia beli sendiri, jadi tidak usah bayar."Jihan mulai melangkah pergi dengan benar-benar kecewa. Sementara perkataannya membuat dua wanita tersebut saling melirik dengan heran. Jihan menarik napas cukup panjang."Jika kau berhasil masuk ke ruanganku, maka aku akan melepaskanmu dari semua acara yang harus kau datangi."Ya, itulah taruhan yang Jihan dan Darren buat. Tapi, siang ini Jihan gagal. Jangankan memasuki ruang kerja, berkeliaran dan melewati semua divisi saja tidak diperbolehkan. Jadi, Jihan hanya harus menerima kekalahan dan menyiapkan diri jika suatu waktu Darren mengajaknya ke acara-acara."Sedang apa kau di sini Jihan?"Kaki Jihan terhenti mendadak, sangat berat baginya untuk kembali melangkah. Perlahan kepalanya menoleh, padahal sudah tahu siapa yang mengajukan pertanyaan. Tapi, Jihan masih menatap pada orang yang berdiri di belakangnya. Dia adalah ... Abian.Mata Abian melirik sekeliling, kemudian berjalan menghampiri Jihan yang masih membeku di tempat. Abian mulai menelisik penampilan Jihan hari ini. Dress warna peach dengan motif bunga, kaki mengenakan flatshoes warna hitam, wajah Jihan pun sedikit dipoles make up."Wih, dipungut om-om di jalan mana?" tanya Abian dengan nada dan tatapan merendahkan.Jihan langsung melempar tatapan kesalnya. "Apa maksudmu? Apa aku seburuk itu di matamu?"Abian makin mendekat dan dengan tidak tahu dirinya menghirup aroma tubuh Jihan. Tentu saja Jihan langsung menghindar, sampai mengundang Abian untuk tertawa mengejek. Tepat saat itu, pintu lift terbuka dan beberapa karyawan yang berpapasan langsung menyapa."Pak Darren."Mendengar nama suami kontrak disebut, Jihan langsung menoleh dengan pandangan antusias. Jihan merasa hanya pria itu yang bisa menyelamatkannya dari Abian. Apalagi tiba-tiba saja Abian menggenggam tangannya, Jihan segera melepas."Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan tidak suka."Sudahlah tidak usah jual mahal, kau ke sini untuk bertemu denganku kan? Kau pasti sudah dengar kabar kalau aku dipindahkan ke kantor ini," tutur Abian begitu percaya diri.Mata Jihan mengikuti Darren yang berjalan mendekat. Tapi, Jihan baru saja diabaikan oleh Darren. Pria itu, berjalan hingga melewati Jihan."Lepas!" Jihan kesal pada Abian yang masih menggenggam tangannya."Kau ke sini meminta untuk rujuk kan? Yuk, kita ke pengadilan agama--""Jihan," panggil Darren dengan tubuh berbalik dan menatapnya.Abian tanpa melepaskan genggaman pada tangannya mulai menyapa, "Pak Darren."Tapi, mata Darren sama sekali tak tertarik pada Abian. "Kenapa masih di situ? Bukankah kau datang untuk makan siang denganku?"Makan siang dengan ... Darren Gerald. Otak Jihan dipenuhi oleh perkataan itu. Sementara Abian sudah melempar senyum pada Darren dengan tangan menggenggam erat dirinya. Hingga mata Darren menyipit."Bisa lepaskan tanganmu? Wakil ketua tim," tutur Darren dengan nada dingin.Jihan menatap mantan suaminya ini. Wakil ketua tim? Bukankah sewaktu di perusahaan lama, Abian adalah seorang manajer. Kenapa bisa diturunkan begitu perusahaan diakusisi? Sementara Abian menatap sedikit kesal, tapi tak bisa sepenuhnya menunjukan ekspresi itu pada Darren."Maaf Pak Darren. Ini istri saya, dia datang karena ada janji untuk makan siang dengan saya, iya kan Jihan?"Darren tersenyum sinis atas pengakuan dari Abian. "Istri? Apa kau pria yang suka menjilat ludah sendiri?"Abian masih tetap tersenyum. "Maksudnya bagaimana Pak Darren?"Tubuh Darren mendekat hanya untuk melepaskan genggaman Abian padanya dengan paksa. Lantas, tangan ini mulai digenggam oleh Darren. Rasa hangat yang Jihan rasakan membuat netran
Jihan tertegun dengan tatapan dari ibu Darren yang terang-terangan tidak menyukai dirinya. Harusnya tadi Jihan tidak usah bersuara. Sementara Darren melirik ke arahnya dengan serius."Bawa Bella ke kamarnya dan tidurkan lagi jika masih ingin tidur," titah Darren membuat Jihan mengangguk.Tubuhnya mulai berjalan melewati ibu Darren, meski Jihan harus menundukkan wajah dan terus menuntun Bella. Sementara ibu Darren yang bernama Stella itu, melemparkan tatapan tajam pada Jihan yang menaiki anak tangga."Katakan, dari mana kau dapatkan wanita miskin itu," celetuk Stella berhasil membuat hati Jihan mencelos.Kata miskin itu tetap tak akan hilang, meski Jihan menikah secara resmi dengan Darren sekali pun. Jihan menyadari hal itu. Tapi, berhubung Jihan dengan Darren hanya kontrak saja, tak benar-benar ada ikatan serius. Jihan berusaha mengeluarkan omongan Stella dari otaknya.Darren memastikan Jihan sudah menjauh dulu baru bicara, "tidak penting dari mana asalnya, aku hanya butuh kemampuanny
"Bercerai?" ulang Darren dengan mata mendelik tajam.Jihan sendiri sedikit merinding mendapat respon ini setelah menawarkan sebuah perceraian, tepatnya belum ada satu jam setelah pernikahan. Bella sendiri berhenti bermain ponsel, kepala mendongak dengan mata menatapnya. Cerai. Kata itu menghuni otak Bella dengan baik.Hingga tak lama Bella menangis keras, membuat Jihan tersentak. Sementara Darren mendengkus kesal dan ingin mengambil alih Bella dari Jihan. Tapi, Bella malah berbalik dan memeluk dirinya erat, bahkan ponsel terjatuh ke bawah kursi.Jihan panik, sementara tangan Darren terulur untuk mengelus punggung Bella. Dapat Jihan lihat, Darren menatap begitu lembut pada Bella. Sisi yang pertama kali dirinya lihat."Mama sama Papa tidak akan cerai Sayang," tutur Darren dengan pelan.Jihan tertegun. Benar, ia telah lupa, meski Bella hanya anak kecil tapi memiliki cara berpikir seperti orang dewasa. Jihan telah melakukan kesalahan hingga membuat mata Darren menajam saat menatapnya. Jih
"Namamu Jihan kan?"Jihan yang semula sibuk menyuapi Bella saja, perhatiannya langsung teralihkan pada wanita berwajah jutek tadi. Jihan memilih tersenyum."Benar," sahutnya.Wanita ini menyeringai. "Kau mengenal Darren di mana? Permalam kau dibayar berapa?"Seketika senyum di wajah Jihan langsung luntur. Jika saja wanita yang baru saja bicara dengannya hanya orang asing, maka Jihan akan menegur. Sayangnya ... wanita ini bagian dari keluarga Darren dan Jihan tak ada keberanian sama sekali. Hingga Jihan tersentak saat tangannya digenggam oleh Darren."Luna, jangan keterlaluan bisa? Aku setuju ke sini bukan hanya ingin mengenalkannya pada keluarga, tapi juga membantu bisnis suamimu yang terancam bangkrut ini," sungut Darren membuat Jihan membisu dengan pandangan takjub."Membantu? Bukankah itu memang sudah sewajarnya, sebab Daniel kan kakakmu," sahut wanita yang ternyata bernama Luna, tapi nampak tak takut meski berhadapan dengan Darren.Bahkan perdebatan terus saja berlanjut, bukan han
"Aku ingin tidur di kamar ini."Jihan membisu. Jika Darren menginginkan kamar ini, maka artinya Jihan harus pergi. Membiarkan sang pemilik aslinya menempati kamar ini. Jihan langsung mengangguk mengerti."Baiklah kalau Pak Darren ingin tidur di sini."Ketika tubuh Jihan berjalan ke arah pintu, tangan Darren langsung meraihnya. "Kau mau ke mana?"Jihan menatap tangannya yang masih dicengkram ini. "Aku mau tidur di kamar Bella.""Kau di sini saja," sahut Darren.Jihan langsung menatap sofa di sisi ranjang, bentuknya tidak begitu panjang. Sekali pun tubuh Jihan tidak terlalu tinggi, tapi jika tidur di atasnya pasti tak cukup. Kemudian pagi harinya punggung akan terasa sakit.Terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri. Jihan tak menyadari tatapan Darren yang begitu tertarik pada tubuhnya hingga berakhir dengan menelan ludah. Jihan baru tertegun saat Darren mendorongnya ke arah sofa."Pak, aku tidak bisa tidur di--"Mata Jihan melotot sempurna, ketika Darren menyudutkannya ke sofa dengan bi
Jihan benar-benar terbuai oleh perbuatan Darren yang menggila pada tubuhnya. Namun, Jihan berusaha keras untuk tidak menunjukannya, hingga membuat Darren merasa di atas angin. Jihan menutup rapat mulutnya dengan cara menggigitnya."Elina," kata itu lolos dari mulut Darren dengan penuh hasrat di telinga Jihan.Hanya dengan satu kata itu saja. Semua kenikmatan yang Jihan rasakan lenyap sudah. Tergantikan oleh keheranan luar biasa. Siapa itu Elina? Hati Jihan bertanya-tanya hingga tangan Darren yang berniat menggenggam pinggangnya. Jihan gunakan kesempatan itu untuk mendorong Darren darinya.Darren sendiri terkejut saat Jihan berhasil terlepas, terburu Jihan menarik asal pakaian di lantai kemudian berlari dan mengunci diri di kamar mandi. Tanpa memakai apa pun Darren juga terburu mengejarnya."Jihan, buka pintunya," pinta Darren sembari mengetuk permukaan pintu kamar mandi cukup keras."Jihan kau dengar tidak? Buka pintunya cepat!"Jemari Jihan mencengkram erat baju di tangannya, perlaha
"Kau mau bunuh diri karena aku menyentuhmu, iya!" seru Darren kesal.Bukannya menjawab, Jihan malah menunjuk pada pintu kamar yang terbuka. Pembantu yang semula nampak cemas dan ingin ikut mencegah Jihan bunuh diri, sekarang malah menguping. Darren yang mengerti langsung mendengkus, berjalan pergi dan menutup pintu.Meski mata Darren sempat menatapi wajah para pembantu, hingga membuat mereka bergegas menjauh. Darren sendiri mendekat dan menatap sengit pada Jihan. Apalagi saat melihat mata sang istri yang bengkak karena kelamaan menangis."Jelaskan," titah Darren duduk di atas ranjang.Jihan hanya diam saja, tak ada niatan untuk menjawab. Bahkan, sekarang kepala Jihan melengos dengan mata seperti tak sudi menatap Darren. Hal itu membuat sang suami marah.Hingga Darren bangkit hanya untuk menggiring Jihan dan terjatuh ke sofa kamar. Jihan melotot terkejut dan terburu mendorong pundak Darren, tapi suaminya malah mencengkram kedua tangannya dan menatap tajam. "Bapak mau apa!" Jihan jelas
Yohan menatap Susan dengan pandangan menyelidik. "Jangan bilang, kau sejak muda mengabdi pada tuanmu, menolak menikah. Kau tertarik pada Pak Darren?"Susan menggelengkan kepala. "Tidak, bukan seperti itu.""Wah parah. Nyonya kau harus hati-hati, bisa saja suatu hari Susan menarik suamimu ke kamar saat kau tak ada," tuding Yohan.Susan menatap terkejut. "Tidak Nyonya. Saya tidak ada niatan seperti itu. Saya masuk ke rumah ini karena ingin membalas budi pada Tuan."Balas budi. Jihan teringat dengan pernikahannya yang pertama. Semua dimulai dengan kata balas budi, hingga berujung menikah dan akhirnya disakiti. Jihan menatap Susan yang terus saja menggeleng dengan wajah takut ini.Jihan tersenyum. "Bagaimana kalau kita tukar status saja? Jangankan kamar, status istri saja aku bisa berikan."Susan yang mendengar hal itu langsung berlutut, bahkan memohon ampun pada Jihan dan Darren. Sementara mata Darren melotot sangat tajam begitu mendengar ucapannya."Apa maksudmu? Bertukar posisi?" Darre
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun