Darren segera menjauh darinya. Bella segera berlari ke arah Jihan dan tampak menatapi Jihan dari atas sampai bawah. Hingga kemudian Bella mengacungkan jempol, membuat Jihan tersenyum lebar."Mama cantik tidak?" tanya Darren membuat Bella mengangguk antusias."Coba bilang mama cantik," pinta Jihan sembari mengelus kepala putrinya.Bella terdiam sejenak, sementara Darren langsung menatapnya. Biasanya Bella akan langsung berlari pergi karena dipaksa melakukan hal yang tidak diinginkan. Contohnya memaksa Bella untuk bicara.Namun, kali ini Bella tersenyum lebar. "Cantik."Darren melotot terkejut, tapi kemudian langsung menggendong Bella karena merasa senang. Bella telah belajar kata baru, apalagi bicara dengan ekspresi ceria. Darren menatapnya dan merasa tidak salah pilih."Kau akan mengantar Mama dan papa ke luar rumah kan?" tanya Darren membuat Bella mengangguk.Darren tersenyum. "Coba bilang papa."Permintaan dari Darren sepertinya sangat sulit. Atau memang Bella tidak ingin melakukan
Yuna terkejut saat tubuh baru saja didorong hingga terhuyung ke belakang. Jika tidak membentur dinding, maka akan terjatuh. Mata Darren menatap sangat tajam ke arah reporter yang kabur takut, tetap berdiri di depan Darren malah bergetar."Pak Darren, saya tidak sengaja memotret. Biar saya hapus fotonya," tutur sang reporter.Ketakutan yang luar biasa, membuat tangan menjatuhkan ponsel. Tubuh berjongkok dengan jemari siap mengambil, namun kaki Darren lebih dulu menginjak ponsel. Meski terinjak, tapi reporter itu tak berani mengambil. Sementara Darren menatap marah pada Yuna yang diam-diam ingin pergi."Aku akan memanggil atasanmu, Yuna."Yuna menoleh sangat terkejut. "Untuk apa Pak?"Darren menyeringai. "Menurutmu?"***Jihan terburu meninggalkan lantai bawah yang dijadikan tempat acara pesta. Sekarang ia menuju lantai paling atas, ruangan Darren tepatnya. Pasalnya tadi sekretaris suaminya sempat memberi tahu Yuna membuat masalah.Jihan menetralkan napasnya yang memburu karena berlari.
Setelah melakukan pergulatan sengit dalam beberapa menit. Kini Jihan duduk tegak, sementara Darren membantunya menarik resleting. Darren menatap leher Jihan antusias, kemudian tanpa ragu langsung menyesap. Tentu membuat Jihan beringsut."Bukankah kita sudah selesai? Kau mau apa lagi Pak?" tegurnya.Darren menyeringai. "Sepertinya kau harus berganti gaun juga."Jihan menoleh. "Kenapa?"Darren menatap lekat penampilan Jihan yang sedikit berantakan, apalagi bibir. Lipstiknya sudah termakan oleh Darren semua. Darren menyentuh beberapa titik di kulit leher Jihan."Aku meninggalkan beberapa tanda di sini."Jihan melotot terkejut. "Kau bilang apa?"Mata Darren menatap serius. "Kau cukup berinisiatif, tentu saja aku suka dan lupa kalau kita masih harus menemui tamu."Jihan menarik napas. "Kalau begitu, pending saja. Suruh penata rias jangan ke sini, biar aku kembali ke rumah duluan."Tangan Darren melingkar di perutnya. "Mana bisa begitu. Kau kan tokoh utama di acara ini."Tokoh utama? Benark
"Apa yang kalian berdua lakukan?" tanya Stella dengan mata menyipit.Darren mengusap bibir dan menjawab ketus, "hal yang dilakukan suami istri, masa kau tidak mengerti Ibu Stella."Tangan Stella langsung mengepal mendengar cara bicara Darren yang masih belum berubah juga. Sementara Jihan memilih sedikit mundur dan menyembunyikan dirinya pada Darren. Namun ibu mertuanya ini langsung menatapnya tajam."Kau menggoda anakku, dan kau sekarang masih punya urat malu?" sindir Stella.Darren menghela napas mendengar sang ibu yang dari dulu tak pernah berubah. Menindas menantu hanya karena bukan pilihan Stella. Sama seperti istri pertama dari Darren, Elina."Wajar istri menggoda suaminya sendiri. Kenapa kau mempermasalahkan--"Darren berhenti bicara, mata menyorot tajam pada pakaian tidur yang dikenakan oleh Stella. Jihan sendiri membisu, meski mengenali baju yang dipakai. Baju miliknya di antara barisan baju belum dipakai."Siapa yang memberimu izin untuk membuka kamarku? Membuka lemari dan me
Jihan memilih lanjut membantu memasak saja. Sementara Stella pun nampak tak ingin bicara lagi. Namun, anehnya malah tak protes dengan keberadaannya di dapur.Hingga tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Lebih tepatnya suara kaki kecil yang bersemangat ingin sarapan. Kepala Jihan langsung menoleh kemudian tersenyum, namun ekspresinya berubah datar saat melirik pada Darren."Kau masih belum pergi, Ibu Stella?" sindir Darren membuatnya terdiam dan hanya fokus pada Bella yang memeluk kakinya."Aku mana bisa pergi begitu saja. Padahal kau belum sarapan," sahut sang ibu.Jihan mengelus kepala Bella. "Sama Papa dulu ya, mama lagi masak soalnya. Takut minyaknya muncrat."Bella langsung menggeleng keras dan memeluk kakinya lagi. Jihan tersenyum, kemudian hanya membiarkan saja dan lanjut masak. Stella menatap Jihan yang nampak tak merasa risih ditempeli seperti itu. Sementara Darren tiba-tiba saja mendekat dan menyender di dinding dapur di belakangnya."Kau sedang
Jihan akhirnya menatap pada Darren yang perlahan mendekat dan memisahkan Bella darinya, dengan cara menggendong sang anak. Meski Bella terlihat tak ingin berpisah darinya. Mata Jihan bertemu dengan dokter ini, kemudian saling tersenyum."Bella sekarang naik 5 kg," tutur Darren memberi tahunya.Mata Jihan berbinar. "Sungguh? Naik sebanyak itu?""Iya, semua ini berkatmu," sahut Darren sembari mengelus kepalanya, Jihan terkekeh melihat Bella dan mengusap wajah putrinya.Bastian terdiam, kemudian tersenyum melihat cara Darren memperlakukan istri baru yang dimanfaatkan untuk merawat Bella. Juga digandeng ke semua acara seperti patung. Justru, di mata Bastian, mereka bertiga nampak begitu bahagia.Setelah melakukan pemeriksaan. Mereka bertiga naik mobil, menuju rumah untuk pulang. Bella duduk di pangkuannya dengan tenang, sementara Darren mengemudi. Namun, tangan sering mengelus kepala Bella. Hingga kali ini, tangan Darren salah mengelus.Kepala Jihan menoleh. "Mas Darren, kau sedang apa?"
Jihan menatap wajah Darren yang nampak mempermainkannya, membuat Jihan tersenyum. "Tolong jangan menjadikan hal itu sebagai bahan candaan Pak."Darren menyeringai, kemudian mulai fokus bekerja lagi. Jihan menurunkan pandangannya. Benar, mana mungkin Darren mau punya anak darinya. Apalagi Jihan sempat melakukan suntik KB, setelah disentuh oleh Darren beberapa kali. Padahal saat itu, Jihan sangat takut bertemu dokter kemudian malah memberi tahu kalau dirinya hamil. Ternyata tidak, setelah melakukan pemeriksaan. Dokter langsung memberinya suntik KB. Darren pun mengetahui hal itu."Kau sungguh kepikiran dengan ucapanku?"Kepala Jihan terangkat dan menatap Darren yang bertanya. "Sedikit.""Buat apa kau memikirkan hal itu? Padahal aku bercanda saja." Dan bagi Jihan, itu terdengar serius."Aku hanya ...," jeda Jihan dan menatap Bella, takut ikut mendengarkan, "aku takut kalau beberapa kali itu membuatku isi."Darren langsung berhenti bekerja, mata sedikit terkejut. Namun sebisa mungkin bers
"Kau tanya apa yang aku lakukan? Aku mendinginkan kepalamu," sungutnya kesal, bahkan sampai mencengkram cup kopi sangat erat.Abian mendengkus. "Kau gila!""Kau sendiri yang gila. Berani sekali kau menuduhku membunuh anak sendiri, sementara kau membunuh kami secara perlahan!" seru Jihan tertahan.Saat ini, banyak karyawan yang mulai mengalihkan kegiatan makan mereka dan menatap pada Jihan. Mereka berbisik sebab mengenali dirinya. Jihan berusaha menahan amarahnya meski sangat ingin diluapkan sejak lama. Namun, Jihan memilih beranjak pergi."Sial! Kau mau ke mana!" Abian menangkap tangan Jihan dan mencengkram erat."Lepaskan aku, sebelum kau menyesal," ancam Jihan dengan mata melotot marah.Abian menyeringai. "Sudah dapat tahta ya? Makanya berani memberontak padaku. Dengar Jihan, direktur itu pria yang suka gonta-ganti pasangan. Dari pada bersamanya dan akan dicampakkan, lebih baik kau bersama denganku.""Bagaimana?" tanya Abian sembari mencolek dagunya, tentu membuatnya berusaha menghi
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun