Sesampainya di rumah, Silvia langsung menuju kamarnya di lantai atas. Dia berusaha memejamkan mata dengan berbaring di tempat tidur. Meski begitu, dia tidak bisa tertidur, karena bayangan saat Pazel mencoba untuk menciumnya secara paksa masih terpampang di pelupuk matanya.
Dadanya sesak, bulir bening keluar dari matanya. Hatinya terasa panas, sepanas saat bulir matanya memaksa untuk keluar. Sedikit pun dia tidak menyangka kalau ternyata orang yang pernah sangat ia cintai adalah orang yang berperilaku buruk. Bahkan ia tidak merasa segan untuk melecehkan mantan istrinya sendiri.Setelah menyeka air matanya dia duduk dan melihat tas kecil yang ia buang sembarang tempat tadi. Dia mengatur napasnya, karena dia mau menelepon seseorang. Dia tidak mau suaranya ketahuan habis menangis. Dia berjalan dan mengambil tas kecil yang tergeletak di atas meja riasnyaSebuah ponsel dikeluarkan dari dalam tas. Matanya berkerut melihat ada tiga puluh panggilan tidak terjDua buah rumah dari lokasi pesta mobil mereka berhenti. Acara di selenggarakan di jalan depan rumah Pazel. Para tamu undangan sudah tampak berlalu lalang.Silvia dan Dokter Dana turun dari mobil mewahnya. Semua mata tertuju padanya. Ada yang berbisik:“Itu kan mantan istrinya Pazel?”“Iya, Bu. Cantik sekali ya, dia sekarang.”“Iya. Cantik banget. Yang bersamanya itu siapa ya? Wau, ganteng banget.”“Hooh. Pasangan serasi, ya?”Para tamu banyak yang berkerumun ingin bersalaman dengan Silvia dan Dokter Dana. Karena sebagian dari tamu undangannya adalah karyawan perusahaan tempat Pazel bekerja. Banyak di antara mereka adalah karyawan lama. Tentu saja mereka mengenal Dokter Dana yang sejatinya adalah Bos mereka.Sampailah saatnya Silvia bersalaman dengan dua pengantin yang sedang berdiri di depan pelaminan menunggu para tamu. Di sana terlihat lengang, karena orang-orang lebih fokus kepada Silvia dan Dokter
“Ibu!” teriak Pazel terdengar bersamaan dengan suara dentuman keras.Silvia melihat ke belakang. Orang-orang yang ada di sekitar pelaminan itu terlihat berlari ke arah Rohanah yang tadinya berdiri di samping mempelai pria. Mereka berlari untuk memberikan pertolongan kepada Rohanah.Ternyata wanita itu sudah tergeletak pingsan. Diantara mereka ada yang mengambilkan segelas air dan ada yang mengipasnya. Tapi mereka tidak memindahkan Rohana, karena badannya yang gemuk.Pihak keluarga Rima hanya menonton saja. Mereka malu karena mantan istri Pazel datang dengan pasangan yang sangat tampan dan kaya raya.Ditambah lagi saat mertua anak saudara mereka yang tidak bisa mengendalikan diri. Muka mereka benar-benar merasa tercoreng. Bisik-bisik para tamu terdengar saling bersahutan.“Kenapa Bu Rohana sampai pingsan begitu ya, sehabis bersalaman dengan mantan istri Pazel?” tanya salah satu tamu kepada tamu lainnya.“Iy
“Dok. Sudah sore. Aku balik dulu, ya?” Waktu terasa sangat cepat. Padahal dia baru saja bermain dengan Kaila.Andai saja dia tidak ada janji dengan ayahnya untuk acara makan malam dengan keluarga Efendi, tentu dia akan berlama-lama di rumah Dokter Dana untuk bermain dengan Kaila.“Baiklah. Mari, saya akan antar kamu pulang.” “Antar ke butik saja, Dok.”“Kenapa gak sampai ke rumah? Tenang saja, aku gak bakalan nginap di rumah kamu.”“Bukan begitu, Dok. Masalahnya kalau Dokter mengantarku sampai ke rumah, takutnya tetanggaku pada ribut, Dok. Tetanggaku super usil.”(Maafkan aku para tetangga. Aku gak ada maksud untuk menjelekkan kalian. Semoga kalian mau memaafkanku. Aamiin.)“Kenapa, kamu? Habis berdo’a?” Dokter Dana heran melihat Silvia menangkupkan kedua telapak tangannya ke mukanya seperti orang yang habis berdo’a.Silvia berdiri sambil cengengesan.“He, he, nggak, Dok. Eh iya, Dok. Aku berdo’a
Setelah sampai di butik Boby, Dokter Dana langsung pulang. Silvia tidak mau diantar sampai ke dalam.Boby menghampiri Silvia yang masih berdiri di depan butiknya. “Hay, Sil. Ada apa? Kok bengong? Pulang santai berdua malah bengong kayak kesambat setan. Apa lu gak berhasil bikin Pazel cemburu? Atau malah lu yang cemburu?”“Ah gak kok, Beb. Ngapain gua cemburu, yang ada dia sama keluarga dia yang cemburu. Dan mantan ibu mertua gua pingsan di tempat melihat gue jalan sama Dokter Dana.”“Aaaw! Berita ini yang gue tunggu dari tadi.” Boby berlonjak dan memeluk Silvia.“Terus, terus, gimana lagi? Cerita dong sama gue,” rengek Boby seraya mengguncang bahu Silvia.“Lu nawarin gue masuk dulu kek!”“Oo, iya. Mari, mari, Sayangku. Aku gak sabaran mau dengar ceritalu. Kita ke ruangan gue, ya.”Boby menggiring Silvia ke dalam butiknya.Begitu sampai di ruangan Boby, mereka langsung duduk di sofa berhadap-hadap
Silvia heran, karena bau parfum orang yang ada di depannya sama persis dengan parfum yang dipakai Dokter Dana.Perlahan orang itu menurunkan bunga dari wajahnya. Akhirnya Silvia dapat melihat dengan jelas siapa orang yang ada di hadapannya.“Dokter Dana? Sedang apa Dokter di sini?” Silvia terpana dan menahan gejolak yang sedang berkecamuk di dadanya.“Aku di sini untuk bertemu dengan calon tunanganku.” “Apa? Calon tunangan? Lalu kenapa masih di sini? Air matanya akhirnya menitik di sudut matanya. Dia tersenyum kecut.Dokter Dana merasa geli melihat Silvia yang berusaha tersenyum demi menahan tangisnya. Dia tersenyum dan menyerahkan seikat bunga mawar merah ke tangan Silvia.Silvia heran dan bingung. Dia tidak mau mengambil bunga itu. Efendi Kusuma datang menghampiri mereka.“Sudahlah Dana. Kamu jangan mempermainkan calon menantuku lagi. Cukup kali ini saja kamu buat calon menantuku menangis. Ji
Silvia yang melihat kedua orang itu bertengkar seperti anak kecil pun tersenyum dan berkata.“Tidak apa-apa, Om. Ayah. Aku malah senang di perhatikan oleh dua orang ayah.” Seketika ucapan Silvia membuat mereka berhenti bertengkar.“Benar kamu tidak marah, Nak?” tanya Efendi.“Syukurlah kalau kamu sudah tidak marah lagi. Tapi sekarang Om yang marah sama kamu.”“Marah kenapa, Om?” tanya Silvia heran.“Marah karena kamu masih menyebut Papamu ini dengan sebutan Om.”Silvia pun tersipu malu. Dia tersenyum kemudian menyebut Efendi dengan sebutan Papa dengan gugup. “Nah, gitu dong, Nak. Mulai sekarang kamu biasakan memanggil kami mama dan papa.”Silvia merasa diterima di keluarga calon tunangannya. Hal yang belum pernah dirasakannya di pernikahan pertamanya.“Dan Perdana juga harus memanggil kami dengan sebutan Ayah dan Ibu,” ucap Herman seraya tersenyum.“Tentu, Ayah. Ibu,” ucap
Begitu sampai di rumah, Pazel tidak menemukan Rima di ruang tengah. Hanya ada ibunya yang sedang duduk sambil memijat kakinya yang berselonjor di atas sofa.Setelah bersalaman dengan ibunya, Pazel langsung menuju anak tangga untuk menemui istrinya. Dia yakin istrinya sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala keperluan bulan madu mereka yang rencananya akan berangkat besok pagi.Baru saja akan melangkahkan kakinya, dia dipanggil ibunya. “Pazel?”“Ya, Bu?” Pazel berpaling lagi ke arah ibunya.“Duduk di sini dulu, Nak. Ibu mau bicara sama kamu.” Dia menepuk sofa di sampingnya. Kakinya yang tadi berselonjor pun ia turunkan.Pazel pun menurut. Dia duduk di samping ibunya sambil memijit kaki ibunya.“Apa kaki ibu masih sakit?” “Ya, masih agak sakit sedikit,” jawab ibunya lirih.“Apa mau Pazel panggilkan tukang urut, Bu?” tanyanya dengan nada yang lembut. Dia menatap ibunya yang terlihat
Setelah berpeluh keringat menyalurkan hasrat mereka, akhirnya mereka kelelahan. Rima mendekap dada Pazel dan berkata dengan suara manjanya. “Aku sudah menyiapkan semua keperluan untuk bulan madu kita, Bang. Besok pagi kita tinggal berangkat saja.”Pazel baru ingat kalau dia akan membatalkan rencana bulan madunya untuk sementara waktu.“Sayang,” panggilnya perlahanDia takut akan membuat hati istrinya terluka lagi.“Ya, Sayang,” jawabnya dengan manja.Setelah menarik napas beberapa kali akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara.“Bagaimana kalau rencana bulan madu kita, kita undur dulu. Kasihan kan janin dalam kandungan kamu, lebih baik kamu banyak istirahat di rumah. Nanti kalau kamu sudah lahiran, baru kita pergi bulan madu. Dan sebagai gantinya aku akan mengajak kamu ke acara tunangan anak Bos aku di perusahaan. Bagaimana menurut kamu, Sayang?”“Tapi kita kan sudah beli tiketnya, Bang?” “Gak masalah, Sa
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami