Zara nampak tersentak sejenak saat dia membuka pintu salah satu toilet dan melihat Belinda berdiri didepan washtafel dan mengusap air matanya
Wanita itu menangis
“Nona Belinda?” Panggil Zara dengan suara pelan.
Belinda mengangkat wajahnya, menatap Zara dengan mata yang memerah. "Oh, Zara... Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini" Ucap Belinda sambil mencoba tersenyum meski air matanya masih mengalir.
Zara merasa sedikit canggung. "Apa anda baik-baik saja?"
Belinda menghela napas panjang, seolah-olah ada hal berat yang baru saja menimpanya. "Ini semua tentang Dave... Dia begitu kejam padaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia benar-benar membuatku kelelahan dengan gairah besarnya"
Zara mengigit bibir bawahnya, ada rasa perih dalam hatinya. Dia jelas paham maksud ucapan Belinda karena itu Zara tidak ingin bertanya lebih lanjut.
Zara menuju washtafel disebelah Belinda berdiri, dia mencuci tangannya dengan t
“Ummph- D-dave” Zara merintih, suaranya teredam oleh bibir Dave yang tak henti-hentinya menekan miliknya.Dia mencoba melawan, tetapi cengkeraman Dave terlalu kuat. Dia merasa napasnya terhenti, dan pikiran-pikiran tentang Belinda dan semua peringatan yang diberikan kepadanya mulai menghantui.Ingatan akan janjiannya pada Belinda terlintas di benaknya, membuat situasi ini terasa semakin berat."Dave, stophh-!!" lirih Zara dengan suara bergetar di antara cumbuan yang semakin dalam. Perasaan ketidakberdayaan mulai merayapi dirinya, tetapi dia tetap mencoba melepaskan diri.Tangan Zara mendorong dada Dave, namun usahanya sia-sia. Dave hanya mempererat cengkeramannya, seolah menantang Zara untuk mencoba lebih keras.Dave menarik dirinya sedikit untuk menatap Zara, matanya berkilat dengan kepuasan yang mengerikan. "Kau menginginkanku Zara, akui saja itu" bisiknya dengan nada dingin yang membuat bulu kuduk Zara merinding“Dave, k
“Marah?” tanya Dave saat Zara mulai mendiaminya sejak mereka masuk ke dalam mobil. Itupun secara paksa, karena Zara selalu memberontak hingga akhirnya Dave menggendong Zara melewati lorong kantor dan dilihat oleh beberapa pegawai disana“Darling” panggil Dave lagi. Pria itu mencoba meraih tangan Zara yang langsung ditepis oleh Zara.Zara mengalihkan pandangannya ke jendela, rahangnya mengeras saat matanya menyapu pemandangan kota yang bergerak cepat di luar jendela. Ia merasa marah dan kecewa, tetapi kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya seolah terjebak di tenggorokannya.Dave menghela napas, berusaha menahan emosinya“Zara, aku serius. Apa yang salah? Aku tidak ingin bertengkar” tanyanya dengan nada lembut “Tolong bicaralah padaku..”Zara mengatupkan bibirnya. Tetap diam seolah Dave tidak ada disana.“Zara” Dave menyentak tangan Zara agar menghadap padanya. Zara mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatap tepat pada mata keabuan milik Dave, matanya yang penuh emosi menat
Selama beberapa waktu mobil itu kembali dilanda keheningan. Dave mengemudi dalam diam sambil sesekali mengecup tangan Zara yang digenggamnya sedangkan Zara memilih menatap jalanan diluar“Mau kemana?” tanya Zara kala mobil itu berbelok menuju arah berlawan dari rumahnya.Dave hanya menjawab dengan senyuman hingga hampir 30 menit mobil itu diparkirkan pada basement sebuah gedung tinggi. Zara merasa jantungnya berdebar lebih cepat, rasa cemas menyelinap dalam benaknya."Kenapa kita di sini?" tanya Zara lagi, suaranya sedikit gemetar. Zara ingin memberontak namun perasaannya mengatakan jika Zara melakukannya maka hal buruk akan terjadi"Kau akan lihat" jawab Dave dengan nada tenang namun misterius. Dia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Zara, mengulurkan tangan untuk membantunya keluar.Zara ragu sejenak sebelum menerima uluran tangan Dave. Begitu keluar, Dave menggenggam erat tangannya dan memimpin jalan menuju lift. Hati Zara s
Enam tahun yang lalu……..Acara wisuda saat itu penuh sesak dengan mahasiswa yang antusias. Seorang gadis cantik berbalut toga berdiri di atas podiumDengan penuh percaya diri dia memandang sejenak ke arah kerumunan mahasiswa yang penuh antusiasme. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai pidatonya yang sudah dia persiapkan dengan sepenuh hati. pidato yang akan diberikannya sebagai mahasiswa lulusan terbaik"Teman-teman sekalian” Zara memulai dengan suara tegas yang menggema di seluruh ruangan. "Hari ini, adalah bukanlah akhir dari perjuangan kita, melainkan awal yang baru dalam perjalanan kehidupan kita"Dia berhenti sejenak, memastikan setiap mata tertuju padanya dan setiap telinga siap mendengarkan."Kita semua datang dari latar belakang yang berbeda. Beberapa dari kita mungkin memiliki kekayaan materi, sementara yang lain memiliki kekayaan pengalaman. Beberapa dari kita mungkin ahli dalam matematika, sementara yang lain mungkin berbakat dalam seni."Zara menatap dengan penuh s
Selama hampir sebulan, Harry disibukan dengan mencari keberadaan Gina sampai akhrinya dia mendapatkan informasi dari teman kerja Gina di klub bahwa Gina tinggal di sebuah apartemenHarry menepikan kendaraannya di pinggir jalan. Dia memperhatikan seorang pria yang turun dari mobil, diikuti oleh seorang wanita. Tanpa ragu, Harry keluar dari mobil dan bergegas menuju ke arah mereka, terutama setelah melihat pria tersebut memeluk erat pinggang wanita itu dan menggandeng tangan sang anak kecil."Gina!!" Panggil Harry dengan cepat sambil meraih lengan wanita itu. Gina, terkejut, membalikkan kepalanya untuk melihat Harry."Harry? Kenapa kau di sini?" Gina bertanya dengan nada enteng.“Papa” Nico nampak tersenyum senang, bocah kecil itu nampak hendak menuju Harry namun Gina menahannya“Nico sayang, dia bukan papamu”Ucapan Gina membuat Harry melotot tajam. "Apa maksudmu, Gina? Nico adalah anakku!"Mario nampak menahan
Zara berdiri di depan pintu rumahnya dengan koper di tangan, menunggu Dave. Dia sedang menunggu Dave menjemputnya sesuai pesan yang pria itu kirimkan.Ketika mobil Dave berhenti di depan rumah, dia merasa jantungnya berdetak kencang. Mereka akan melakukan perjalanan bisnis untuk melakukan pengecekan lokasi perkebunan anggur milik DaveDave keluar dari mobil, berjalan mendekati Zara dengan senyuman tipis, dia meraih koper Zara lalu meletakannya di bagasi.“Dion tidak ikut?” tanya ZaraDave menggeleng “Dia akan sibuk disini” jawabnya lalu membukakan pintu untuk Zara “Ayo, kita harus segera berangkat.”Zara mengangguk pelan, dia masuk ke dalam mobil.“Dion sudah bilang masalah pelelangan kan?” tanya Dave ketika mobil mulai berjalan menjauh“Sudah” jawab Zara“Hmm akan kujelaskan lebih detail saat acaranya nanti” Sahut DaveMobil berhenti di bandara, beberapa pria berpakaian hitam dengan sigap mengawal mereka menuju gate keberangkatan, ketika sudah didalam pesawat, Dave duduk disebelah Za
Dave membawa Zara pada sebuah hotel mewah bintang lima, rencananya mereka akan menginap ditempat ini sebelum pulang ke Indonesia besokSepanjang perjalanan setelah dari ladang anggur, Dave terus menggenggam tangan Zara bahkan saat mereka melewati loby hotel dengan dipandu seorang pria yang Zara tebak sebagai manager hotelNetra Zara tak henti-hentinya menatap sekeliling. Ini pertama kalinya dia datang ke hotel bersama pria. Dulu waktu bersama Harry, Zara tidak pernah liburan dan menginap. Jadi saat ini, Zara merasa sedikit canggungBegitu pintu lift terbuka, pria yang memandu mereka menyerahkan sebuah kartu pada Dave“Ini kamar anda dan ini kuncinya Tuan Carpenter”Dave mengangguk sebagai jawaban“Saya permisi” pamit pria ituZara hanya memperhatikan ketika Dave mengarahkan kartu itu pada pintu lalu tak lama suara kunci yang terbuka terdengar“Masuk” ucap Dave sambil menarik tangan Zara“Ini kamarmu kan?” Tanya Zara tak yakin“Kamar kita” Koreksi Dave“Huh?”"Kau kira aku akan membiar
Zara duduk di meja kerja yang Dave siapkan dalam kamar hotel. Matanya yang dihiasi kacamata menatap layar laptop yang dipenuhi catatan dan rencana untuk pelelangan anggur yang akan datang.Dia telah menghabiskan berjam-jam mempersiapkan segala sesuatu dengan detail, dari daftar anggur yang akan dilelang hingga pengaturan tempat dan undangan untuk para penawar.Zara sendiri tidak menyangka jika bisnis yang Dave jalani jauh lebih besar dari dugaannya, Zara kira Dave hanya perlu menjadi pewaris Carpenter namun ternyata pria itu nampak memiliki jalannya sendiri.Zara tidak dapat meragukan kecintaan Dave pada anggur, buktinya pria itu mengetahui semua tentang minuman memabukkan itu.Dave memberinya tanggung jawab penuh untuk acara ini, dan Zara bertekad untuk membuktikan dirinya. Seperti yang mereka bicarakan sebelumnyaPintu kamar hotel terbuka, Dave masuk dengan senyuman tipis di wajahnya"Tidak ingin berhenti?" tanyanya, mendekati Zara. Pria itu baru datang sambil membawa sebotol anggur
“Darling” Suara itu sontak mengagetkan Zara. Tubuhnya membatu dan sontak beberbalik. Dave sedang bersandar di pintu sambil bersedekap dada menatapnya dengan tatapan tajam mengintimidasi“D..Dave.. kamu sudah kembali?” Tanya Zara tersendat-sendatDave tidak menjawab. Sekarang, ia melangkah mendekati Zara. Zara merasa seperti penjahat yang tertangkap basahDan di sana, di ambang pintu, berdiri Dave. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Zara baca dengan jelas—apakah itu penyesalan, rasa bersalah, atau bahkan sesuatu yang lebih gelap?"Mencari sesuatu?" tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak, matanya tertuju pada tumpukan foto di tangan Zara.Zara menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya menegang. "Dave... apa maksud semua ini? Mengapa ada foto-foto ini? Siapa yang memotretku?" tanyanya dengan suara yang bergetar, menuntut jawaban.Dave melangkah lebih dekat, tetapi Zara mundur selangkah, menjaga jarak di antara mereka. Dia tidak ingin mempercayai b
‘Kau bisa mencaritahunya sendiri dirumah itu’ Pesan terakhir yang Sylvia tinggalkan membuat Zara gelisah dan penasaranZara mempercayai Dave namun dia ingin tahu apa yang Dave sembunyikan darinya. Zara berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong rumah besar itu menuju ruang kerja DaveZara nampak ragu sejenak sebelum dia masuk dan menatap isi ruangan itu. Zara mengigit bibir bawahnya lalu mengeluarkan sebuah kunci yang Sylvia berikan.Dalam ruang kerja Dave, terdapat sebuah pintu yang selalu terkunci rapat dan kini kunci itu ada ditangannyaCtak..Saat dia mendorong pintu itu perlahan, ruang rahasia terbuka di depannya. Ruangan itu dipenuhi oleh berkas-berkas, dokumen, dan peta besar yang tergantung di dinding. Mata Zara tertuju pada satu dokumen yang tergeletak di atas meja besar, seperti sesuatu yang sengaja dibiarkan terbuka. Tangan Zara gemetar saat dia meraih dokumen itu.Mata Zara mulai membaca, dan semakin dia membaca, semakin cepat jantungnya berdetak.Tubuh Zara membeku di tempa
“Aku baru tahu jika sepupuku ini bodoh” Ucap Sylvia yang ditujukan pada DaveDave mengernyit, menatap Sylvia kesal “Apa maksudmu, Sylvia?” tanyanya, suaranya masih diliputi amarahSylvia mendesah, menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Dave dengan tatapan penuh penilaian. “Kau selalu memikirkan segalanya dengan begitu terencana, begitu strategis. Tapi ketika menyangkut Zara, kau benar-benar buta, Dave” katanya dengan nada tajam.“Kau menjadi lemah karena perasaan tak bergunamu itu” SambungnyaDave menahan diri untuk tidak memaki atau bahkan memukul Sylvia.Marcus, yang sedari tadi hanya menonton, tertawa kecil. “Lihatlah kau, Dave. Bahkan adik perempuanku bisa melihat betapa bodohnya kau dalam hal ini. Kau mungkin seorang pemimpin yang hebat, tapi dalam urusan hati, kau hanya seorang amatir.”Dave menoleh tajam ke arah Marcus, tetapi dia tahu bahwa Sylvia dan Marcus, meski
Dave tiba di markas dengan langkah cepat, pandangannya menyapu ruangan yang penuh dengan kesibukan. Anak buahnya bergerak cepat, mencoba mengendalikan situasi yang jelas sedang berada di luar kendali. Beberapa dari mereka tampak terluka, dan suasana tegang terasa di udara."Apa yang terjadi di sini?" tanya Dave dengan nada tajam, suaranya memotong kebisingan di ruangan itu. Semua orang berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya, merasakan otoritas yang dibawa Dave ke dalam ruangan.Seorang pria dengan luka di bahu mendekati Dave, wajahnya penuh kecemasan. "Tuan Carpenter, ada penyerangan mendadak. Kami tidak tahu dari mana mereka datang, tapi serangan itu terorganisir dengan sangat baik.""Siapa yang menyerang kita?" Dave mendesak, matanya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia merasa marah dan frustasi, tidak percaya bahwa markas mereka bisa diserang dengan begitu mudah.Pria itu menelan ludah, tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Kami masih mencari ta
"Selamat, Tuan Carpenter. Istri Anda mengandung anak kembar" ucap Dokter kepada Dave yang menemani Zara saat memeriksakan kesehatan kehamilannya."Benarkah?" sahut Dave sambil menatap Zara yang duduk di sampingnya. Tatapan bahagia jelas terlihat di wajahnya"Iya, bayinya dalam kondisi sehat, tolong jaga kesehatan dan jangan mudah lelah.""Itu pasti, Dok. Aku akan menjaga istriku selalu."Zara tersipu malu saat Dave mencium pipinya di hadapan dokter itu. "Ini resep vitamin, jangan lupa diminum secara teratur" kata Dokter sambil memberikan selembar kertas pada Dave."Terima kasih, Dok." Ucap Zara. Setelahnya dia berdiri dan Dave menggandeng tangan Zara keluar ruangan itu."Setelah ini kita mau kemana, Dave?" Tanyanya"Makan malam. Kau mau makan di restoran mana?""Emm aku tidak mau di restoran mana pun."Dave mengernyit bingung. "Lalu kau mau makan dimana?"“Aku ingin kau yang masak” kata Zara sambil ter
“Luna, aku ingin menamainya Luna”Dave terdiam sejenak. Wajahnya yang semula penuh kasih dan ketenangan berubah menjadi kaku, seperti baru saja ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Tangannya berhenti bergerak di atas perut Zara, dan dia menariknya perlahan, seolah-olah menyadari bahwa nama itu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin dia dengar lagi dalam konteks ini.Nama itu, Luna, membawa banyak kenangan yang bercampur antara manis dan pahit. Luna, wanita yang pernah ia cintai, dan wanita yang harus ia relakan pergi, kini kembali menghantuinya dalam bentuk yang sama sekali tidak ia duga—sebagai nama untuk anak yang ia nantikan bersama Zara.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak memperlihatkan ketegangan yang tiba-tiba melanda dirinya. "Darling... Luna adalah nama yang sangat indah, tapi...," suaranya sedikit serak, dan dia berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apakah kau yakin itu nama yang kau inginkan untuk anak kita
Dave selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan rambut masih sedikit basah. Dia mengenakan kaus sederhana dan celana panjang, terlihat lebih santai dari biasanya.Di meja makan, Zara sudah menyiapkan makan malam dengan tampilan yang rapi dan sempurna, seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu, sesuatu yang Dave tidak langsung sadari.“Bagaimana kondisimu?” tanya Dave“Lebih baik, tadi aku emosional karena hormone kehamilan” Jawab ZaraMereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi percakapan yang biasanya hangat dan penuh canda terasa hambar malam itu. Zara menjawab setiap pertanyaan Dave dengan singkat, dan sering kali dia hanya mengangguk tanpa benar-benar melihat Dave.Ekspresi wajahnya datar, tidak ada senyum yang biasanya menghiasi wajahnya saat mereka makan bersama. Dave merasakan dingin yang perlahan merayap di antara mereka, tetapi dia memilih untuk tidak menanyakannya saat itu, berpikir mungkin Z
Dave yang baru saja pulang dibuat kaget melihat Zara yang bersandar pada ranjang sambil menangis“Darling?” Dave memanggil lembut, suaranya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Zara. Pikirannya langsung dipenuhi oleh seribu kekhawatiranapa yang terjadi saat dia pergi?“Apa Sylvia melakukan sesuatu padamu?” tanya DaveDave segera mendekati Zara, duduk di tepi ranjang dan meraih tangannya.“Darling, katakan, apa Sylvia yang membuatmu begini?”Zara menggeleng, kepalanya mendongak menatap Dave. Air mata bercucuran dari netra hazel itu“D..Dave..” Rintih Zara"Aku disini Darling. Katakan, apa yang terjadi padamu?” matanya berusaha mencari penjelasan di wajah istrinya.Zara mencoba menahan isakan yang masih tersisa. "Dave… kenapa kau harus pergi? Kenapa semuanya terasa begitu sulit?" suaranya terdengar putus asa.Dave merasakan hatinya tercabik-cabik meliha
"Aku tidak bisa kehilangan dia, Sylvia. Aku butuh dia... kita butuh dia" ujarnya, suaranya hampir bergetar“Kau bodoh” Ucap Sylvia, kali ini nada bicaranya terdengar sinis “Kau lemah Zara, apa kau paham itu?”Zara mengangguk pelan, dia sadar bahwa yang Sylvia ucapankan adalah kebenaran“Kau terlalu percaya padanya, terlalu mudah jatuh ke dalam perangkapnya. Seorang Carpenter bukanlah orang tulus, Zara.”“Aku menasehatimu sebagai seorang wanita” lanjut Sylvia, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. Ia bersandar pada sofa, pandangannya menjelajahi sekeliling rumah. "Dave memberikanmu sangkar yang bagus" gumamnya, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Zara.Zara mengikuti pandangan Sylvia, memperhatikan setiap sudut rumah yang indah ini. Rumah yang dulu terasa seperti tempat berlindung yang aman, kini terasa seperti penjara mewah. Setiap sudutnya mengingatkannya pada kebaha