"Maaf.. maafkan aku, Dave" kata Zara dengan sedih.
“Untuk apa, Darling? Kenapa minta maaf padaku?” tanya Dave, tampak bingung namun jelas terganggu.
“Har-”
“Hush, jangan menyebut nama pria tolol itu lagi” potong Dave dengan nada tegas, wajahnya berubah merah karena kemarahan yang terpendam.
Zara mengigit bibir bawahnya, merasa terjepit antara ketidaknyamanan dan kebutuhan untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. "Pria itu menyentuhku, Dave" ucapnya mencoba menahan air mata.
Dave terdiam sejenak, berjuang untuk menenangkan emosinya yang mendalam. Setelah beberapa saat, dia meraih tangan Zara dengan lembut. "Darling, aku... aku minta maaf jika ada yang membuatmu merasa tidak aman. Maaf karena aku gagal menjagamu"
Zara menangis, dia memeluk Dave semakin erat “Maaf karena aku selalu merepotkanmu, Dave. Maaf karena aku wanita yang lemah.”
Dave membalas pelukan Zara, meremas lembut punggungny
Seorang wanita cantik terlihat duduk sendiri pada bangku taman buatan dibelakang rumahnya. Matanya terpejam menikmati semilir angin yang menyejukkan. Sinar matahari menerpa wajah cantiknya sehingga terlihat berkilau."Aku mencarimu, ternyata kau di sini" Zara menoleh ke arah suara dan mendapati Dave mendekatinya, pria itu terlihat menawan."Aku terlalu bosan, makanya aku keluar mencari udara segar" sahut Zara.Dave kini berada di samping Zara, tangannya terulur mengelus perut Zara yang semakin membulat. Usia kandungannya kini sudah memasuki bulan keempat "Aku membawakan cheesecake kesukaanmu.""Dimana?” tanya Zara sambil menengadah ke arah Dave.“Ku taruh dikulkas. Ayo masuk” sahut Dave.Zara menggeleng “Aku mau makan disini saja” ucapnya manjaDave tersenyum tipis lalu mengusap kepala Zara “kusiapkan sebentar” ucap Dave“Terima kasih suamiku”Dave mengecup kening Zar
“Aku mau melamar Layla” Ucap Dion membuat Zara yang hendak meminum susu nyaris tersedak“Pelan-pelan Darling” Dave mengeusap pinggung Zara namun tatapan tajamnya tertuju pada Zara seolah menagatakan ‘beraninya kau membuat istriku tersedak’Dion nampak terperanjat sejenak sebelum menunduk takut“Kamu serius dengan Layla?” Kali ini Zara bertanya dengan menatap Dion lekat“Iya, aku serius” jawab Dion dengan suara yang sedikit gemetar, namun dengan keyakinan yang terpancar dari matanya. “Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku mencintainya, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya.”Zara menatap Dion dengan penuh perhatian, mencoba membaca kesungguhan di wajahnya. “Dion, aku senang mendengar itu. Tapi kamu tahukan kalau Layla mempunyai prinsip yang sangat kuat?”Dave yang dari tadi diam sambil memeluk Zara akhirnya bersuara “Itu urusan mereka D
"Terima kasih... sayang" ucapnya dengan suara yang hampir berbisik, namun cukup jelas bagi Dave untuk mendengarnya.Senyum lebar kembali menghiasi wajah Dave. "Itu lebih baik" katanya dengan nada puas. Dia menatap Zara dengan penuh kasih, merasakan betapa beruntungnya dia memiliki istri seperti Zara.Zara hanya bisa tersenyum malu-malu, merasa geli dengan dirinya sendiri. Dia tahu Dave senang mendengar panggilan itu, dan meskipun awalnya ragu, dia juga merasakan kehangatan setiap kali memanggil suaminya dengan sebutan itu.“Panggil aku dengan sebutan itu mulai sekarang”“Tidak mau” Tolak Zara"Apakah itu sulit, Darling?" tanya Dave dengan lembut, mencium pipi Zara yang masih memerah.Zara menggeleng pelan, merasa lebih nyaman sekarang. "Tidak terlalu. Aku hanya... merasa canggung saja."Dave tertawa kecil dan menarik Zara ke dalam pelukannya. "Kau tidak perlu merasa canggung, Darling. Aku suka mendengarnya, dan
Dion merapikan dasinya sambil menghela napas panjang. Malam ini adalah malam yang sangat dinantikannya. Setelah berbicara dengan Zara dan Dave, Dion merasa yakin bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melamar Layla.Dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, restoran mewah, bucket bunga mawar merah dan cincin berlian yang telah dia pilih dengan hati-hati.Setelah memastikan dirinya siap, Dion akhirnya menjemput Layla dari rumahnya. Malam itu, Layla terlihat cantik dengan gaun malam yang elegan dan senyum tipis yang membuat Dion terpesona.Dion membuka pintu mobil untuknya dengan perhatian, memberikan Layla pandangan penuh kekaguman dan cinta “kau cantik sekali”“Terima kasih, Dion,” kata Layla dengan lembut, merasa sedikit gugup dan tidak yakin dengan arah malam ini “tapi kenapa tiba-tiba ngajak dinner party setelah pergi tanpa kabar” tanya Layla dengan sedikit menyindir“Ah maaf untuk yang se
“Lalu kenapa kau menerimaku jadi kekasihmu?” Tanya Dion “katakan Layla!!” Tuntut Dion“Karena kau memaksa” Ucap Layla akhirnyaDion terdiam sejenak, mendengar kata-kata Layla yang langsung menusuk ke dalam hatinya. "Memaksa?" bisiknya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi ekspresi terluka dan marah.Layla mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap Dion. "Aku tahu ini bukan hal yang ingin kau dengar, tapi itu kenyataannya. Kau begitu gigih, dan aku... aku akhirnya menyerah karena aku pikir mungkin aku bisa mencintaimu dan menerimamu seperti yang kau inginkan. Tapi semakin lama, semakin aku sadar bahwa aku tidak bisa. Kau terlalu bahaya untukku, Dion"Dion merasakan dadanya sesak. Semua upaya dan cinta yang telah dia berikan selama ini terasa sia-sia. "Jadi, selama ini kau hanya berpura-pura?" tanyanya dengan suara bergetar, penuh emosi yang
“Dimana dia?” Tanya Dave pada salah satu bawahannya yang bertugas menjaga pintu masuk club miliknya“Dipojok sana Tuan”Dipojok yang dimaksud, Dion duduk dengan segelas minuman keras di tangannya yang gemetar. Malam semakin larut, dan dia sudah melewati batas minumannya beberapa kali. Kepalanya terasa berat, pikirannya kabur, namun perasaan sakit di hatinya tidak juga mereda. Kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu, menghancurkan sisa-sisa rasionalitas yang masih dimilikinya.Dia tidak bisa berhenti memikirkan Layla. Setiap kata yang diucapkan Layla sebelumnya terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan.Dave melangkah mendekati Dion dengan tenang, meskipun tatapan matanya menunjukkan bahwa dia tidak berada di sana hanya untuk sekadar ngobrol ringan. Dave sudah tahu jika lamaran asistennya itu ditolok oleh Layla. Dave juga baru tau dua hari setelahnya saat Zara bercerita padanyaDa
Dave berjalan menuju kamar tidurnya. Dia merasa puas dengan bagaimana dia telah menanamkan gagasan itu ke dalam pikiran Dion, meskipun mengetahui bahwa itu bisa menghancurkan hubungan Dion dan Layla. Namun, dalam dunia yang penuh intrik dan kekuasaan seperti miliknya, Dave tidak terlalu peduli tentang moralitas.Pria itu akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya dan dia akan membuat Dion melakukan hal yang sama“Setidaknya aku bisa liat sisi gila asistenku itu” kekeh Dave dengan bangganyaDave membuka pintu kamarnya dengan perlahan, agar tidak membuat suara. Di sana, Zara terbaring di atas tempat tidur, terlelap dengan tenang. Wajahnya tampak damai, seolah-olah dia tidak menyadari semua kekacauan yang mungkin sedang terjadi di luar sana. Melihat Zara dalam kondisi seperti ini selalu membuat hati Dave melembut, meskipun hanya sedikit.Dia mendekati tempat tidur, duduk di sisi Zara. Dengan lembut, Dave menyelipkan beberapa helai
Tok..tok..tok..Layla yang sudah tertidur lelap harus terjaga karena ketukan keras dipintu depan rumahnya. Layla sedikit takut, diluar cuaca sedang hujan selain itu waktu sudah pukul 1 dini hari. Orang gila mana yang berkunjung di jam seginiTok.. tokk..Kali ini ketukan itu terdengar di jendela kaca kamarnya“Layla..” Suara seorang pria mulai terdengar samar“Dion?” Gumam Layla, dia meraih handphone lalu menghubungi nomor Dion dan tak berapa lama suara deringan terdengar dari luarBergeges Layla menutupi tubuhnya dengan selimut lalu keluar dari kamar. Layla sempat mengintip sedikit dijendela dan mendapati Dion berdiri didepan rumahnya.Jantungnya berdebar lebih kencang melihat pria itu berdiri basah kuyup di bawah hujan. Kenapa Dion datang di tengah malam begini? Apalagi dalam keadaan seperti itu. Dia tahu betul bahwa Dion bukanlah tipe orang yang bertindak gegabah tanpa alasan yang jelas.Dengan tangan
“Darling” Suara itu sontak mengagetkan Zara. Tubuhnya membatu dan sontak beberbalik. Dave sedang bersandar di pintu sambil bersedekap dada menatapnya dengan tatapan tajam mengintimidasi“D..Dave.. kamu sudah kembali?” Tanya Zara tersendat-sendatDave tidak menjawab. Sekarang, ia melangkah mendekati Zara. Zara merasa seperti penjahat yang tertangkap basahDan di sana, di ambang pintu, berdiri Dave. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Zara baca dengan jelas—apakah itu penyesalan, rasa bersalah, atau bahkan sesuatu yang lebih gelap?"Mencari sesuatu?" tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak, matanya tertuju pada tumpukan foto di tangan Zara.Zara menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya menegang. "Dave... apa maksud semua ini? Mengapa ada foto-foto ini? Siapa yang memotretku?" tanyanya dengan suara yang bergetar, menuntut jawaban.Dave melangkah lebih dekat, tetapi Zara mundur selangkah, menjaga jarak di antara mereka. Dia tidak ingin mempercayai b
‘Kau bisa mencaritahunya sendiri dirumah itu’ Pesan terakhir yang Sylvia tinggalkan membuat Zara gelisah dan penasaranZara mempercayai Dave namun dia ingin tahu apa yang Dave sembunyikan darinya. Zara berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong rumah besar itu menuju ruang kerja DaveZara nampak ragu sejenak sebelum dia masuk dan menatap isi ruangan itu. Zara mengigit bibir bawahnya lalu mengeluarkan sebuah kunci yang Sylvia berikan.Dalam ruang kerja Dave, terdapat sebuah pintu yang selalu terkunci rapat dan kini kunci itu ada ditangannyaCtak..Saat dia mendorong pintu itu perlahan, ruang rahasia terbuka di depannya. Ruangan itu dipenuhi oleh berkas-berkas, dokumen, dan peta besar yang tergantung di dinding. Mata Zara tertuju pada satu dokumen yang tergeletak di atas meja besar, seperti sesuatu yang sengaja dibiarkan terbuka. Tangan Zara gemetar saat dia meraih dokumen itu.Mata Zara mulai membaca, dan semakin dia membaca, semakin cepat jantungnya berdetak.Tubuh Zara membeku di tempa
“Aku baru tahu jika sepupuku ini bodoh” Ucap Sylvia yang ditujukan pada DaveDave mengernyit, menatap Sylvia kesal “Apa maksudmu, Sylvia?” tanyanya, suaranya masih diliputi amarahSylvia mendesah, menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Dave dengan tatapan penuh penilaian. “Kau selalu memikirkan segalanya dengan begitu terencana, begitu strategis. Tapi ketika menyangkut Zara, kau benar-benar buta, Dave” katanya dengan nada tajam.“Kau menjadi lemah karena perasaan tak bergunamu itu” SambungnyaDave menahan diri untuk tidak memaki atau bahkan memukul Sylvia.Marcus, yang sedari tadi hanya menonton, tertawa kecil. “Lihatlah kau, Dave. Bahkan adik perempuanku bisa melihat betapa bodohnya kau dalam hal ini. Kau mungkin seorang pemimpin yang hebat, tapi dalam urusan hati, kau hanya seorang amatir.”Dave menoleh tajam ke arah Marcus, tetapi dia tahu bahwa Sylvia dan Marcus, meski
Dave tiba di markas dengan langkah cepat, pandangannya menyapu ruangan yang penuh dengan kesibukan. Anak buahnya bergerak cepat, mencoba mengendalikan situasi yang jelas sedang berada di luar kendali. Beberapa dari mereka tampak terluka, dan suasana tegang terasa di udara."Apa yang terjadi di sini?" tanya Dave dengan nada tajam, suaranya memotong kebisingan di ruangan itu. Semua orang berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya, merasakan otoritas yang dibawa Dave ke dalam ruangan.Seorang pria dengan luka di bahu mendekati Dave, wajahnya penuh kecemasan. "Tuan Carpenter, ada penyerangan mendadak. Kami tidak tahu dari mana mereka datang, tapi serangan itu terorganisir dengan sangat baik.""Siapa yang menyerang kita?" Dave mendesak, matanya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia merasa marah dan frustasi, tidak percaya bahwa markas mereka bisa diserang dengan begitu mudah.Pria itu menelan ludah, tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Kami masih mencari ta
"Selamat, Tuan Carpenter. Istri Anda mengandung anak kembar" ucap Dokter kepada Dave yang menemani Zara saat memeriksakan kesehatan kehamilannya."Benarkah?" sahut Dave sambil menatap Zara yang duduk di sampingnya. Tatapan bahagia jelas terlihat di wajahnya"Iya, bayinya dalam kondisi sehat, tolong jaga kesehatan dan jangan mudah lelah.""Itu pasti, Dok. Aku akan menjaga istriku selalu."Zara tersipu malu saat Dave mencium pipinya di hadapan dokter itu. "Ini resep vitamin, jangan lupa diminum secara teratur" kata Dokter sambil memberikan selembar kertas pada Dave."Terima kasih, Dok." Ucap Zara. Setelahnya dia berdiri dan Dave menggandeng tangan Zara keluar ruangan itu."Setelah ini kita mau kemana, Dave?" Tanyanya"Makan malam. Kau mau makan di restoran mana?""Emm aku tidak mau di restoran mana pun."Dave mengernyit bingung. "Lalu kau mau makan dimana?"“Aku ingin kau yang masak” kata Zara sambil ter
“Luna, aku ingin menamainya Luna”Dave terdiam sejenak. Wajahnya yang semula penuh kasih dan ketenangan berubah menjadi kaku, seperti baru saja ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Tangannya berhenti bergerak di atas perut Zara, dan dia menariknya perlahan, seolah-olah menyadari bahwa nama itu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin dia dengar lagi dalam konteks ini.Nama itu, Luna, membawa banyak kenangan yang bercampur antara manis dan pahit. Luna, wanita yang pernah ia cintai, dan wanita yang harus ia relakan pergi, kini kembali menghantuinya dalam bentuk yang sama sekali tidak ia duga—sebagai nama untuk anak yang ia nantikan bersama Zara.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak memperlihatkan ketegangan yang tiba-tiba melanda dirinya. "Darling... Luna adalah nama yang sangat indah, tapi...," suaranya sedikit serak, dan dia berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apakah kau yakin itu nama yang kau inginkan untuk anak kita
Dave selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan rambut masih sedikit basah. Dia mengenakan kaus sederhana dan celana panjang, terlihat lebih santai dari biasanya.Di meja makan, Zara sudah menyiapkan makan malam dengan tampilan yang rapi dan sempurna, seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu, sesuatu yang Dave tidak langsung sadari.“Bagaimana kondisimu?” tanya Dave“Lebih baik, tadi aku emosional karena hormone kehamilan” Jawab ZaraMereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi percakapan yang biasanya hangat dan penuh canda terasa hambar malam itu. Zara menjawab setiap pertanyaan Dave dengan singkat, dan sering kali dia hanya mengangguk tanpa benar-benar melihat Dave.Ekspresi wajahnya datar, tidak ada senyum yang biasanya menghiasi wajahnya saat mereka makan bersama. Dave merasakan dingin yang perlahan merayap di antara mereka, tetapi dia memilih untuk tidak menanyakannya saat itu, berpikir mungkin Z
Dave yang baru saja pulang dibuat kaget melihat Zara yang bersandar pada ranjang sambil menangis“Darling?” Dave memanggil lembut, suaranya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Zara. Pikirannya langsung dipenuhi oleh seribu kekhawatiranapa yang terjadi saat dia pergi?“Apa Sylvia melakukan sesuatu padamu?” tanya DaveDave segera mendekati Zara, duduk di tepi ranjang dan meraih tangannya.“Darling, katakan, apa Sylvia yang membuatmu begini?”Zara menggeleng, kepalanya mendongak menatap Dave. Air mata bercucuran dari netra hazel itu“D..Dave..” Rintih Zara"Aku disini Darling. Katakan, apa yang terjadi padamu?” matanya berusaha mencari penjelasan di wajah istrinya.Zara mencoba menahan isakan yang masih tersisa. "Dave… kenapa kau harus pergi? Kenapa semuanya terasa begitu sulit?" suaranya terdengar putus asa.Dave merasakan hatinya tercabik-cabik meliha
"Aku tidak bisa kehilangan dia, Sylvia. Aku butuh dia... kita butuh dia" ujarnya, suaranya hampir bergetar“Kau bodoh” Ucap Sylvia, kali ini nada bicaranya terdengar sinis “Kau lemah Zara, apa kau paham itu?”Zara mengangguk pelan, dia sadar bahwa yang Sylvia ucapankan adalah kebenaran“Kau terlalu percaya padanya, terlalu mudah jatuh ke dalam perangkapnya. Seorang Carpenter bukanlah orang tulus, Zara.”“Aku menasehatimu sebagai seorang wanita” lanjut Sylvia, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. Ia bersandar pada sofa, pandangannya menjelajahi sekeliling rumah. "Dave memberikanmu sangkar yang bagus" gumamnya, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Zara.Zara mengikuti pandangan Sylvia, memperhatikan setiap sudut rumah yang indah ini. Rumah yang dulu terasa seperti tempat berlindung yang aman, kini terasa seperti penjara mewah. Setiap sudutnya mengingatkannya pada kebaha