"Haa? Maksudnya? Bisa tolong ulangi kalimat Anda tadi?" tanya Alin memastikan.
"Oh tidak ada, sudahlah cepat duduk sekarang!" ucap Devan kembali ke mode menyebalkan. Alin mencebik sambil duduk.
"Ada perlu apa saya dipanggil ke sini? Dan kapan saya bisa pulang?"
"Silahkan kamu baca," ucap Devan sambil menyerahkan lembaran pada Alin.
"Surat apa ini?" tanya Alin sambil mulai membaca poin-poin yang sudah tercantum.
"Kamu bisa membaca kan? Atau perlu aku bacakan?"
Alin memutar bola matanya. Dia mulai membaca setiap baris tulisan pada surat perjanjian yang dibuat Devan.
"Surat perjanjian kontrak nikah?"
Mata Alin membulat sempurna kala semua perjanjian yang sudah tercantum merugikannya.
"Hei, mana bisa seperti ini? Surat kontrak ini tidak sah, aku tidak setuju. Semua isinya sangat memberatkanku!" ujar Alin protes.
"Bagian mana yang memberatkanmu? Bukankah di dalam kontrak itu aku sudah memberikan kemudahan padamu? Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan keluarga Baskoro pun akan aku lakukan."
"Tapi bukankah ini hanya pernikahan kontrak? Kenapa harus tidur di satu kamar yang sama?" protes Alin.
"Apa kamu mau sandiwara kita terbongkar dan semua rencana ini berantakan?"
Alin bungkam, dia benar-benar tidak bisa berkutik dengan semua syarat yang dibuat Devan.
"Lalu sebenarnya apa tujuan Anda mengajak saya menikah? Jujur saya masih belum bisa meraba isi hati Anda!" tanya Alin lagi."Terlalu rumit untuk dijelaskan, tapi intinya jika kau mau menerima tawaranku, maka aku akan menjamin jika kita akan saling diuntungkan. Sepakat?" Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berpikir pasti akan rugi jika menolak tawaran ini."Sepakat. Tapi ingat kita hanya akan bersikap mesra jika ada orang lain saja, selebihnya kita hanya akan berinteraksi sebagai teman biasa jika tidak ada siapa pun. Dan kita hanya boleh tidur sekamar, bukan seranjang!" ucap Alin menjabarkan keinginannya."Baiklah, itu bisa diatur. Nanti malam aku ada acara pertemuan dengan beberapa klien penting, dan kamu harus menemaniku.""Hei aku mau pulang, Tuan jangan lupakan itu!" sungut Alin mengingatkan.Devan hanya melihat Alin sekilas. "Tidak ada bantahan. Kau akan pulang tapi hanya sebentar, setelah itu kembali lagi ke sini!" jawab Devan. "Satu lagi, panggil aku Honey.""Hei, kau bahkan lebih pantas menjadi Pamanku alih-alih pasangan!" ejek Alin tanpa perasaan."Terserah apa katamu. Sebaiknya kau segera pulang karena sopir yang mengantarmu sudah menunggu. Belajarlah menghargai waktu!" tukas Devan sambil memantau laporan perusahaan."Cckck dasar kulkas menyebalkan!" umpat Alin.***
Dia segera berlalu ke kamarnya dan mengambil tas dan ponselnya. Dia segera pulang ke rumah karena takut maminya khawatir dengan keadaannya.
Sepanjang perjalanan Alin terus merenungi keputusannya menerima tawaran yang diberikan Devan. Dia dilema dengan keputusannya sendiri.'Apa keputusanku ini sudah benar?' batin Alin yang sedikit gamang.
Tanpa disadari, dia sudah sampai di rumahnya. Alin terus meyakinkan diri untuk terus menjalankan rencana yang sudah dia pikirkan ini.
Dengan mantap, dia melangkah ke luar mobil menuju rumahnya.'Sebentar lagi rumah ini akan segera dilelang. Aku harus bisa mempertahankan rumah ini bagaimanapun caranya," batin Alin sambil menatap rumah penuh kenangan itu. Dia segera masuk ke dalam rumah untuk mencari maminya.***"Assalamualaikum, Mi aku pulang!" teriak Alin sambil mencari keberadaan maminya.Karena tak kunjung ada sahutan, Alin bergegas mencari maminya ke belakang. Tak berapa lama akhirnya ada suara sahutan dari arah dapur."Alin, Mami di dapur. Tolong sini sebentar ya, Nak!" jawab mami sedikit berteriak.Mendengar itu, Alin bergegas mengikuti asal suara wanita itu dan berakhir di dapur."Mami, aku cari ternyata lagi di dapur. Mau aku bantuin, Mi?" "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Iya boleh kebetulan Mami lagi ban-" Perkataan mami terhenti ketika dia menoleh ke arah putrinya dan melihat ada perban yang melingkari kepala putrinya itu."Nak, kepala kamu kenapa?" tanya mami panik."Nggak apa-apa kok Mi, sebentar lagi paling juga sembuh. Tadi malam aku keserempet mobil, Mi tapi orangnya sudah bertanggung jawab juga kok!" jawab Alin berusaha meredam kekhawatiran sang ibunda."Ya ampun Nak, pantas saja semalam perasaan Mami nggak enak. Sudah lebih baik kamu istirahat saja ya, Nak nggak usah bantuin Mami," perintah mami pada Alin."Ya sudah Mi kalau begitu, eh tapi kok dari tadi Alin nggak lihat Bibi ya Mi?" tanya Alin penasaran.Mami Rita menghela nafasnya, "Bibi sudah pulang kampung tadi pagi. Mami dan Papi tidak mampu menggaji Bibi lagi, Lin. Sopir pun juga sudah bersiap pulang kampung besok. Mereka juga nitip salam sama kamu Lin."Alin menunduk pasrah. Mereka memang sangat dekat dengan para asistennya. Namun keadaan ekonomi keluarga mereka saat ini sangat tidak memungkinkan jika mereka harus mempertahankan asisten mereka. Mereka harus bisa bertahan dan bangkit kembali."Oh iya, Papi ke mana Mi?" tanya kemudian."Tadi Papi kamu tiba-tiba dapat telepon yang katanya dari utusan pemilik Bimantara Group. Mereka juga meminta bertemu dengan Papimu, katanya sih mereka tertarik menanam saham di perusahaan Papi makanya Papi langsung mengajak bertemu hari ini. Semoga saja ini awal yang baik untuk perusahaan kita, Lin!" jawab Mami Rita penuh harap.Sedangkan Alin, malah termenung dalam diamnya. Pikirannya berkelana ke mana-mana tentang sang pewaris Bimantara Group itu.'Apa ini semua rencana Mas Devan?' batin Alin menerka-nerka.***Sementara di tempat lain, setelah Alin meninggalkan rumah besarnya, Devan segera meluncur ke perusahaannya. Sepanjang perjalanan dia terus memantau tabletnya tanpa menoleh ke luar sedikit pun. Sesampainya di perusahaan, dia disambut oleh Niko sang asisten sekaligus kaki tangannya."Selamat datang, Tuan. Saya senang akhirnya Tuan sudah kembali lagi dari luar negeri," ucap Niko sambil berjalan mengiringi Devan."Bagaimana dengan tugas yang kuberikan? Apa kau sudah menghubungi Tuan Wira?" tanya Devan tanpa basa-basi."Sudah, Tuan. Tuan Wira akan datang ke perusahaan sebentar lagi. Saya yakin beliau pasti tertarik dengan tawaran yang Tuan berikan.""Bagus. Aku suka dengan kinerjamu, bulan depan gajimu naik tiga kali lipat.""Benarkah, Tuan? Terima kasih banyak Tuan."Niko sendiri kegirangan setelah Devan menaikkan gajinya tiga kali lipat. Setelah mengatakan itu Devan segera keluar dari lift. Namun matanya disambut dengan pemandangan kurang mengenakkan saat melihat beberapa staf dan karyawan memakai baju minim dan terkesan genit."Selamat pagi Tuan Niko dan juga Tuan Devan!" ucap salah satu karyawan dengan nada manja.Devan mengabaikan sapaan karyawan dan tetap dalam mode cool. Dia segera masuk ke dalam ruang CEO diikuti oleh asistennya."Sombong banget sih CEO kita," ujar salah satu karyawan."Emangnya lo berharap beliau gimana? Ramah terus balas sapaan lo dengan senyum gitu? Jangan mimpi woe, kita bisa kerja di sini aja masih bagus. Saran gue mendingan lo jangan terlalu sering pakai baju minim gitu deh, soalnya dengar-dengar Pak Devan nggak suka lihat karyawan perempuan pakai baju begituan," saran salah satu karyawan mengingatkan."Yaelah … kalau ngiri, ya ngiri aja! Nggak usah sok nasihatin." Karyawan genit itu melengos meninggalkan beberapa karyawan lain tengah berbisik membicarakannya. Dengan percaya diri, karyawan genit itu kembali melangkah masuk ke ruangan Devan dengan berjalan melenggak lenggok. Dia mengenakan pakaian yang membuat asetnya tercetak jelas. Karyawan genit itu bahkan sengaja membuka salah satu kancing bajunya yang terlihat sempit itu hingga membuat dadanya menyembul. Tok to
Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya. "Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami. "Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin. "Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya. "Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?" tanya Rita memicing.Degg!Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi. "Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.Brakk!Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah. "Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian
"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" "Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun. "Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya. "Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi. "Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum. "Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. "Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin. "Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi. "Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d
Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang."Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab Deva
Papi Alin yang sedang mengurus berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Devan langsung meninggalkan pekerjaannya setelah mendapat kabar dari sang istri jika alergi yang diderita Alin kambuh. Sesampainya di rumah, lelaki itu mendapati sang istri tengah menangis di ruang sofa. "Mi, ayo kita berangkat ke rumah sakit sekarang!" ajak papi. "Anak kita, Pi. Mami takut terjadi sesuatu dengan Alin," ujarnya sambil memeluk papi. "Alin anak yang kuat, Mi. Dia tidak akan semudah itu rapuh. Bersiaplah, kita akan segera berangkat menyusul Alin." *** Mereka bergegas meluncur ke rumah sakit . Sesampainya di sana, keduanya langsung disambut oleh asisten Devan yang sengaja menunggu mereka di depan rumah sakit. "Tuan, Nyonya mari ikut saya ke ruangan Nona Alindra," ujar asisten Devan. Mereka berdua segera mengikuti langkah asisten Devan menuju ruangan tempat Alin dirawat. Sesampainya di ruangan, mami langsung mendekat ke sisi ranjang Alin. Wanita paruh baya itu menatap sendu putrinya yang m
Ancaman mama sukses membuat Devan diam tak berkutik. Selama ini Devan selalu menolak dijodohkan dengan alasan sudah mempunyai kekasih namun tidak pernah diajak ke rumah ibunya walau sang ibu selalu meminta untuk membawanya datang.“Iya Ma iya, pokoknya nanti deh Devan bakal secepatnya membawa kekasih Devan ke rumah utama,” jawab Devan menenangkan.“Jangan bohong lagi sama Mama, Van. Nggak baik lho terus menerus membohongi orang tua,” sindir sang ibu.Devan hanya cengengesan ketika menghadapi ibunya yang sedang mengomel. Tak berselang lama, pelayan datang memberi tahu jika makan siang sudah siap.“Ma, kita makan siang dulu, ya. Devan sudah lapar,” ajak Devan.Mereka bergegas menuju ke ruang makan. Saat sedang menikmati makan siang mereka, mami yang masih penasaran dengan wanita yang sempat diajak kencan oleh Devan kembali menanyakannya.“Van, sebenarnya siapa sih, Van wanita yang kamu ajak kencan semalam? Tadi Ma
Tak berselang lama, polisi dan Reno datang meringkus Rendra dan juga sepupunya. Mereka juga mengamankan preman-preman itu ke kantor polisi. Sedangkan Devan dan Alin segera pergi dari tempat itu.Sepanjang perjalanan, Devan tak tahan dengan rasa ingin tahunya. Dia segera bertanya pada sang istri mengenai keadaan sang istri saat ini."Sayang, sejak kapan ingatanmu kembali?" tanya Devan."Sejak saat putra kita menghilang, Mas. Tapi saat itu aku memutuskan untuk diam dulu sambil mengamati keadaan. Aku bergerak dalam diam dan aku sengaja mengecoh orang-orang agar mereka mengira aku masih hilang ingatan," jawab Alin."Untuk apa?" tanya Devan."Untuk mengetahui siapa saja yang hendak memanfaatkan keadaanku untuk mencari keuntungan." "Apapun itu, aku bahagia karena kamu sudah mengingat semuanya Sayang. Aku bisa lebih fokus untuk mencari keberadaan putra kita sekarang," jawab Devan dengan lega.Alin tersenyum tenang, "Mas jangan khawatir. Aku sudah tahu di mana keberadaan putra kita."Devan m
Tanpa pikir panjang, Devan langsung berlari ke dalam mencari keberadaan Alin. Dia masuk ke salah satu bilik tersebut. Akan tetapi, bilik tersebut ternyata dijaga oleh beberapa preman. Devan memancing preman tersebut untuk menjauh dari depan pintu dan berkelahi di luar.Tidak sulit mengalahkan para preman itu karena Devan sangat jago ilmu bela diri. Dalam sekejap, para preman itu langsung tumbang tak sadarkan diri. "Apa hanya segitu saja kemampuan kalian? Cih payah sekali kalian ini. Badan saja besar, tapi kemampuan nol. Ayo bangun dan serang saya. Hitung-hitung pemanasan," ejek Devan.Saat salah satu preman hendak bangun dan kembali menyerang, dalam satu pukulan saja preman tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak. Devan segera masuk ke dalam setelah memastikan seluruh preman bayaran itu tumbang. Di depan pintu, dia mengendap-endap masuk dan mendengarkan percakapan dua orang yang sedang berada di ruangan tempat Alin di sekap."Ren, menurutmu, apakah Tuan Devan akan benar-benar datan
Setelah menempuh perjalanan laut selama lima hari, akhirnya akhirnya mereka sampai di kota A di pulau seberang. Mereka sengaja membawa bayi itu jauh dari pulau asalnya agar tidak mudah terlacak. Mereka langsung membawa bayi itu ke panti asuhan setempat. Mereka disambut baik oleh pemilik panti."Mari silakan masuk Bapak, Ibu."Setelah mereka dipersilahkan duduk dan disuguhi minuman, pemilik panti langsung bertanya maksud dan tujuan keduanya datang."Kalau boleh saya tahu, ada tujuan apakah Bapak dan Ibu datang ke sini?" "Kami ingin menitipkan bayi ini di sini, Bu," jawab Wina.Pemilik panti tersebut heran dengan sikap pasangan di depannya ini. Tega-teganya mereka hendak menitipkan bayi mungil tak berdosa itu di panti asuhan."Maaf Bapak, Ibu, tapi kenapa? Bukankah itu darah daging kalian? Apa kalian benar-benar tega meninggalkan mereka di sini?" tanya wanita setengah baya tersebut. "Bayi ini bukan anak kami, Bu. Kami menemukannya secara tidak sengaja di depan rumah kami. Jadi kami me
Rendra hanya menyunggingkan senyumnya saat ibu Alin menuduhnya sebagai pelaku penculikan putra Alin. Dia terlihat santai saja dengan tuduhan yang terlontar dari mulut ibu Alin. Sedangkan Alin hanya diam saja tanpa menanggapi lelaki itu. "Atas dasar apa Anda menuduh saya dalang dibalik penculikan cucu Anda Tante? Lihatlah, Alin saja tidak banyak bicara. Kenapa Anda malah terlihat sensi sekali Tante?" tanya Rendra dengan santai."Karena Lindra adalah cucuku!" jawab ibu Alin dengan penuh emosi."Lin, kenapa dari tadi kamu diam saja? Apa kamu tidak merasa kehilangan bayimu? Atau kamu malah senang jika bayimu tidak ditemukan?" tanya Rendra pada Alin."Sebenarnya Anda ini siapa? Saya perhatikan sejak tadi Anda selalu membicarakan hal yang berbau provokasi," jawab Alin dengan tenang."Lin, aku Rendra, Lin. Orang yang pernah ada di hatimu. Tidak mungkin kamu lupa denganku, kan?" "Apa maksudnya kalau kamu pernah ada di hatiku? Dan sebenarnya, apa tujuanmu datang ke sini? Aku sungguh tidak me
Wina tampak berpikir sejenak dengan gagasan yang disampaikan lelaki itu."Baiklah, kita harus bergerak cepat malam ini juga," kata Wina."Apa? Malam ini? Apa kau sudah gila? Tidak mungkin kita jalan malam ini. Apa kamu nggak kelelahan dengan pertempuran kita tadi? Apa kamu nggak mau mengulanginya lagi?" tanya lelaki itu—menaik turunkan alisnya."Kita tidak punya banyak waktu, Tuan Tama yang terhormat. Kalau kita menunda-nunda, mereka pasti akan menemukan dan menangkap kita," ucap Wina penuh penekanan."Sepertinya kau sangat takut sekali dengan si Devan itu ya?" tanya lelaki itu."Bagaimana aku tidak takut? Aku pernah menjalin hubungan dengannya, sudah pasti aku tahu bagaimana watak Devan. Kau sendiri saudaranya tapi malah tidak memahami bagaimana karakter saudaramu sendiri," ujar Wina meremehkan."Aku memang tidak tahu banyak tentang kehidupan Devan karena aku jarang bertemu dengannya. Aku juga sangat jarang berinteraksi dengannya selama ini karena aku sering berada di luar negeri. Wa
"Sialan, siapa kau? Berani-beraninya mengancam ku!" sentak lelaki itu."Kau tidak perlu tahu siapa aku, cukup kau dengarkan saja perintahku. Jangan pernah mengusik keluarga Alin atau kau akan menyesal."Setelah mengatakan itu, penelepon itu memutuskan panggilan secara sepihak. "Siapa yang menelepon?" tanya wanita itu."Nomor tidak jelas. Berani-beraninya dia mengancam ku agar tidak mengganggu Devan dan Alin.""Kurang ajar, sepertinya mereka mengutus mata-mata untuk mengawasi kita," jawab wanita itu."Aku tidak yakin, tapi sepertinya orang itu bukan suruhan Devan. Lelaki itu tidak mungkin bisa mengendus gerak gerik kita. Kita harus berhati-hati, jangan melakukan hal yang bisa membuat mereka curiga dan kedok kita terbongkar," kata orang itu.***Sedangkan di sisi lain, Rendra dan sepupunya saat ini sedang mencari informasi tentang Alin."Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi?" tanya sepupu Rendra."Alin sudah melahirkan, tapi sekarang penjagaan semakin diperketat. Sangat suli
Hari demi hari mereka lalui dengan sukacita. Devan juga sudah mulai beraktivitas di luar rumah. Dia yang berpikir semua sudah aman mulai lengah dari penjagaan. Lelaki itu tidak menyadari jika bahaya sedang mengintai keluarga kecil mereka. Hari ini, dia harus berangkat ke Surabaya karena salah satu klien berpengaruh meminta mengadakan pertemuan dengan Devan secara langsung di Surabaya."Tidak apa-apa Mas, berangkatlah. Aku bisa menjaga diri dan anak kita," kata Alin meyakinkan Devan."Kalau ada apa-apa segera hubungi Mas. Mas sudah mengabari Mami agar ke sini menemanimu," kata Devan.Lelaki itu mengecup kening sang istri dengan penuh cinta sebelum meninggalkannya pergi ke Surabaya."Jagoan Daddy baik-baik di rumah sama Mommy ya. Jangan nakal dan jangan rewel, kasihan Mommy. Daddy tinggal sebentar ke Surabaya," ucap Devan pada bayi mungil itu.Dengan berat hati, Devan meninggalkan mereka. Bertepatan dengan itu, hari ini baby sitter yang di rekomendasikan oleh salah satu saudara Devan d
Devan langsung menuju ruang perawatan bayi untuk memastikan keadaan sang anak. Setelahnya, lelaki itu langsung memanggil seluruh suster, dokter dan pihak keamanan yang bertugas menjaga sang anak. Sang kakak pun tidak mengira jika mereka lalai. “Apa saja pekerjaan kalian? Menjaga bayi saja kalian tidak becus. Untung saja anakku tidak hilang,” kata Devan marah. “Ampuni kami, Tuan, kami lalai menjaga bayi Tuan. Tadi ada seseorang yang menyamar sebagai suster hendak masuk ke ruangan Tuan kecil. Kami kira, dia memang benar-benar suster yang hendak memeriksa Tuan kecil. Tapi ternyata dia hendak membawa kabur Tuan kecil. Andai kami tahu dari awal, kami pasti tidak akan membiarkannya membawa Tuan kecil, Tuan. Ampuni kami,” ucap penjaga dengan gemetar. Devan mengangguk, “ya sudah tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, dan aku ingin kalian perketat keamanan di sini. Aku tidak mau hal seperti ini terulang kembali,” kata Devan.Setelah mengatakan hal itu, Devan langsung pergi meninggalkan mereka
Sang sepupu sangat menyayangkan sikap Rendra yang cenderung lembek. Wanita itu sangat dendam dengan Alin dan juga sang suami karena gara-gara mereka kini dia kehilangan pekerjaannya."Ndra, kamu itu laki-laki jangan lembek seperti ini. Apa kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu? Apa kamu nggak mikirin mereka juga?" Rendra tampak terdiam dan menimbang-nimbang. Sedangkan sang sepupu terus saja meracuni pikiran Rendra agar mau bekerja sama dengannya."Apa kamu tidak sakit hati melihat kebahagiaan Alin di sana, sedangkan kamu di sini menderita? Lihatlah, mereka tertawa di atas kesedihan dan penderitaanmu. Pikirkan itu baik-baik," ujar sang sepupu sebelum berlalu pergi."Tunggu, apa ada yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan kita jika kita kembali membuat ulah dan mengusik keluarga mereka? Kau tentu belum lupa kan bagaimana manusia-manusia itu menyingkirkan mu dari perusahaan? Bagi mereka, melenyapkan orang seperti kita bukanlah hal yang sulit dilakukan. Apalagi kita tidak puny