Hana mengangguk kecil.
"Memangnya siapa lelaki yang udah berhasil merebut hati kamu, Han?" tanya Dina penasaran dan menginginkan Hana segera menjawab rasa penasarannya itu."Nanti juga kamu bakalan tahu Din. Sabar aja!" jawab Hana. Sebenarnya ia juga tidak tahu akan dinikahkan dengan siapa, Hana nyaris belum pernah bertemu dengan calon suaminya, seperti calon pengantin pada umumnya. Penjajakan satu sama lain, saling cinta dan kasih untuk memulai sebuah hubungan baru yang disebut pernikahan. Namun, Hana tak ingin membuat orang lain bingung dengan pernikahannya ini, cukuplah dirinya saja yang tidak mengerti dengan pernikahannya ini."Tega kamu, Han. Aku penasaran loh ini." Dina mengerucutkan bibir karena Hana tak memuaskan rasa penasarannya.Hana tersenyum geli melihat ekspresi Dina yang seperti itu."Sabar! Nggak lama lagi kok," jelas Hana sambil mencubit pipi Dina."Eh, betewe kamu memang udah berhasil move on ya dari Bang Ridwan? Kok cepet banget? Mana udah mau langsung nikah pula.""Iya lah aku udah move on. Memangnya dia aja yang bisa move on secepat ini? Gue juga bisa dong." Hana menutup mulutnya dengan kedua tangan, merasa geli dengan gaya bicaranya yang tak biasa centil ini."Bagus deh kalau gitu, lelaki macam dia tuh nggak perlu diingat-ingat! Ya walau pun aku tuh masih nggak nyangka aja kalau mereka bisa menikah. Berarti selama ini ada apa-apanya dong, kan Di belakang kamu? Hayoo ...," ucap Dina yang tak habis pikir dengan kejadian yang dialami dua sepupunya sekaligus, Hana dan Rina. Sejenak Hana tapi berfikir. Ia merasa kata-kata Dina ada benarnya.'Betul juga yang dibilang Dina. Kok aku baru nyadar ya?' batin Hana sambil mengulum bibir bawahnya."Benar, kan?"Hana menghembus nafas panjang, "Udah nggak usah bahas mereka! Bantuin aku yuk!" Hana berdiri dan menarik tangan Dina menuju kamarnya.Hana ingin mengemasi barang-barang yang pernah Ridwan kasih kepadanya. Ia sudah berdiri di depan lemari dan memilah mana saja barang yang pernah menjadi saksi bisu perhatian dan cinta Ridwan terhadapnya."Kok dikeluarin semua, Na?" Dina tak mengerti dengan apa yang sahabatnya itu lakukan."Ini barang pemberian Bang Ridwan. Istrinya yang minta ini semua dikembalikan," jelas Hana dengan terus menarik satu persatu barang-barang pemberian Ridwan dengan kasar dan sedikit kesal. Teringat bagaimana bahasa yang disampaikan Rina melalui pesan singkat saat meminta semua pemberian Ridwan."Rina?"" Iya lah, siapa lagi?" ketus Hana."Kalian ketemu?""Nggak, dia ngechat aku. Banyak banget sih pertanyaannya, kayak wartawan aja," ucap Hana."Biarin lah, siapa suruh bikin penasaran terus?" balas Dina yang tak kalah sengit. Keduanya pun mulai mengemas semua barang-barang yang ingin dikembalikan kepada si pemberi."Banyak juga ya barang yang udah Bang Ridwan kasih ke aku. Sampe hampir kosong melompong tuh lemari.""Barang sebanyak ini dia kasih ke kamu, pasti dulunya dia serius banget deh sama kamu, Na. Sampe ngasih kalung juga. Tapi yang herannya untuk apa barang-barang ini nantinya? Bukannya si Rina itu paling alergi kalau pakai barang bekas?"Pandangan Dina kembali pada kalung emas itu, "Kalungnya serius mau dibalikin? Buat aku aja, Na!""Huuus, kamu mau digiling sama Rina? Dia tahu loh kalau Bang Ridwan ngasih kalung ke aku. Bukan cuma itu, bentuk dan harganya dia juga tahu. Terus kalau dia lihat kamu yang pakai kalung pemberian suaminya, gimana? Tahu sendirilah gimana Rina. Anggun tapi judes kayak lampir, hihihihi," goda Hana."Hah, jadi inget dulu waktu masih kecil yang aku sama dia bergelut di selokan gara-gara dia kalah main, abis itu dia ngadu ke maminya. Hihihi lucu banget waktu itu, Rina dari dulu memang nggak pernah mau kalah dan mengalah." Dina teringat kenangan masa lalunya saat bermain dengan Rina. Rina selalu ingin mendominasi apapun itu, tak pernah mau dinyatakan kalah dan selalu ingin menang sendiri."Segitunya, Din? Kasian banget kamu." Hana memanas-manasi."Iya, andai aja waktu itu aku masih punya mama, udah aku laporin tuh si Rina yang maunya menang sendiri. Tapi ya udah lah ya, itu kan dulu sewaktu masih jadi bocil. Sekarang udah beda, aku nggak akan mau berteman sama dia, yah walaupun sampe sekarang Bude Obed masih sering semena-mena sama aku, hmmm." Dina menghembus nafas secara kasar, merasa lelah menerima perlakuan kakak kandung dari ayahnya itu, Obed."Kamu tau nggak, Na? Si Rina dan Bude Obed pernah minta aku buat minta nomor Bang Ridwan sama kamu loh. Aku nggak tahu maksud dia tuh apa. Sampe sekarang aku nggak berani minta nomor Bang Ridwan sama kamu, Na."Hana tersentak kaget mendengar penjelasan Dina, "Oh ya, kok aku baru tahu? Kenapa nggak cerita dari lama?""Buat apa? Menurut aku sih si Rina memang udah naksir Bang Ridwan dari lama, Na. Oh iya ini barang-barang kapan mau kamu kasiin? Kayaknya lebih cepat lebih bagus deh. Sekarang aja yuk!""Serius kamu?" tanya Hana tak yakin."Iya lah, serius banget malah. Biar si Rina tahu kalau kamu itu udah nggak butuh barang-barang ini, dan semoga aja dia cepat sadar dari ambisinya itu," sungut Dina."Ambisi?""Iya lah, dia itu berambisi banget buat ngerebut apapun yang dia mau. Makanya lain kali kamu harus waspada sama kelicikannya, Na!" cibir Dina lagi. Ia memang menganggap Rina sebagai wanita ular sejak dulu.Setelah selesai mengemas barang pemberian Ridwan, Hana dibantu Dina membawa dua paper bag jumbo untuk diserahkan hari ini juga pada mantan kekasihnya.Berjalan sebentar dan sampai di keramaian pesta itu. Dina membawa dua paper bag itu langsung ke dalam kamar pengantin Rina dan Ridwan. Meletakkannya tepat di samping lemari hantaran milik Rina. Setelah itu keluar dan menemui Hana.Pesta besar yang di gelar itu akan menjadi sejarah di kampung ini karena untuk kali pertama pesta pernikahan mahal nan megah itu dibuat. Rina melihat kehadiran Hana dan Dina di sana. Tentu ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanas-manasi Hana. Ia gandeng tangan suaminya sekaligus bergelayut manja di sana.Tidak seperti waktu pertama kali Hana datang ke pesta ini, ia sudah terlihat biasa menyaksikan pemandangan itu. Perasaannya terhadap Ridwan perlahan mulai terkikis meski belum sempurna.Sekarang tiba saatnya acara lempar bunga oleh sepasang pengantin. Banyak muda-mudi yang sudah berkumpul untuk menangkap buket bunga yang akan dilemparkan itu. Namun, Hana tak berniat untuk ikut memeriahkannya. Ia malah mengambil minum dan memperhatikan saja siapa yang beruntung mendapatkannya."Na, ayo kita ikutan!" ajak Dina."Nggak ah. Aku tunggu di sini." Hana meletakkan kembali gelas yang ada di tangannya.Suara MC mulai menginterupsi, " satu dua tiga, lempar!" Semua orang berteriak saat sepasang pengantin yang membelakangi penonton melemparkan buket bunga itu. Entah mengapa buket itu tanpa sengaja terbang ke arah Hana dan saat Hana ingin meraihnya, Hana dan seorang lelaki saling tubruk untuk meraih buket itu."Haaaaa ...," teriak semua orang ketika buket itu digenggam oleh dua orang yang berbeda.Hana hampir limbung dan dengan sigap lelaki itu meraih pinggang Hana agar tidak jatuh.Bersambung ..."Huuuuuuu ...." Sekali lagi teriakan muda-mudi yang gagal mendapatkan buket bunga itu. Meski tak bisa meraih, tampaknya mereka begitu menikmati momen ini. Sepasang pengantin itu pun membalikkan badan melihat siapa orang yang beruntung mendapatkan buket bunga itu, karena ada hadiah cincin untuk orang yang beruntung. Cincin emas seberat dua gram sebagai hadiah sudah berada di tangan MC dan akan di serahkan kepada pemegang buket bunga itu.Hana dan lelaki yang tak dikenalnya itu saling tatap dalam beberapa detik. Dengan buket bunga sebagai pembatas wajah keduanya.Hana segera sadar dan membenarkan posisinya berdiri. Lelaki itu pun tampak canggung."Yaaaay ternyata yang dapat dua orang dong. Bisa maju ke depan nggak? Ayo sini Mas sama Mbaknya maju ke depan!" Pembawa acara itu menginterupsi."Berhubung cincinnya cuma satu, si Masnya aja yang pakein cincin ini sama Mbaknya ya!"Semua mata tertuju pada sepasang yang beruntung itu. Termasuk Ridwan dan Rina. Ridwan terkesima memandang dari jauh
[Ma, Ray langsung balik aja! Bilangin ke Papa ya!] Tuuuuuut."Ray ..., Rayhan ..., Gimana sih? Kok malah pergi, bukannya mampir dulu sebentar liat calon istri" kesal Inggit saat panggilan yang baru saja ia angkat malah diakhiri sepihak oleh Rayhan."Kenapa, Ma?" tanya Adnan yang penasaran dengan apa yang terjadi pada Rayhan."Itu tuh si Rayhan bukannya singgah kesini. Eeeeh malah pergi. Ngeselin nggak tuh?" Inggit merasa tidak enakan pada Nining dan Hana.Sementara dengan Hana, ada raut wajah kecewa saat calon suaminya itu tidak bisa mampir di rumahnya yang jauh dari kata sederhana ini. Entahlah mungkin karena Rayhan belum siap menemui Hana, karena biar bagaimanapun dijodohkan itu tidak mudah."Kamu nggak apa-apa kan, Han? Rayhan mungkin lagi sibuk. Kan bentar lagi mau ambil cuti panjang. Jadi semua pekerjaan harus diselesaikan jauh sebelum waktunya," jelas Adnan."Iya, Pak," jawab Hana sambil kemudian mengulas senyum."Oh iya, saya mau ajak kamu ke klinik kecantikan besok. Kamu mau ka
Tibalah saat dimana Rayhan dan Hana akan bersatu dalam sebuah ikatan yang dinamakan pernikahan.Semua yang hadir ingin menyaksikan ijab kabul itu. Ada raut wajah bahagia disana. Namun, tidak dengan Rayhan. Sejak pagi tadi wajahnya terlihat muram dan sangat tidak menyenangkan. Semua mata tertuju pada Hana yang baru saja keluar dari ruangan make up. Ia tampak cantik dan nyaris sempurna dengan balutan gaun pengantin berhijab. Make up bernuansa nude color berpadu dengan busana serba putih itu, sangat pantas jika disandingkan dengan Rayhan yang memakai teluk belanga lengkap dengan dengan songket yang tersimpul indah di pinggangnya.Ada yang memandang takjub dan ada juga yang tak mau kalah mencibir Hana."Sebenarnya sih nggak pantes aja pesta di gedung. Tapi lihat rumah udah mau ambruk," cibir seseorang. Siapa lagi kalau bukan Obed yang ketenarannya tak mau dikalahkan oleh siapapun. Pelaminannya juga bagusan si Rina kemarin toh," Obed berbisik-bisik pada tetangga yang sengaja diundang ole
Hana tak lagi perduli dengan penampilannya kini. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia bisa tertidur lelap malam ini karena sekujur badannya sudah sangat lelah. Hana pun mulai naik ke tempat tidur, ia menarik bed cover yang dikuasai Rayhan kemudian tidur dengan saling memunggungi.Saat tengah malam, suasana kamar menjadi begitu dingin. Hana menguasai bed cover dan terjadilah aksi saling tarik bed cover itu, meski keduanya masih saling memunggungi. Rayhan menarik dengan kuat bed cover itu agar menutup sekujur tubuhnya, sehingga Hana terpaksa meringkuk sambil memeluk guling. Kini ia tak lagi menarik bed cover itu, karena percuma. Rayhan akan mengambilnya lagi.Saat subuh, Hana terbangun. Ia duduk bersila sambil menatap lelaki yang telah sah menjadikannya istri semalam. "Nggak punya hati banget sih, istri dibiarin kedinginan, huuuh," Hana mencebik kesal.Sebentar menatap diri, Hana merasa tak nyaman dengan pakaiannya ini. Namun, apa mau dikata. Tidak ada lagi pakaian yang pantas ia
"Kamu nggak ada kerjaan lain ya selain berdiam diri di kamar? Jalan- jalan kek. Kenapa sih buat orang makin kesel aja," ketus Rayhan. Ia memang belum bisa menerima pernikahannya ini. Lagi pula jika melihat wajah Hana entah mengapa emisi semakin menjadi-jadi."Kenapa nggak kamu aja sih yang pergi? Ngeselin banget," lirih Hana yang nyaris tak terdengar oleh Rayhan. Ia juga mewanti-wanti agar Rayhan tidak mendengar apa yang ia katakan. Selain takut, Hana juga tak ingin Rayhan semakin marah padanya."Siap-siap! Kita pulang sekarang juga!" ucap Rayhan. Ia masih memilih pakaian yang nyaman ia pakai. "Kenapa pulang, Mas? Bukannya kita akan ...," kata- kata Hana terputus saat Rayhan dengan garang menatap ke arahnya."Ia kita pulang," jawab Hana sambil tertunduk. Padahal ia masih ingin berlama lama menikmati hotel gratis ini.Setelah melakukan perjalanan sekitar hampir dua jam, Hana dan Rayhan sudah sampai di rumah orang tua Rayhan.Papa dan mamanya pun tak menyangka bahwa Rayhan dan Hana akan
[Ray, gue udah tahu di mana Anisa. Di sudah kembali dan sekarang tinggal di apartemen di jalan Asia.] Rayhan langsung berlari meraih kunci mobilnya setelah membaca pesan singkat dari Rendi, sahabatnya.Mendengar nama Anisa, ia begitu semangat dan antusias untuk bertemu. Ingin memeluk dan menumpahkan segala kerinduan yang telah bersemayam dalam diri. Sudah sejak lama ia menunggu momen ini dan ketika momen itu datang, Rayhan tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."Ray, kamu mau kemana? Jangan pergi! Nanti malam itu ada acara penting di rumah ini," teriak Inggit dan itu sama sekali tak digubris oleh Rayhan. Rayhan dengan buru-buru masuk ke dalam mobil dan memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju tempat dimana cinta pertamanya itu berada.Satu jam melakukan perjalanan akhirnya Rayhan tiba di depan sebuah apartemen yang menurut informasi adalah satu-satunya tempat tinggal Anisa.Tok tok tokTok tok tokCeklek.Pintu kamar apartemen terbuka, muncullah seorang wanita dengan perawa
"Kamu ngapain sih ikut acara mereka, Mas? Itu acara keluarga dan kamu bukan bagian dari mereka. Bisa nggak kamu tetap di sini temani aku. Aku lebih butuh kamu dari pada mereka, Mas," rengek Rina saat Ridwan sudah bersiap akan pergi ke acara makan malam yang diadakan oleh keluarga Adnan, menyambut kehadiran menantu baru di keluarga besarnya. Adnan dan Inggit memang meminta Ridwan hadir karena dianggap mampu mensukseskan acara ini. "Kamu juga harus ngerti, Rin. Ini semua perintah dari atasanku. Aku nggak punya kuasa untuk menolak ini, karena biaya pernikahan kita tempo hari juga atas bantuan mereka. Kalau bukan karena kebaikan hati Pak Adnan dan keluarganya mana mungkin kita bisa menyelenggarakan pesta besar waktu itu. Please ngertiin aku juga! Cuma malam ini aja. Masih banyak kan malam-malam selanjutkan untuk kita menghabiskan waktu?" Ridwan mencoba memberi pengertian kepada wanita yang baru beberapa minggu ini menjadi istrinya.Namun, Rina tetap tidak mau mengerti dan hanya ingin d
"Kamu kenapa keluar? Kan udah mas bilang jangan keluar. Kenapa sih nggak nurut?" Ridwan tampak kesal. Andai tadi Rina tidak datang sudah bisa dipastikan dirinya bisa bicara dengan Hana. Walaupun hanya sekedar meminta maaf atas apa yang ia lakukan pada Hana. Namun, semuanya telah digagalkan oleh istrinya sendiri."Kamu mau apa dekat-dekat sama dia? Ingat, Mas! Kamu itu sekarang milikku. Memangnya kamu mau kalau semua orang disini tahu kalau ternyata kamu itu dulunya pernah punya hubungan spesial dengan Hana, hmm? Mau kamu gitu?" ujar Rina dengan suara yang tinggi. Ia tak bisa mengontrol nada bicaranya."Rina, kecilkan suara mu! Ini di rumah orang, bukan di rumah kita," ucap Ridwan yang hampir keteteran dibuat sang istri. Ia melihat keadaan sekitar, untungnya tidak ada yang memperhatikan mereka. Buru-buru Ridwan membawa Rina menjauh dari tempat acara itu."Aauh sakit, Mas." Rina menghempaskan tangan Ridwan yang dengan kuat mencekal pergelangan tangannya.
Pergi begitu saja meninggalkan Anisa dan senyum Anisa yang tadinya semeringah memudar kala Rayhan berdiri dan mulai meninggalkannya. "Rayhan ...," panggil Anisa sambil mengejar Rayhan, tetapi langkah Rayhan terlalu panjang sehingga tak terkejar olehnya. Sementara Rayhan tetap memaksa mengendarai mobilnya agar sampai di rumah. Dorongan hasrat ini harus segera dituntaskan, jika tidak maka itu akan menjadi siksaan batin yang bisa saja membuatnya gila. Rayhan membuka kancing kemeja bagian atas hingga menampakkan bulu-bulu halus itu. Setelah sampai di garasi, ia pun lantas berlari ke arah rumah. Masuk dengan kunci yang ada padanya. Hana baru saja keluar dari kamarnya dengan kepala yang masih berbalut handuk. Ia terperanjat melihat gelagat aneh sang suami yang tak seperti biasa. "Hana," lirih Rayhan sambil berjalan mendekat pada wanita yang hanya memiliki tinggi tubuh sekitar seratus enam puluh cm itu. Mengangkat tubuh Hana dan membawanya menuju kamar terdekat, yaitu kamar Hana. "Mas,
"Apa betul mama menerima sejumlah uang dari keluarga Rina dan sebagai gantinya aku harus menikahi Rina? Betul itu, Ma?" tanya Ridwan dengan suara lantang dan mata yang membulat. "Ridwan, kamu ini datang-datang bukannya kasih salam dulu, malah nanya yang nggak-nggak." Lastri mencebik kesal, ada rasa takut dalam hatinya sekaligus heran mengapa rahasia ini bisa sampai bocor."Tolong jawab aja, Ma! Jawab yang jujur!" sentak Ridwan sehingga Lastri terkejut dan semakin ketakutan. Namun, berusaha bersikap tenang.Lastri terdiam dan itu sudah menjadi jawaban untuk Ridwan. Ia menggeleng pelan, tak menyangka bahwa sang ibu telah menjual dirinya demi uang, padahal Ridwan berusaha menerima jodoh yang ibunya pilihkan. Berharap ini adalah pilihan terbaik, meski Harau mengabaikan hati dan cintanya pada Hana."Ridwan ... Wan, mau kemana kamu? Mama mau jelasin sesuatu sama kamu," teriak Lastri saat Ridwan pergi dari hadapannya.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga ia tak perduli lagi ten
"Seharusnya Abang pulang langsung ke rumah. Bukannya malah cari perhatian sama Hana. ingat, Bang! Hana itu udah punya suami dan kamu juga udah punya aku," ucap Rina. Dengan kondisinya yang sedang sakit, ia nekad pergi ke rumah Nining untuk menjemput sang suami. Karena sedari tadi ia duduk di depan terasnya untuk memantau acara yang dibuat Hana dan ibunya.Melihat mobil yang biasa suaminya kendarai pulang cepat, Rina pun bergegas ke rumah itu. Namun, kedatangannya itu ternyata untuk melihat sang suami sedang saling tatap dengan Hana. Kedua tangan Ridwan menyangga tubuh Hana agar tidak jatuh. Ingin rasanya ia langsung berteriak dan melerai keduanya. Namun, ia tak kuasa melakukannya karena kakinya terasa lemas. Pun Nining segera memberi kode kepada kedua orang yang tengah berpandangan itu hingga keduanya sadar dan melepaskan diri.Rina bisa melihat bahwa suaminya masih menyimpan rasa terhadap Hana. Terbukti saat Ridwan masih saja menatap Hana yang melenggang pergi."Abang nggak sengaja
"Bangun! Bangun, Mas!" Hana menggoyang dan menepuk punggung tangan Rayhan supaya bangun. Kerena waktu subuh tidak banyak jika untuk mengerjakan wajibnya.Berulang kali Hana mencoba membangunkan hingga ia lelah dan membelakangi posisi Rayhan. Tetiba muncul keisengannya.Hana mendekat pada wajah Rayhan yang masih tertidur pulas. Menatapnya dari dekat, begitu dekat, bahkan sangat dekat. Hingga Hana dapat merasakan terpaan hangat nafas Rayhan. Ia pejamkan mata merasakan debaran jantung yang mulai tak beraturan.Rayhan mengerjakan mata, melihat Hana yang begitu dekat dengannya. Entah mengapa ada rasa nyaman dan menginginkan waktu berhenti agar Hana tak berlalu dari hadapannya.Muncul pula ide dalam benaknya agar Hana tak segera berlalu. Rayhan memeluk Hana sambil membenarkan posisi ternyaman, matanya masih terpejam agar Hana menganggap ini adalah ketidak sengajaan yang tercipta.Hana membulatkan matanya saat dirinya malah terjebak dalam pelukan Rayhan. Semakin ia berusaha melepaskan diri,
"Sebaiknya jangan ,Nak. Selagi masih bisa diatasi dengan kata-kata, biarlah! Ibu juga nggak tega kalau budenya Hana masuk penjara," ujar Nining dengan tatapan sendu."Keterlaluan, Buk," ketus Hana. Ia sudah lelah menghadapi sikap Obed yang selalu ingin menang sendiri."Ya udah kita masuk yuk!" ajak Nining. Malam itu, Rayhan jadi tak sampai hati untuk meninggalkan rumah itu. Ia tak ingin jika Obed datang lagi dan menekan ibu mertuanya. Saat di kamar, Rayhan menelpon seseorang untuk berjaga-jaga di rumah mertuanya besok. Perempuan dan tentunya bisa bela diri untuk menjaga Nining saat Obed tiba-tiba mengamuk.Hana baru saja masuk ke dalam kamar. Ia ingin berganti baju.Berjalan menuju lemari dan mengambil baju yang ia inginkan. Setelah itu berganti di dalam kamar mandi."Kamu mau tidur di kamar ibu kamu lagi?" tanya Rayhan saat Hana baru saja ingin memutar handle pintu kamar. Ia memang akan keluar dari kamar itu."Kamu mau ibu kamu curiga, terus nambahin beban pikirannya, hmm? Anak maca
Sementara Hana mengerti betul bahwa Ridwan masih menyimpan rasa. Itu terlihat dari ekspresi cemburu yang tak bisa Ridwan tutupi darinya.Sama seperti dirinya yang tak bisa langsung membunuh cinta terhadap Hana, begitu jugalah Hana yang sulit mengubur masa indah saat menjalin kasih dengannya.Rayhan langsung membuka pintu mobil, diikuti Ridwan yang juga baru sadar dengan ketidakfokusannya.Setelah kepergian Rayhan dan Ridwan, Hana pun ingin berlalu masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya ya terhenti saat Obed memanggil namanya."Hana ...," panggil Obed sambil berjalan mendekat pada Hana diikuti Hana yang menoleh ke sumber suara."Jangan mentang-mentang kamu itu istrinya orang kaya, bos besar, terus kelakuan pun udah sombong," ucap Obed dengan berkacak pinggang, menatap tajam pada Hana yang hanya diam dengan kedua alis seakan tertaut."Sombong apanya, Bude?""Jangan sok-sokan nggak tahu lah! Pasti selama ini Ridwan itu pulang malam terus dari tempat kerja karena kamu yang suruh, Kan? Ka
Menghirup udara malam di depan rumah orang tuanya membuat Hana seakan mengulang masa lalu saat di mana dirinya diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang begitu menyayanginya.KreeeeetSuara pintu terbuka, Hana langsung menatap wajah ibunya yang muncul dari balik pintu. Berlari dan memeluk sang ibu, seakan ingin melebur semua rasa rindu dalam hatinya.Rayhan pun turun dari motornya, mendekat dan mencium punggung tangan Nining dengan takzim."Kalian pulang, Nak. Ibu senang banget. Ayo masuk!" Nining merangkul pinggang Hana dan menuntunnya masuk. "Mimpi apa semalam ibu, bisa lihat kalian datang, ibu nggak nyangka," ujar Nining dengan mata yang tampak berkaca-kaca. Beberapa hari ini ia selalu melangitkan doa agar anak semata wayangnya itu datang mengobati rindu yang kian bersemayam dalam hatinya. Allah maha baik, ia dipertemukan dengan sang anak yang menurut logikanya tak mungkin muncul malam ini."Hana katanya kangen, Buk," sambung Rayhan yang berjalan di belakang kedua wanita itu
Hari ini malas sekali rasanya Rayhan untuk pergi ke kantor. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja karena Hana yang masih marah padanya.Seharian di kamar membuat dirinya lapar dan memilih turun ke lantai bawah menuju dapur. Hana baru saja selesai dengan makannya, ia hanya memasak mie instan, itupun hanya di rendam beberapa menit dengan air panas dan langsung ia santap.Hari ini moodnya juga sedang tidak baik. maka dari itu ia memilih berdiam diri di kamar yang baru saja dikosongkan oleh Inggit.Keduanya berpapasan di pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tengah. Tak saling sapa walaupun Rayhan sengaja menyentuh jari-jemari Hana sebagai suatu gurauan.Namun Hana sama sekali tak memperdulikan itu. Ia tetap fokus menuju kamar, dan membiarkan Rayhan berpikir untuk mengisi perutnya sendiri. Hana tidak masak sesuatu untuk Rayhan, ia tak perduli dan sesekali ingin memberikan lelaki itu pelajaran."Ya ampun, nggak ada makanan. Gimana sih? Lagi marah ya marah aja, tapi jangan s
Setelah hatinya sedikit tenang, Hana pun berlalu ke kamarnya dengan map yang diberikan oleh Ridwan tadi. Sementara Rayhan baru saja keluar dari dalam kamar mandi."Dari bang Ridwan," ucap Hana sambil meletakkan map itu di meja telat di hadapan Rayhan berdiri. Setelah itu putar arah dan akan keluar dari kamar ini. Karena bertemu dengan Rayhan akan semakin memperburuk suasana hatinya.Lebih baik ia memilih sendiri dulu dari pada bersama Rayhan, Hana belum siap untuk mendapat sebuah kata-kata kasar lagi malam ini."Tunggu!" ucap Rayhan sebelum Hana memutar handle pintu. Hana mematung, fokus mendengarkan apa yang akan dikatakan Rayhan."Jadi udah ketemu sama mantan?" tanya Rayhan."Seperti yang kamu tahu.""Menikmati? Bahagia?" cecar Rayhan lagi dan Hana tak mengerti maksud dari pertanyaan itu."Maksud kamu apa, Mas?" Rania berbalik dan menatap Rayhan dengan tatapan tajam."Jangan bohongi diri kamu, kalian pacaran lebih dari lima tahun dan rasa itu nggak mungkin berakhir begitu saja. Saya