Yeaayy... Author selesai bikin extra part untuk update malam ini. Atas permintaan GoodReaders teman-teman setia Aruna dan Brahmana, mulai hari ini Author akan teruskan Aruna dan Brahmana-nya nih dengan jadwal yang sama seperti sebelumnya yaa. Thanks dah selalu mendukung, and... Enjoy!!
“Ba-baik Pak! Segera saya lakukan, Pak!” Direktur PT Niskala mengangguk, bahkan membungkuk memberi hormat, padahal seseorang di seberang sana --yang tengah berbicara di telepon padanya, tidak bisa melihat. Sambungan telepon yang terhubung itu tampaknya selesai, karena Direktur dengan tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya dan bergegas menuju lift. Tangan masih memegang ponsel, tatkala sekretaris Direktur menyapanya terkejut. “Pak, apa terjadi sesuatu?” tanya sekretaris itu saat melihat raut wajah Direktur yang sangat serius. “Urgent.” Hanya itu yang sempat dikatakan sang Direktur, lalu pintu lift membuka, ia pun segera masuk ke dalamnya. Meninggalkan sang sekretaris yang masih bingung di sana. Pria di akhir usia lima puluhan itu berjalan tergopoh dengan tujuan terarah, begitu pintu lift membuka. Tidak ia hiraukan sapaan hormat dari semua pegawai yang tengah sibuk di dalam kubikel masing-masing dan hanya menatap lurus ke arah satu ruang dengan raut wajah serius. Tentu saja itu me
Aruna turun dari mobil, setelah seorang pekerja di kediaman Brahmana --yang juga menjadi tempatnya tinggal sekarang-- membukakan pintu untuknya. Aruna menganggukkan kepala untuk membalas salam hormat pekerja itu padanya dan melangkah dengan tenang menuju teras depan. Pelayan membukakan pintu dan menyapa hormat padanya, tatkala langkah kaki jenjang milik Aruna melewati pintu itu dan menuju anak tangga besar. Ia harus bergegas membersihkan diri, sebelum sang suami pulang. Tangannya mendorong pintu kamar mereka lalu masuk, tanpa prasangka apa-apa. “Aah!!” Aruna terpekik kaget. Tubuhnya ditarik paksa oleh satu lengan kekar yang melingkari pinggangnya dengan posesif. “Kenapa baru pulang, hm?” Brahmana menaikkan lengan lainnya di pinggang Aruna dengan kepala merunduk dan mengendus tengkuk Aruna. “Kau bikin aku kaget, Agha!” omel Aruna. Ia mencubit tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. “Geli! Lepasin dulu.” “Hm…” Brahmana tak menggubris ucapan istrinya dan terus memainkan
Di satu sudut emperan toko, seorang wanita paruh baya berpakaian lusuh, tengah duduk sambil memegang kaleng bekas susu kental manis yang telah dibersihkan. Bagian tutup kaleng susu itu telah terbuka penuh dan terlihat ada beberapa koin serta lembaran uang nominal dua ribu rupiah ada di dalamnya. “Hah! Apa ini?!” gerutu wanita itu kesal. Ia membalikkan kaleng itu dan mengeluarkan semua isinya. “Lagi-lagi hasilnya cuman segini doang,” keluhnya dengan raut wajah masam. “Kapan bisa makan enak?” Dengan kesal ia menghitung lembaran demi lembaran uang dua ribu rupiah dan juga koin recehan itu. “Cuman sekali doang dapat uang gede banget. Gak tau mimpi apa, bisa dikasih tujuh ratus ribu ama orang dalam mobil Bentley itu…” Wanita itu berdecak. “Kapan lagi ya mobil itu lewat… Siapa tau ntar dia ngasih lebih gede dari itu.” Wanita itu menggaruk kepalanya lalu mengambil dompet kain yang ada di balik blus lusuhnya. Ia lalu berdiri dan berjalan menyusuri emperan toko yang ia singgahi dan ter
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Lisa untuk mengetahui lebih lanjut tentang pernikahan mantan putri tirinya itu dengan CEO Dananjaya Group. Saat ini hampir seluruh media baik online maupun media cetak dan siaran tunda, menayangkan tentang pernikahan akbar sang CEO Dananjaya Group --Brahmana Agha Dananjaya. Pemberitaan yang tampaknya memang baru diizinkan pihak Dananjaya Group, untuk ditayangkan setelah beberapa hari pernikahan itu terlaksana. Tentu saja itu dilakukan untuk memberikan waktu tenang bagi sepasang pengantin itu dari sorotan massa. Kembali ke Lisa. Wanita yang masih berpakaian lusuh itu berdiri di pinggir seorang pengemudi ojek untuk menuju satu tempat yang ia yakini merupakan tempat kerja milik CEO tersebut. “Bang, ke kantor Dananjaya Group ya.” Pengemudi ojek itu memperhatikan sekilas penampilan Lisa, namun ia tetap mengangguk. Lisa segera naik di belakangnya, setelah tawar menawar harga terjadi dan disepakati. “Bu, kalau mau kerja mending ke deket taman di bund
“Tuan.” Fathan menghampiri Brahmana yang baru saja keluar dari pintu lift khusus. “Mr. Smith menghubungi dan mengatakan ketertarikan untuk kerjasama dengan DG.” “Smith? Smith dari The Grid Corp?” Fathan mengangguk. “Benar Tuan.” Langkah Brahmana tidak terhenti atas pembicaraan itu. Kini dirinya masuk ke dalam ruangan, setelah Fathan membukakan pintu dengan cepat untuknya. “Hubungi kembali dan jadwalkan pertemuan dengan pihak mereka.” Brahmana meletakkan tas kerja di atas meja kecil di belakang kursi kebesarannya. Biasanya Fathan yang membawakan tas kerja Brahmana begitu tiba di basement Dananjaya Group, namun sudah beberapa hari ini --tepatnya setelah menikah dengan Aruna-- Brahmana tidak mengizinkan siapapun membawakan tas kerjanya. Alasannya sederhana. Di dalam tas kerja itu, selalu tersemat catatan kecil berisi penyemangat penuh cinta dari sang istri. Hari pertama ia kerja, ia benar-benar dikejutkan dengan surprise manis kecil tersebut --ya meskipun orang pertama yang menem
Tatapan tajam Aruna terhunus pada wanita berpakaian lusuh yang masih dipegangi dua petugas security dan satu orang yang berjaga waspada. Wanita muda istri CEO Dananjaya Group itu kemudian terhenti di depan Lisa dengan sorot yang dipenuhi bara. “Jangan sekali-kali kamu menyebut nama ibuku dengan mulut kotormu, bu Lisa!” Wanita berpakaian lusuh itu melepaskan tawa sinis. “Ada apa memang dengan itu? Kamu anak durhaka yang mengabaikan ibumu sendiri setelah menjadi kaya! Jadi, memang benar wanita yang kamu sebut ibu itu, tidak becus menjadi seorang ibu! Bagus dia mati lebih awal, kalau tidak, kamu mungkin akan jadi--” PLAKK!! “Tutup mulut busukmu!” desis Aruna menahan murka. “Ka-kamu!! Kamu berani memukulku, anak durhaka?!” Lisa menatap nyalang pada Aruna. Ia bergerak hendak maju, namun tertahan kuat oleh dua petugas di kiri dan kanannya. Aruna bergeming, namun tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah yang membuncah akibat perkataan yang dilontarkan oleh Lisa. “Dengar baik-baik, ibu
Aruna mengembus napas pelan dan bergumam.“Apakah aku berdosa, jika masih belum memiliki maaf untuk wanita itu dan juga anaknya?”Brahmana terdiam sepersekian detik.“Meminta maaf adalah satu hal yang berat, tapi lebih berat lagi adalah memberikan maaf.” Suami Aruna itu memberikan pembuka kalimat.“Karena itu, aku tidak bisa menghakimi mengenai hati. Apa yang kau alami saat bersama ibu tiri dan saudara tirimu saat itu, pasti berat. Tapi aku tidak berani mengatakan ‘aku mengerti’, karena aku tidak pernah berdiri di kakimu dan mengalami apa yang kau alami. Jadi..” Brahmana mengusap penuh kasih sisi kepala Aruna.“Bebaskan dulu dirimu dari segala sesuatu yang mengganggumu. Setelah kau sungguh-sungguh bisa melepaskannya, kau bisa memaafkan mereka.”“Terima kasih, Agha…”“Aku yang terima kasih,” balas Brahmana.“Mengapa?”&l
“Apa maksudmu Bu?!” Ferliana mengempas kasar bokongnya di depan sang ibu dengan mata membesar tidak percaya. “Seperti yang kau dengar. Dia menikah dengan pewaris DG.” “Tidak,” geleng Ferliana. “Tidak mungkin! Mana mungkin wanita sialan itu menikah dengan--” Lisa menaikkan bahu. “Itu kenyataan.” Tidak mempercayai itu, Ferliana mengeluarkan ponselnya dan mengetik kata kunci tentang pernikahan Aruna di kolom pencarian. Tidak butuh waktu lama, berita tentang pernikahan akbar Aruna dan Brahmana muncul dan telah menjadi trending topic. Mata Ferliana liar menatap tajuk utama setiap berita dengan mata memerah dan rahang mengeras. [Heboh!! Pewaris Dananjaya Group Melepas Masa Lajangnya!] [Pernikahan Termegah Abad Ini; CEO Dananjaya Group Menikahi Manager] [Pewaris Tunggal Dananjaya Group Menikahi Wanita Cantik Sederhana] [Siapa Wanita Penakluk CEO Dananjaya Group?] Dan judul-judul bertema serupa, berderet memenuhi layar ponsel Ferliana. Ia mengetuk salah satunya dan membaca dengan t
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m