[Apakah standar PT NC dalam melakukan perekrutan sekarang sangat rendah?]
[Jalur belakang, wanita ini pernah magang di salah satu perusahaan ternama.]
[Wanita yang diduga melakukan tindakan asusila sejak masa remaja, pernah menjadi pegawai magang di PT NC.]
Tentu saja Ferliana tersenyum puas melihat rentetan judul berita online yang beredar. Meskipun berita tersebut bukan dimuat oleh media-media ternama dan kredibel, Ferliana tetap mengacungkan jempol pada Rani atas gerak cepat Rani membuat foto-foto yang ia miliki menjadi berita.
“Kenapa kamu gak lakukan itu dari dulu? Tunjukkan ke kak Julian foto-foto itu, pasti Aruna sudah dicampakkan sejak dulu,” tanya Ferliana kala itu pada Rani.
Rani memberikan jawaban yang cukup membuat Ferliana berpikir, bahwa semesta memang mendukung dirinya dan juga Rani untuk menjatuhkan Aruna.
“Aku belum lama mendapatkan foto-foto itu. Pacarku sempat mengatakan bahwa d
“Setidaknya lima media online yang menayangkan berita seperti ini, Tuan.” Fathan menyerahkan map berisi fail cetak berisi laporan segala hal terkait pemberitaan tentang PT Niskala Construction dan Aruna yang naik dalam jaringan. Beberapa saat sebelumnya Fathan menerima laporan dari tim ahli yang bertugas memantau semua pemberitaan terkait Dananjaya Group dan mendapatkan ada beberapa media yang menayangkan pemberitaan tentang Niskala. Meskipun Fathan tidak melihat berita itu sebagai hal yang mengancam reputasi Dananjaya, namun seseorang yang terlibat di dalamnya, membuat ia langsung meminta hal detil pada tim ahli untuk ia laporkan pada Sang Bos Besar. Setelah menyaksikan sendiri Brahmana yang menangani hal yang berkaitan dengan Aruna dengan cukup serius, ia tidak bisa mengabaikan apapun yang berkaitan dengan gadis itu. Benar saja. Fathan melirik Brahmana. Meski perubahan mimik wajah sang CEO itu tidak akan terlihat oleh mata umum, tapi selaku orang yang mendampingi Brahmana bert
Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, saat dua orang wanita muda terlihat gusar. “Apa kau yakin di sini tempatnya?” tanya Rani pada Ferliana di sampingnya. “Ya, aku yakin banget. Ini memang tempatnya. Alamat yang diberikan seorang teman Aruna menunjukkan tempat ini.” Ferliana mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengecek kembali pesan berisi alamat yang dikirimkan Ardiya. “Ini sudah benar. Memang di sini alamat yang tertera,” jawab Ferliana bingung. Ia mengulurkan ponselnya ke hadapan Rani untuk memperlihatkan sendiri alamat itu. “Lalu di mana dia?” Ferliana menggeleng pelan. “Berdasarkan info dari orang itu, Aruna biasanya sampai rumah itu sekitar jam lima atau jam tujuhan.” Rani mendengkus kasar. Ia mengangkat ponsel lalu menghubungi seseorang. “Gimana? Apa kalian melihat tanda-tanda perempuan itu masuk gang?” tanya Rani begitu terhubung. ‘Tidak ada yang masuk ke gang ini yang mirip perempuan dalam foto yang Mbak berikan pada kami,’ jawab lawan bicara Rani. “Cari yan
Aruna tertegun sekian saat. Shanti yang tak sabar, langsung duduk bersila di samping Aruna sembari menyenggol bahu sahabatnya itu. “Gue masih inget baju yang dipake elu ini. Waktu itu lu bilang buru-buru mau ngurusin sesuatu berkenaan ama bokap lu. Trus lu pinjam baju itu ke gue, karena lu bilang kagak sempet kalo pulang dulu. Ini baju gue. Lu ngapain di tempat beginian, Run?” Tidak terlihat Aruna akan membuka mulutnya, sehingga Shanti kembali menyenggol tangan Aruna. “Ini apa? Kenapa lu ada di sini malem-malem gini? Lu sebenarnya ngurusin apa?” “Kamu dapat ini dari mana Shan?” Alih-alih menjawab, Aruna balik bertanya. “Di grup ada yang ngirim ini.” Aruna mengerutkan kening. “Grup?” “Ya. Grup wa alumni. Lu ga ikutan grup ini, jadi lu kagak bakalan tau.” “Apa?! Grup alumni?” “Lu tenang aja, gue tadi yang paling pertama liat foto ini. Gue dah minta foto itu dihapus lagi, kalo kagak mau berurusan ama gue,” pungkas Shanti menenangkan Aruna. “Cerita.” Shanti menatap Aruna dengan
“Apa kamu sungguh sudah tidak apa-apa?” Brahmana bertanya pada Aruna yang berdiri di depannya. Ia cukup kaget melihat kehadiran Aruna di kediamannya pagi-pagi ini. Ia sudah meminta Fathan untuk menyampaikan bahwa Aruna diberi dua hari lagi untuk beristirahat. Semula, Brahmana memang sudah akan membiarkan Aruna masuk kerja kembali sepulang dari Rumah Sakit. Namun saat ada kejadian berita tentang foto Aruna yang menyebut Niskala, ia kembali memberi libur pada Aruna selama dua hari. Baru satu hari, hari ini Aruna telah masuk kembali. “Iya Pak, saya sudah tidak apa-apa,” jawab Aruna lalu tersenyum. Ia sengaja datang lebih pagi, agar bisa menemui Brahmana di ruang kerjanya, sebelum Brahmana berangkat kerja. Ia bahkan membuatkan roti lapis untuk Brahmana, sebagai rasa terima kasihnya. “Apa itu?” tanya Brahmana tatkala Aruna meletakkan kotak bekal di atas meja kerja Brahmana. “Sandwich ala saya, Pak.” Aruna diam sesaat. “Saya mau ucapkan terima kasih pada Bapak atas semua bantuan Bapa
“Kak Una lagi lihat apa?” Maira yang baru pulang sekolah memperhatikan Aruna yang langkahnya terhenti di anak tangga. “Emm.. ini.. ada pesan dari teman kakak,” jawab Aruna. Ia buru-buru memasukkan ponsel ke saku celana dan meraih tangan Maira lalu kembali menaiki sisa anak tangga, menuju lantai dua. Pikiran Aruna mendadak seperti kosong. Sesaat lalu ia masih bisa bercengkerama menyambut Maira pulang sekolah, namun begitu mereka berjalan menuju tangga, ponselnya bergetar berkali-kali. Menandakan ada panggilan masuk. Namun Aruna mengabaikannya, karena saat ini ia sedang berada dalam jam kerja. Ketika ia dan Maira menaiki tangga, ponselnya kembali bergetar. Kali itu, adalah beberapa pesan masuk melalui aplikasi pesan instan. Aruna mengira itu hal penting, lalu mengeluarkan ponsel dengan niat melihatnya sebentar. Namun langkah kakinya langsung terhenti saat membaca pesan demi pesan yang masuk dalam ponselnya. Maira yang tentu saja tidak tahu apa-apa, menatap dirinya heran. Sampai s
Aruna berdiri mematung menatap bangunan di hadapannya dengan lambang ‘Rastra Sewakottama’ itu tanpa berkedip.Punggungnya terasa mulai sedikit basah oleh keringat dingin, begitu pula dengan kedua telapak tangannya.Semula ia hendak datang ke sini ditemani Shanti, namun adik Shanti tiba-tiba mendapat masalah dan Shanti harus ke kampus adiknya itu untuk mengurusnya.Entah sudah berapa kali ia menelan ludah dengan sedikit sulit dan entah pula telah berapa lama ia berdiri di sana hanya memandang bangunan itu tanpa selangkah pun mendekat bahkan untuk masuk ke area halaman depannya saja.“Apa yang kau lakukan di sini?” Sebuah suara familiar menyapa Aruna dengan lembut.Aruna yang tersentak, segera menoleh dan ia kembali bernapas seolah sebelumnya ia kesulitan menghirup udara.“A-aku--”“Kau mau ke polres juga?” tanya orang itu.Sedikit ragu, Aruna mengangguk.“Kalo gitu, ke
Aruna menggeleng cepat. “Aku tidak tahu apa-apa, Ran! Kamu telah menyinggung dan membawa-bawa pihak yang seharusnya tidak kau singgung. Ini bukan hal remeh lagi! Dan aku tidak punya kuasa apapun untuk melakukan itu!”Rani menggeram marah.Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Karena apa yang diucapkan Aruna, memang masuk akal.Ia juga berpikir bahwa Aruna tidak mungkin memiliki kemampuan untuk membuat dirinya tiba-tiba berada di tempat ini dalam waktu yang sangat cepat.Aruna tidak punya koneksi sekuat itu.Keluarga Aruna tidak memiliki uang apalagi kekuasaan. Sejak ayah Aruna kecelakaan, Rani tahu bahwa keluarga Aruna terpuruk.“Tapi kau benar bekerja di DG, kan?! Kau yang membuat dan menggerakkan DG melakukan ini semua!” tuding Rani.Ia tidak bersungguh-sungguh dengan tudingannya. Karena dialah satu-satunya dari semua teman Aruna, yang sangat yakin bahwa Aruna bekerja di Dananjaya Group adalah satu kebohon
Aruna mendesah. ‘Bener kan? Grup menjadi ramai dan semua tahu sekarang Rani di gelandang polisi.’ Suara Shanti terdengar begitu jelas dari ujung telepon. “Iya. Aku menyayangkan ini.” ‘Resiko dia sebenernya, kenapa juga nekad melakukan hal konyol kaya gitu. Itu sama aja bunuh diri!’ ujar Shanti. ‘Jangan lupa, gimana nasib keluarga Ishak dan Julian karena nyari masalah ama lu, Run,’ imbuh Shanti lagi. ‘Rani bisa jadi kandidat ketiga menuju tamat…’ Aruna terhenyak dari duduknya. Ia melupakan itu. “Shan, sorry. Gue jalan dulu ya.” ‘Eh? Lu mau kemana? Ini udah malem!’ “Bentar ada perlu.” Aruna berkata beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan telepon. Aruna gegas memakai cardigan dan menyambar tas kecil di meja ruang tengah. Kepalanya menunduk, memesan taksi online. Beberapa menit kemudian, satu mobil berhenti di depan rumah yang dihuni Aruna dan membawanya pergi. Belasan menit selanjutnya, mobil yang ditumpangi Aruna tiba di kediaman Brahmana. Satpam yang