“Kenapa kamu tidak mau menjawabku Alice?!” desak Katie dengan kedua tangannya yang sesegera mungkin diraih oleh sang suami, Tom Miller. Sebab jika pria itu tak lakukan hal tersebut, kedua tangan istrinya itu bisa saja merusak rambutnya yang tersanggul dengan rapi atau malah mencakar Alice.Katie berpikir dalam hati, ‘Pantas saja Profesor Mashe memberikan respon yang dingin kepadanya, semua itu beralasan.’Namun, alih-alih menjawab tanya dari Katie, Alice malah sibuk dengan kebisuan yang dia suguhkan. Bukan kata yang terucap melainkan air matanya yang jatuh.Dan hal itu membuat Katie merasakan frustrasi yang luar biasa. Dia menghentakkan kakinya dengan kesal sesaat sebelum memutuskan untuk pergi dari sana setelah menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Tom. "Lepas!" sentaknya seraya beringsut pergi.Dia berjalan meninggalkan Alice yang berdiri terpancang tak bisa bergerak di tempatnya. Langkahnya yang gusar melewati Prims dan juga Arley yang melihat beliau meninggalkan ruang pam
“Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Prims sebab Arley hanya memberikan keheningan yang rasanya akan membekukan ruangan dan juga jatuhnya air hujan yang ada di luar.Prims menatap matanya, berharap pria itu menyangkalnya agar ia tak perlu memiliki kebencian padanya. Namun, bukan jawaban yang diberikan Arley, melainkan nihil suara yang menumbuhkan rasa jenuh bagi Prims.Dia menggerakkan kakinya, mengajaknya enyah dari hadapan Arley. Langkahnya terasa gamang saat dia tiba di luar ruangan. Kala tubuhnya hampir saja diguyur jatuhnya air hujan, dia berhenti saat panggilan Arley yang singgah di indera pendengarnya.“Primrose.”‘Barangkali dia telah memutuskan untuk menjawab,’ setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Prims sehingga dia memutar tubuhnya. Manik mata mereka saling bertemu kembali, Prims bisa menjumpai badai yang besar di dalam iris kelamnya.“Primrose,” panggil Arley sekali lagi, tangannya mengarah ke depan, meraih Prims agar satu jarak lebih dekat kepadanya sebab tempias hujan
Hanya genangan darah yang hari itu disaksikan oleh Prims. Tujuh tahun silam, kenangan itu masih menghantuinya hingga kini. Meski samar bayangannya coba ia tepis ribuan kali dan acapkali berhasil, tetapi luka akan kematian Jasmine, ibunya tetap saja meninggalkan bekas. Ribuan hari terlewati, darahnya yang meluap di bawah hujan hari itu sering kali memasuki mimpinya. Merah pekat yang tak bisa menjadi pembeda antara yang gelap dan yang terang, yang nyata atau fatamorgana, dalam sadar atau dalam terlelapnya. Satu windu hampir genap dengan dia yang perlahan terlena dengan sibuknya dunia dan memungkiri kematiannya masihlah menyisakan misteri. Berita yang—dulu—setiap harinya dia tunggu dengan harapan dia tahu siapa yang menyebabkan mobil ibunya terbalik di persimpangan, lambat laun telah lenyap. Prims yang saat itu masih muda telah berpikir bahwa pelakunya tak pernah dihukum karena pelan-pelan tenggelam seiring bertambahnya tahun. Hanya satu wajah yang tak akan bisa dilupakan oleh Prims
Prims terjebak dalam situasi yang tak menguntungkannya sebab dia sedang berada di tempat yang asing bersama dengan pria tak dikenal. Dia mencoba melepaskan diri tetapi rasanya tidak berhasil. Barulah saat mereka tiba di dekat gang tak berpenghuni yang dekat dengan pemakaman dia dilepaskan. Telapak tangan pria yang tadi membungkam bibirnya sekarang tak lagi berada di sana, tetapi sebagai gantinya, tubuhnya jatuh terhempas di atas rerumputan basah yang tak jauh dari pagar pembatas gang tersebut dengan pemakaman di sebelah baratnya. Napas Prims terengah, otot di jantungnya menegang hingga terasa sakit saat membayangkan hal paling buruk yang akan dia terima pada pagi celaka ini. Matanya mengedarkan pandang pada tiga pria bertubuh kekar yang berdiri mengelilinginya yang sedang duduk dengan tak berdaya. Hujan yang mengguyurnya membuat jarak pandangnya mengalami keterbatasan. Namun satu hal yang bisa dipastikan oleh Prims, tak ada seorang pun di antara mereka bertiga yang dikenalnya. “S-
Ben lah yang membentur nisan salib berukuran tinggi itu. Dia mengaduh kesakitan karena memang lelaki itu seperti melayang akibat tendangan kaki seorang pria yang datang dari antah berantah dan menggagalkan rencana mereka untuk membuat Prims ternodai. Sedang Cal yang tadinya berada di dekatnya tiba-tiba tertarik menjauh, pria itu berteriak saat jatuh terperosok pada area pemakaman yang jauh lebih rendah. Prims meraba tanah di sekitarnya, jemarinya mendapatkan sebuah balok kayu yang dia akan dia gunakan sebagai senjata seandainya Matt, satu lelaki yang tersisa itu akan mendekat kepadanya. Tetapi itu tak berguna sebab Matt memiliki nasib yang sama dengan dua orang sebelumnya. “SIAL!” umpatnya setelah dia baru saja merasakan kepalanya beradu kuat dengan nisan tak jauh dari Ben berlutut dan mencoba bangkit. Prims masih tak bisa menemukan wajah pria yang menolongnya itu dengan jelas, matanya terhalang jarak, retinanya tak bisa mengenali siapa pria tinggi menjulang yang bergerak dengan pa
Sudah berapa jam Prims tak sadar? Rasanya sudah terlalu lama.Saat matanya terbuka, Ia menatap langit-langit kamar yang tidak asing, selimut yang hangat dan bau wangi ruangan yang memenuhi indera penciumannya. Ranjang ini, Prims juga tahu betul milik siapa. Ranjang milik Arley.Memutar ingatannya sebentar ke belakang, hal terakhir yang dia ingat di bawah mendung kelam dan hujan lebat saat itu adalah kedatangan Arley. Pria itu memberikan jasnya dan mengangkatnya pergi. Dan ke mana pemberhentiannya, bukankah Prims tak perlu bertanya akan di bawa ke mana dia?Ke tempat inilah jawabannya, kembali ke rumahnya.Ia meraba keningnya yang saat itu berdarah telah terbalut oleh kapas dan plester yang terasa nyaman. Luka yang dia terima pasti telah mendapatkan perawatan.Pakaiannya pun sudah bukan pakaian yang ia kenakan terakhir kali. Seseorang pasti menggantinya. 'Siapa yang melakukan ini semua?' tanyanya pada diri sendiri, matanya memandang jendela yang kelambunya masih terbuka. Tempias hujan
“Bukan maksudku untuk membuatnya seperti ini, Primrose. Maaf,” ucap Arley dengan kepala yang tertunduk. Prims menatap kedua tangannya yang terkepal, suara baritonnya yang terbiasa tegas dan mengintimidasi sekarang tidak terdengar demikian. Prims tahu jika pria ini pun juga sedang berada pada fase dilema antara harus mengatakan kejujuran ataukah merahasiakannya dari Prims. “Aku menikah denganmu bukan hanya karena ingin menebus kesalahan di masa lalu saja,” ucapnya perlahan mengangkat pandangan. “Aku tahu kamu berada di keluarga yang tidak melihatmu dan memperlakukanmu dengan buruk,” katanya dengan alis tegasnya yang tertaut dan dibubuhi oleh rasa bersalah. “Aku tidak ingin melihatmu tersiksa di sana sehingga mencari cara untuk membawamu pergi. Aku pikir, setidaknya dengan kamu hidup di sini bersamaku tidak akan membuatmu seperti itu lagi.” Prims tersenyum getir. Apa yang dikatakan oleh Arley tidak salah. Dia memang membawa Prims terbebas dari keluarga yang telah mematahkan hatinya b
Prims menghela napasnya dengan sedikit dalam sebelum dia kembali memandang Jodie, “Kenapa dia tidak memintaku saja yang pergi dari rumah?” tanyanya yang membuat Jodie menunjukkan senyum, menunggu Prims selesai bicara. “Kenapa dia yang harus pergi?”“Tuan Arley bilang jika di luar sana belum tentu aman untuk Nona Primrose sehingga tuan membiarkan Nona ada di sini yang bisa dijamin keamanannya. Tuan hanya tidak ingin Nona seperti yang terakhir kali ditemukannya,” jawab wanita paruh baya yang mengenakan pakaian serba hitam dan rambut sebahu itu.Prims terhening selama beberapa saat sebelum tangan Jodie yang terasa hangat menyentuh punggungnya, “Apakah Nona Primrose sekarang sudah baik-baik saja?”Melihat wajahnya yang tampak cemas membuat Prims dengan cepat memberinya jawaban dengan anggukan kepala, “Iya, Bu Jodie.”Wanita itu menunduk, menyembunyikan matanya saat Prims masih tak berpaling darinya, “Saya minta maaf kepada Nona Primrose, saya juga bersalah untuk sudah ikut merahasiakan pe
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.