Wajah Katie masih terlihat merah padam, dia tahu tidak bisa banyak bersikap karena sekarang sia seperti sedang melakukan sebuah lelucon.Dengan sadar telah memuji anak menantunya yang kue buatannya sangat baik, sedangkan dia baru saja menyebutnya sebagai seorang wanita berpendidikan rendah yang tidak melakukan apapun di rumah selain berpangku tangan dan menikmati kekayaan anak lelakinya.Dia menggigit bibirnya, memandang ke arah lain dan menganggukkan kepala, “Mama hanya bilang kalau kuenya enak,” ucapnya membela diri. “Bukan berarti Mama mau menyebutnya sebagai menantu yang baik hanya karena dia bisa membuat kue,” lanjutnya dengan mengambil secangkir teh yang ada di atas meja.Prims melihatnya masih sempat mengunyah kue yang sudah terlanjut berada di tangannya, ‘Mungkin sayang jika harus melepasnya begitu saja?’ pikirnya dalam hati.“Primrose,” panggil Arley membuatnya mengalihkan pandang dari yang semula men
‘Cantik dia bilang?’ tanya Prims dalam hati.Ia merasakan tubuhnya bergeligi mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Arley.Pipinya menghangat dengan cepat, dia malu karena selama ini tidak ada seorang pun yang memujinya cantik, selain mendiang ibunya.Seolah belum cukup membuat Prims menggigil dengan jantung yang berdetak kencang, Arley kembali mendekat saat Prims menarik dirinya dari Arley.Pria itu kembali tersenyum tipis yang semakin membuat tubuhnya meremang, “Apakah kedua pipimu yang berubah merah itu juga karena terkena cat?” tanya Arley dengan dagu yang mengedik pada wajahnya.Prims yang salah tingkah tidak tahu harus berbuat apa karena lagi-lagi Arley membuatnya kehabisan kata.Selagi Prims mencoba menormalkan detak jantungnya kembali, Arley masih tidak mengalihkan tatapannya sama sekali.Dia tidak berpaling, melainkan menikmati kepanikan Prims yang menarik di matanya.
Mencegah dirinya untuk tidak salah tingkah, Prims menata napasnya yang terasa sesak saat mendengar apa yang dikatakan oleh Arley. “B-bukankah aku sudah bilang, Tuan Arley?” tanya Prims lirih, menatap mata pria yang berbaring berhadapan dengannya ini, saat temaramnya lampu mengambil alih setiap inci penjuru ruangan, alih-alih terlihat redup, kedua irisnya malah terlihat berbinar.“Apa?” tanya Arley balik, suaranya terdengar rendah.“K-kalau kamu harus memperhatikan apa yang kamu katakan karena itu agak ...” Prims menjedanya, memilih kata yang tepat. “Berbahaya,” lanjutnya berhati-hati. “Aku sudah mengatakannya tadi siang, ‘kan? Ucapanmu bisa membuat orang lain ....”Prims menghela napasnya, sengaja tidak melanjutkannya karena ia yakin seharusnya Arley tahu apa yang ingin dia katakan.Pria itu tak menjawabnya, dia hanya terus memandang Prims tanpa mengatakan apapun.Seolah menikm
“U-untuk apa menutup mataku?” ulangi Prims dengan suara yang serak. Mendengar kalimat tak biasa dari Arley membuatnya satu jarak mundur. Namun karena saking gugupnya, langkah kakinya tidak bertumpu dengan benar sehingga yang terjadi dia malah kehilangan keseimbangan dan nyaris saja limbung ke belakang. “Akh!” jeritnya kecil tepat saat Arley menahan pinggangnya sebelum dia terhempas ke lantai. Prims menahan napasnya saat tubuhnya tak lagi memiliki jarak karena mereka berdua melakukan kontak fisik. “Apakah memakaikan dasi untukku membuatmu seterbebani itu sampai kamu akan kabur, Primrose?” tanya Arley dengan suaranya yang dalam, sedang Prims masih mencoba menata napasnya yang memburu naik turun tak beraturan. “T-tidak, Tua
Prims sangat panik saat Arley menyebut warna bra yang sedang dia kenakan di balik dress broken white yang telah basah itu.Setelah menikmati sebentar kepanikan Prims, Arley akhirnya melepas jas yang dia kenakan dan meletakkannya di depan tubuh Prims untuk menutupi pakaian dalamnya yang tercetak jelas.“Pakai ini untuk menutupinya,” ujarnya yang diterima oleh Prims dengan malu. Karena rasanya Prims tidak pernah berhenti membuat Arley menyerahkan jas miliknya, entah ini untuk yang ke berapa kali.“T-terima kasih,” ucap Prims dengan gigi yang rasanya bergeligi.Arley mengangguk tak kentara, sebelum matanya yang gelap memandang Prims dan bertanya, “Apakah kamu sengaja melakukan ini?”
Hari pertama ditinggal Arley, Prims menjalani rutinitas seperti biasanya. Setelah sarapan sendirian dengan Jodie yang berdiri menemaninya, dia membawa kanvas ke luar rumah dan melanjutkan untuk melukisnya.Menikmati beberapa jam di luar dengan kuas dan cat warna, Prims bisa menjumpai potret seorang gadis di kanvas miliknya yang sudah jelas akan dibawa ke mana arah lukisan ini. Romantisme, karena nantinya ‘gadis’ di kanvas itu tidak akan sendirian melainkan ada seorang pria di sampingnya.Menjelang sore, dia mengatakan pada Jodie jika dia akan pergi ke kelas masak.Dengan diantar oleh Will, sopir milik Arley, dia tiba di sana. Dan sepertinya ... dia akan kembali bertemu dengan Richard karena kabar sekilas yang dia dengar chef Adam masih belum bisa datang.
“Tidak, Nyonya! Aku tidak pernah berselingkuh darinya!” bantah Prims atas tuduhan yang baru saja dilayangkan ibu mertua terhadapnya bahwa dia telah berselingkuh dari anak semata wayangnya.Yang mengejutkan bagi Prims adalah ... bagaimana caranya Alice, adik tirinya itu tahu bahwa dia mengikuti kelas memasak?Bagaimana caranya dia tahu bahwa chef pengganti yang datang di sana adalah Richard?Tapi, bukankah harusnya Prims tidak perlu menanyakan hal itu? Karena dia tahu betul seberapa luas pergaulan Alice. Barangkali ada salah satu peserta yang merupakan teman dekatnya dan bercerita padanya, bukankah hal itu bisa saja terjadi?“Lalu disebut apa kalau kamu tidak berselingkuh? Bermesraan dengan pria lain padahal kamu sudah menikah itu bukan hal yang bisa dinormalisasi, Primrose!”Prims menghela napasnya, dia menatap Katie dan menjaga nada bicaranya agar tidak terdengar gemetar, “Aku memang ikut kelas memasak di Wellness Cooking
‘Sayang dia bilang?’ batin Prims masih dengan menengadahkan wajahnya pada Arley dan seulas senyum tipisnya.‘Kapan aku pernah memberitahunya soal itu?’ batinnya masih dipenuhi banyak tanya. Dia tak ingat pernah mengatakan pada Arley perihal pertemuannya dengan Richard.Ah, atau … ini hanya cara pria itu untuk melindunginya?Hal itu seperti menambahi benang kusut yang ada di dalam benaknya setelah kedatangannya yang tiba-tiba.Mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Arley bahwa Prims sudah mengatakan soal pertemuannya di kelas masak yang dia ikuti membuat semua orang terhening.Namun, seperti tidak ingin membiarkan Prims lolos begitu saja, Katie satu langkah mendekat pada Arley yang m
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.