Nada akhirnya mengizinkan Gala untuk mengenyang pendidikan di sebuah sekolah umum yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bocah lelaki itu sangat bersemangat sekali. Akhirnya apa yang ia inginkan dapat terwujud. Bersekolah di sekolah umum dan memiliki banyak teman."Paman Tek yang akan mengantarkan Gala setiap hari ke sekolah, Nad! Jadi kamu tidak perlu repot-repot. Kamu bisa berfokus dengan buku-buku yang kamu tulis," ucap Tuan Seno pada wanita yang duduk di depan layar laptop itu. Nada menoleh menatap pada Tuan Seno."Hem!" Nada mengangguk lembut.Nada setuju dengan saran Tuan Seno. Memang tidak mudah bagi Nada membagi waktunya jika Gala bersekolah di sekolah umum. Ada beberapa buku yang harus ia selesaikan dalam waktu dekat. Pasti ia tidak sempat untuk mengantar Gala. Selain untuk mengisi kejenuhan, Nada juga sangat menyukai dalam hal kepenulisan. Selama ia bersembunyi, Nada sudah membuat beberapa karya buku cetak. Tanpa ada satupun orang yang tau siapa penulis di balik bu
"Mari kita panggil pengusaha yang sudah sukses di usia mudanya, Tuan Danil Situmorang!"Suara panggil membawa acara seketika disambut dengan riuh tepuk tangan para pengunjung dalam acara tersebut. Wisnu yang hendak melangkahkan kakinya menghampiri Danil terhenti dan tercengang seketika. Apalagi lelaki itu hanya menjatuhkan tatapan datar, lalu menyeret langkah kakinya menuju ke panggung besar yang ada dalam acara itu."Apa? Jadi Danil ...!" batin Wisnu tersentak. Ia tidak menyangka jika Danil adalah orang yang berada di balik suksesnya perusahaan milik Tuan Seno. Sekalipun bukan lelaki tua itulah yang kini menjadi pemiliknya."Bagaimana bisa?" batin Wisnu kian berkecamuk dengan ribuan terkaan.Tidak terasa Danil memundurkan beberapa langkah kakinya. Netranya berfokus menatap pada Danil yang sedang melakukan sambutan di atas panggung."Tapi kenapa? Kenapa harus Danil!" Rasa kecewa semakin menyelimuti hati Wisnu. Setelah tau Danil adalah pemilik perusahaan konglomerat itu sekarang. Beber
Sepanjang perjalanan Gala merasa takut. Semua perasaan bercampur aduk menjadi satu. Sudah hampir seminggu ia bersekolah di sekolah umum yang terletak di perbatasan kota. Sekolah yang sama sekali tidak Nada ketahui. Karena Tuan Seno telah bersekongkol untuk membohongi Nada dan mengatakan jika Gala bersekolah di jauh dari sekitar rumah."Paman!" seloroh Gala. Jalan yang tidak bagus, memaksa Paman Tek harus melajukan kemudinya dengan kecepatan sedang. "Hem!" sahut lelaki yang mengenakan helm tanpa menoleh sedikitpun pada Gala yang duduk di bangku belakang motor. Tatapannya berfokus pada jalanan rusak yang sedang ia lalui."Paman, bagaimana jika Ibu tau kalau aku bersekolah di sini!" keluh Gala dengan suara takut.Lelaki yang berfokus pada jalanan itu menjawab. "Tuan tenang saja. Kan ada Tuan Seno. beliau pasti akan membela Tuan Gala," jawab Paman Tek dengan nada santai.Bocah lelaki berlesung pipi itupun mengangguk lembut. Wajahnya nampak berpikir sesaat. "Baiklah!" jawab Gala kembali b
Tiga tahun yang lalu setelah kematian Umi karena sakit yang ia derita. Ustaz Azhar memboyong semua keluarganya menuju pulau seberang. Setelah ia menjual habis semua harta benda yang mereka miliki untuk biaya pengobatan Umi, Asma dan juga Ibu Fatimah yang juga lebih dulu berpulang. Hingga mereka tidak memiliki apapun untuk bertahan. Seorang teman menawarkan kepada Ustaz Azhar tempat tinggal secara gratis di daerah transmigrasi. Bekas perkebunan kelapa sawit yang kini digunakan sebagai rumah penduduk transmigrasi yang kini menjadi tempat tinggalnya.Kehidupan Ustaz Azhar berubah dratis. Apalagi dari segi ekonomi. Lelaki alim itu hanya berprofesi sebagai tukang jualan rujak keliling kota. Tidak ada lagi yang bisa ia andalkan. Sementara Rani, ia menjadi buruh cuci jika ada yang memerlukan tenaganya. Tapi lelaki yang sangat taat beragama itu sangat sabar sekali menjalani lika-liku kehidupan.Ustaz Azhar yang sedang sibuk menyiapkan dagangnya dikejutkan dengan suara benda yang di banting de
Malam semakin larut. Lampu rumah gratis yang dikhususkan untuk penduduk transmigrasi milik Ustaz Azhar pun sudah padam. Pasti anak dan istrinya sudah tidur sejak tadi sore. Apalagi hujan yang turun cukup deras sepanjang hari.Ustad Azhar baru tiba di rumahnya. Ia terpaksa harus pulang malam menunggu hingga dagangannya habis. Tapi tetap saja masih ada beberapa yang belum terjual. Meskipun begitu Ustaz Azhar bisa pulang membawa uang walaupun tidak banyak.Setelah memarkir rombong rujak miliknya di samping rumah. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam rombong. Sebungkus nasi yang ia beli saat perjalanan pulang ke rumah. Ustaz Azhar hafal betul dengan tabiat istrinya, dia tidak akan memberikan makan kepada Asma jika wanita itu membuat kesalahan. Apalagi, saat ia pergi dari rumah ia hanya meninggalkan selembar uang dua puluh ribu untuk Rani. Ustaz Azhar berjalan mengendap-endap menuju gudang yang terletak di belakang rumah. Langkah kakinya sama sekali tidak menimbulkan suara sedikitpu
Semenjak Rani melarang Asma untuk pergi keluar rumah. Wanita yang menurut sebagian orang itu mengalami gangguan kejiwaan itu mengendap-endap pergi meninggalkan rumah saat Rani tidak ada di rumah. Tujuannya hanya satu, ia ingin bertemu dengan putra semata wayangnya. Dalam jiwa yang terganggu, ia masih memiliki harapan yang tidak pernah padam.Hari itu hujan turun dengan deras sejak pagi. Gerimis masih terus membasahi hingga menjelang siang. Dengan pakaian basah kuyup Asma masih terduduk di depan sekolah menengah pertama tempat Hanum belajar. Sepanjang hari Asma hanya duduk di bawah pohon besar yang terletak di depan sekolah dan membiarkan air hujan turun membahasi tubuhnya. Ia yakin, ditempat itu ia akan bertemu dengan Akbar. Jika semua orang berlarian untuk berteduh, tidak pada Asma.Genangan air masih memenuhi jalanan rusak yang berada di depan sekolah. Gala menatap ke sekeliling jalanan yang tidak terlalu ramai itu. Paman Tek yang biasa menjemput Gala, belum juga menunjukan batang h
Mendung hitam bergelayut di langit rumah Tuan Sangir. Seolah mengiringi kepergian lelaki yang sudah hampir sepuluh tahun mengalami kelumpuhan itu. Gerimis turun membahasi bumi, satu persatu pelayat datang dan pergi untuk menyampaikan rasa bela sungkawa atas kepergian Tuan Sangir untuk selamanya.Lelaki yang mengenakan jas hitam itu hanya mampu tertunduk di samping jenazah Tuan Sangir. Tidak ada jejak air mata yang mengaliri lagi, ia telah ikhlas melepaskan Tuan Sangir untuk selama-lamanya ke pangkuan sang ilahi."Tuan!" Lelaki bertubuh tinggi besar itu menepuk lembut bahu Wisnu. Tanpa menjawab Wisnu menoleh ke arah Hamzah."Jenazah akan segera kita kebumikan," ucap Hamzah setengah berbisik. Wisnu mengangguk lembut dan segera bangkit.Seorang lelaki bertubuh jangkung yang berjalan dari arah pintu menghentikan langkah Wisnu."Maafkan aku, jika aku baru datang!" ucap Danil pada Wisnu. Lelaki berlesung pipi itu menjatuhkan pelukan kepada Danil. Hanya lelaki itulah telah Wisnu yang anggap
"Halo!" "Danil, apakah benar Sangir sudah mati?" cetus lelaki yang berada di seberang telepon."Iya Tuan," balas Danil dengan nada santai. Ia menyesap sebatang rokok yang berada di sela-sela jemarinya. Lalu mengepulkan asap putih ke udara dari bibirnya.Lelaki yang berada di balik telepon itu tertawa puas. "Akhirnya, malaikat maut lebih mencintai kamu, Sangir. Kamu memang pantas mendapatkan balasan itu." Tuan Seno mengakhiri kalimatnya dengan tertawa puas.Danil tidak bergeming. Ia menyesap kembali rokoknya yang hampir padam. Kepulan asap putih mengudara memenuhi ruangan berpendingin itu."Danil, aku ada tugas baru untukmu," ucap Tuan Seno."Iya Tuan," sahut Danil. Netranya tertuju pada pemandangan di luar jendela apartemen."Apapun yang terjadi padaku nanti, aku titipkan Gala dan Nada kepadamu."Hati Danil terenyuh. Ia teringat kembali dengan Nada. Wanita yang sampai saat ini tidak pernah mau menerima cintanya."Aku tahu, suatu saat aku pasti akan mati. Aku percayakan perusahaanku k