Share

32. Aku Hamil

Penulis: Amaliyah Aly
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-24 10:08:42

Mas jangan seperti anak kecil. Inamah hanya bercanda."

Inamah mendekat. Dipeluknya punggung sang suami dari belakang.

"Jangan pernah diulangi lagi, Dek. Mas nggak suka."

Membalik posisi. Kini keduanya saling berhadapan. Bram menatap lembut. Menyisir pandangan ke seluruh permukaan wajah Inamah. Alis yang rapih. Dua mata dengan bulu-bulu yang lentik di sekelilingnya. Bibir tipis lagi menggemaskan. Cantik sekali.

Dikecupnya kening sang istri. Lalu melesakkan kepalanya ke dalam dekapan. Begini sudah cukup menenangkan. Hati Bram tenang.

"Jangan pernah berpikir seperti itu, Dek. Mas nggak akan menikah lagi. Sekali pun kamu benar-benar mandul. Mas hanya ingin kita bisa bersama-sama. Selamanya."

Membisik pelan. Kalimat yang Bram ucapkan mampu mengobati kegundahan hati Inamah selama ini. Pikirannya sudah terlalu jauh. Terbayang kalau benar ia mandul dan benar-benar tak bisa memiliki keturunan.

<
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Diblokir Tetangga   33. Masih Peduli

    Inamah melepas mukenah dengan cepat. Menggantungkannya di tempat biasa. Tak lupa sajadah ia lipat. Merapikannya kembali. Bram bingung melihat tingkah istrinya yang tergesa-gesa. "Ayo, ikut aku, Mas." Inamah meraih tangan Bram. Menuju ke arah kamar mandi dekat mushala. Diraihnya sebuah benda dengan bungkus yang terbuka. "Aku positif hamil, Mas." Inamah menunjukkan sebuah benda berukuran satu ruas jari tangan. Ada dua garis merah di sana. Testpack. "Beneran ini, Dek? Beneran?"Tak kuasa lagi. Tumpah sudah air mata Bram. Hatinya begitu senang mendengar kabar kehamilan Inamah. Tak menyangka. "Padahal tak ada tanda-tanda kehamilan. Kenapa bisa, ya?" Masih tak percaya. Pun dengan Inamah. Ya, ia tak pernah tahu bisa seperti ini. "Jaga baik-baik, ya, Sayang." Dikecupnya kening Inamah. Dipeluknya erat sang istri. Bahagia tak terki

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-25
  • Diblokir Tetangga   34. Sertifikat Rumah

    Membelah jalanan Kota Surabaya. Bram memfokuskan diri menyetir mobilnya menuju rumah sakit. Di depan sana, kendaraan saling menyalip satu sama lain. Beradu kecepatan. Bram menelan saliva. Ia mendadak gerah. Saat tanpa sengaja kedua matanya beradu pandang dengan Lastri. Dari pantulan kaca depan kemudi. Kedua pasang mata itu bertemu pandang. Tanpa sengaja. Ah, rasa yang telah lalu itu rupanya masih ada. Menarik diri. Bram lalu mengembuskan napas pelan. Ia menetralkan deguban jantungnya yang tak tahu diri. Bisa-bisanya saat keadaan tengah genting. Hatinya justru berdebar-debar. Duh.  Dibukanya kancing krah kemeja paling atas. Melonggarkan dasi. "Cepat, Mas. Suhu badan Hasan makin panas!" Lastri setengah menjerit. Bram menoleh ke belakang. Benar, dilihatnya Hasan semakin lemas. Raut khawatir terpancar di wajah Bram. Kalau pun bukan anaknya. Bram tetap saja khawatir. Karena memang ia

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-26
  • Diblokir Tetangga   35. Sentuhan Pertama

    Ani mengembus napas. Duh, pikirannya jadi bercabang. Dugaannya tentang Lastri dan Bram sepertinya tidak meleset. Mereka sudah mulai dekat. Tidak bisa dibiarkan! Ani menatap Inamah. Ada kebencian di wajah perempuan itu. Tapi, ada pula rasa tak tega di sana. Berdiri. Bangkit dari duduk. Ani tak lagi berkata apa-apa. Ia urungkan niatnya tadi. Meski sebenarnya sangat penting untuk dilakukan.Sebelum semuanya terlambat. "Ibu butuh sertifikat rumah untuk apa?" tanya Inamah. "Nggak jadi. Sudah. Lupakan. Ibu mau pulang saja." Jadi bingung sendiri. Setahu Inamah. Ibu mertuanya itu tak pernah berhubungan denga bank pegadaian. Jelas, tak mungkin jika Ani ingin menjadikan sertifikat rumah Bram sebagai jaminan hutang. Tapi ... surat berharga itu, mau diapakan?"Bu," panggil Inamah. Ani menoleh. Menatap lagi wajah menantunya itu. "Sebentar lagi Ibu akan me

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-27
  • Diblokir Tetangga   36. Hamil di Luar Nikah

    "Aku tidak bisa jika terus seperti ini, Rud. Aku sudah punya keluarga sendiri."Bram mengembus napas pelan. Dipijitnya kening sendiri. Pusing mendera kepalanya. Terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini. Waktu selama dua puluh empat jam seakan kurang. Fisiknya pun turut merasa lelah. Terjebak dengan keadaan yang ia buat sendiri. Bram sedang berada di taman rumah sakit. Pulang dari kantor, ia langsung ke sana. Menyambangi Hasan, sesuai permintaan Lastri. Sebelum balik ke rumah, Bram berbincang sebentar bersama Rudi. Mencari solusi. Ia tidak ingin terus menerus seperti ini. Terlibat dalam rumah tangga Lastri dan Rudi. Hanya karena sebuah alasan. Kemarin, setelah hasil tes lab keluar. Hasan terpaksa harus rawat inap. Anak usia tiga tahun itu terserang demam berdarah. Beruntung cepat dibawa ke rumah sakit dan mendapat pertolongan."Iya, Mas. Aku juga ngerti. Tapi, Lastri ...,"Kalimat Rudi mengambang. Teringat ia bagai

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • Diblokir Tetangga   37. Tak Akan Membagi

    Belum lagi drama ketika Lastri berjuang sendiri. Ah, Bram tak tega membuat luka di hati Inamah. Berjalan lesu menjejakkan kaki di teras rumah. Tepat di ambang pintu Inamah sudah berdiri menunggui. Seperti biasa. Saat Bram pulang kerja. Istrinya itu sudah siap di depan pintu. Menyambut kedatangannya. "Assalamualaikum," ucap Bram. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh." Inamah tersenyum. Lalu meraih punggung tangan suaminya itu. Mencium takzim. "Inamah sudah siapkan air hangat. Mas tinggal mandi saja." Inamah mengekor di belakang. Bram berjalan lebih dulu memasuki rumah. "Iya, Dek. Terima kasih," jawab Bram lesu. Duduk di kursi sambil melepas sepatu juga kaos kaki. Hati Bram gelisah. Ia berusaha memantapkan hati agar bisa jujur pada Inamah. Bagaimana pun, seperti kata Rudi tadi. Inamah harus tahu kebenarannya.Sementara itu, Inamah berjalan ke da

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-29
  • Diblokir Tetangga   38. Pergi

    "Minta maaf untuk apa, Mas?" Bram nyaris terhenyak. Inamah membuka ke dua matanya. Rupanya terpejamnya tadi hanya pura-pura. Ya ampun! harus menjawab apa?"Bukan apa-apa, Dek. Jangan salah paham." Bram berkelit. Jantungnya berdegub kencang. Takut ketahuan. Ia tak ingin membahas Lastri. Belum saatnya. Ya, belum saatnya. Inamah menatap dalam. Menilai kejujuran dengan menyelami kedua mata suaminya yang bermanik hitam. Ada sedikit kecurigaan. Tapi, Inamah berusaha menepis. Penilaiannya semoga salah. "Mas minta maaf atas sikap Ibu. Mas bingung." Bram mencari alasan. Binggo! Jawaban itu masuk di akal dan hati Inamah. "Semoga saat anak kita lahir. Sikap Ibu bisa berubah sama Inamah." Menatap lembut. Jemari tangan Inamah mengusap pelan pipi Bram. Perempuan itu tak memiliki siapa pun. Hanya Bram yang ia punya di dunia ini. Tak perlu banyak kata untuk melukiskan betapa Inamah sangat mencint

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-30
  • Diblokir Tetangga   39. Kritis

    "Ta-tadi, Ha-Hasan kritis, Mas." Lastri terbata berbicara. Disekanya kedua mata yang berair. Bekas menangis beberapa waktu yang lalu. Hampir dini hari dan Bram baru tiba di rumah sakit. Menerobos gelapnya langit karena rembulan yang tertutup awan. Dikemudikannya mobil dengan cepat. Ingin segera sampai dan tahu keadaan Hasan yang sebenarnya.Hati Bram benar-benar terbungkus kerisauan yang teramat sangat.Desau angin malam yang dingin, menemani sepanjang perjalanannya tadi. Hati Bram kalut, pikirannya bimbang. Wajah Hasan menari-nari di pelupuk matanya. Ia kepikiran.Tak peduli dengan Inamah yang kebingungan sendiri saat melihat tingkah Bram yang terburu-buru. Pria itu hanya fokus pada Hasan. Ya, hanya pada Hasan. *** Bram memijit keningnya dengan jari tangan kanan. Pening mendera. Tadi, begitu ia tiba. Dengan tergopoh-gopoh dan setengah berlari ia memasuki ruangan Hasan. Kelimpungan seperti orang yang hilang akal. Sebegitu takutnya ia. Mengingat sakit demam berdarah bukanlah satu

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-10
  • Diblokir Tetangga   40. Saksi Mata

    Ya, pria yang menyaksikan pemandangan tabu beberapa tahun silam adalah Rudi. Kembali riak wajahnya berkerut tak suka. Harapannya semakin patah. Remuk bersama hatinya yang berkeping. Benar, tak ada lagi tempat di hati Lastri. Dan tak ada pula kesempatan untuknya setelah ini. Sudah jelas bahwa Lastri memang berpura-pura. Hasan sama sekali tidak kritis. Rudi juga sudah menunggu di rumah sakit sejak tadi. Namun, Lastri menyuruhnya pergi membeli dua botol air mineral ukuram besar.Malam yang sangat larut membuat Rudi kesusahan. Karena tidak semua mini market buka selama dua puluh empat jam. Rumah sakit tempat Hasan menginap sedang mengalami renovasi besar-besaran. Juga pembangunan gedung baru. Yang menghalangi jalan menuju deretan warung pinggir rumah sakit.Rudi mengembus napas kasar. Terjawab sudah kenapa Lastri menyuruhnya bersusah payah membeli air mineral.Rupanya. Istri pura-piranya itu ingin bertemu Bram. Itu saja. *** Detik perlahan bergerak. Lamba

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-11

Bab terbaru

  • Diblokir Tetangga   129. ENDING

    Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu.  Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada

  • Diblokir Tetangga   128. Hasil USG

    Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil.  "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,

  • Diblokir Tetangga   127. Pamit

    "Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni

  • Diblokir Tetangga   126. Melebur Bersama Duka

    Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan  ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh

  • Diblokir Tetangga   125. Hancur dan Berserakan

    Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja

  • Diblokir Tetangga   124. Wejangan Ibu Mertua

    Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin

  • Diblokir Tetangga   123. Menjemput Jenazah Putriku

    Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg

  • Diblokir Tetangga   122. Bahagia Sekejap Saja

    Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi.  "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi

  • Diblokir Tetangga   121. Memangkas Jarak

    "Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be

DMCA.com Protection Status