Share

48

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Astaga, pake acara mau bersin segala lagi. Kenapa di waktu yang tidak tepat. Tidak ingin ketahuan sedang menguping pembicaraan mereka, terpaksa aku menjauh takut suara bersinku terdengar.

 Merasa cukup jauh karena sudah berada di ruang tengah, setengah wajah yang sengaja kututup dengan satu tangan akhirnya dapat kulepaskan. Namun rasa gatal ingin bersinnya malah hilang.

 Kalau tahu begini jadinya, aku akan memilih tetap berada di sana guna mendengarkan isi lanjutan percakapan mereka. 

Satu kursinya milik siapa? 

 Satu kalimat yang keluar dari bibir Alisa membuatku berpikir keras. Apa maksudnya, mungkinkah satu kursi itu untukku?

 Tidak. Aku terlalu percaya diri meyakini kalau Pak Arik juga cinta denganku. Kenyataannya tidak semanis yang kuinginkan, aku hanyalah wanita yang ditiduri

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dibayar Satu Miliar   49

    "Luna, kita sudah sampai. ini rumah mertua kita. Ingat seperti yang kusampaikan sebelumnya, katakan yang seperlunya saja sesuai dengan apa yang sudah kuajarkan." Alisa mengingatkanku tentang apa yang harus dan tidak boleh kukatakan saat berada di rumah ini. Pak Arik yang duduk di depan hanya menatap ke arahku sebentar. Sejak kedatangannya ke apartemen untuk menjemput kami, dia tidak banyak bicara.Kuanggukkan kepala tanda mengerti.Kami masuk ke dalam secara bersamaan. Alisa menggamit lenganku dan kami berjalan beriringan diikuti Pak Arik yang membawakan koper kami. Rasa gugup kurasakan saat pintu besar terbuka lebar di hadapan.Tampak seorang wanita dewasa berdiri dengan senyum terkembang menyambut hangat kedatangan kami. Dia tidak sendiri, ada perempuan muda lainnya berdiri di sebelahnya."Tolong Ana, bawakan koper ini.

  • Dibayar Satu Miliar   50

    "Satu lagi. Kalau Axel kemari, pindahlah ke kamar tamu, kamar paling ujung sebelah kanan. Itu kosong. Jangan di sini. Aku tidak tahu sedekat apa kamu dengan Alisa hingga dia memintamu tidur di kamar ini. Setahuku waktu di pesta itu kalian tidak dekat, dan sepintar apa kamu sampai bisa mendekatinya dan menjadikanmu asisten pribadinya."Aku tersenyum kecut. Nampak jelas kalau ibunya Arik tidak suka padaku. Apalagi tudingannya barusan membuat hatiku sakit. Perih rasanya. Tidak seperti dalam bayanganku."Turunlah ke bawah, saat aku ingin ke atas, Alisa memintaku memanggilmu juga sekalian untuk ikut makan malam dengan kami. Lain kali bersikaplah tahu diri dan menyesuaikan diri sebagai apa kamu di sini. Jangan karena menantuku itu terlalu baik, lalu kamu seenaknya aja memanfaatkan kebaikannya itu dengan bersikap di luar batas.""Maksudnya?" Aku ingin mendengar

  • Dibayar Satu Miliar   51

    "Bu, jangan dipaksa. Nanti dia ngambeknya ke aku. Marahnya ke aku, bisa nggak mau makan segala. Nangis-nangis nggak berhenti. Drama sekali Bu, padahal lagi hamil," bujuk Pak Arik mencoba menjelaskan. Ini penolakan halus dari Pak Arik atas saran ibunya.Aku menoleh ke arah lelaki yang sedang bicara ini. Apa benar Alisa seperti itu atau hanya akal-akalannya saja. Apa sedramatis itukah Alisa?"Nggak ada, apaan sih Rik," rajuk Alisa dengan suara manjanya membantah."Sudahlah Bu, biarkan saja. Benar kata Arik jangan dipaksa. Ini anak pertama mereka loh setelah sepuluh tahun menunggu." Pak Bara angkat bicara."Iya deh, Ibu ngalah. Jadi kapan kalian ke Bali-nya?""Lusa, Bu." Alisa menjawab pasti."Kalian ini. Ya sudah kalau begitu besok saja kita acara tasyakurannya

  • Dibayar Satu Miliar   52

    Aku ditarik sampai keluar rumah. Bahkan dipaksa masuk ke dalam mobilnya. Satpam di depan pun tidak berani menolong karena yang membawaku adalah anak majikannya sendiri, Axel.Saat kejadian juga tidak ada orang yang sadar kalau aku sebenarnya ditarik paksa, karena lenganku digamitnya mesra, seolah kami adalah sepasang kekasih. Ingin berontak pun tidak mungkin, karena bakal membuat kegaduhan dan aku tidak ingin disalahkan atas kejadian tersebut."Axel, please … lepas! Kamu mau bawa aku kemana?" Aku tidak dapat berkutik lagi karena pintu mobil telah dikuncinya."Ke suatu tempat. Kita harus bicara.""Kan, kita bisa bicara di sana, nggak perlu pergi dari rumah ini. Bagaimana kalau Kak Alisa mencariku?" Aku mencoba mengelak, mencari alasan."Cuma sebe

  • Dibayar Satu Miliar   53

    Selarik senyum muncul di wajahnya. "Apa kamu bahagia?" tanyanya setelah menyesap kopi latte miliknya."Bahagia itu relatif. Melihat orang yang kita sayang bahagia itu sudah cukup membahagiakan bagiku." Aku menjawab secara diplomatis."Kamu bahagia?" Kembali Axel bertanya. Dia mengulangi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.Aku mengangguk lemah."Bohong! Matamu tidak bisa berdusta. Mana ada orang bahagia dengan anggukan lemah begitu. Nampak ragu untuk menjawab ya.""Kenapa kamu mirip dengannya, suka menganalisa orang bicara.""Dengannya? Aku mirip siapa? Kalau yang kamu maksud Mas Arik, ya, kebanyakan mereka bilang begitu. Cetakan kami mirip tapi soal perasaan, kuharap tidak sama," selanya, tampak tidak suka.

  • Dibayar Satu Miliar   54

    Aku mondar-mandir gelisah di dalam kamar Alisa setelah acara tasyakurannya selesai. Pernyataan Axel pada ibunya membuat ketegangan antara aku dan ibunya semakin meningkat. Dapat kulihat ia semakin menunjukkan wajah ketidaksukaannya padaku. Harusnya masalah ini tak perlu terjadi dan melebar lebih luas andai Axel tidak datang dan membuat pernyataan yang sama lagi untuk kedua kalinya. Bukankah sudah kutolak mentah-mentah keinginannya untuk menjadikan aku istrinya, kenapa malah dianggap angin lalu. Apa sebenarnya maksud Axel? Kenapa dia tetap ngotot ingin menikahiku? Apakah ada yang direncanakannya?"Luna, kemari." Alisa yang sejak tadi berbaring di tempat tidur memanggilku dengan suara lemah. Wajahnya tampak pucat. Kata Ana, Alisa kelelahan akibat melayani ucapan selamat dari para tamu. Kasihan Alisa. Aku semakin penasaran sakit apa sebenarnya dia? Kulihat banyak obat-obatan di dalam tas khusus yang aku sendiri bingung melihatnya. Semuan

  • Dibayar Satu Miliar   55

    "Eh, buat apa memanggil anak itu, nanti dia makin kesenangan karena kita minta pendapatnya." Masih sempat kudengar penolakan ibu mertua yang tidak setuju aku dipanggil ikut serta dalam pembicaraan keluarga mereka. Setelahnya, aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Aku sudah berada di lantai atas dengan napas ngos-ngosan karena naik tangga dengan langkah cepat."Mbak Luna!" Ada yang memanggilku. Dari caranya memanggilku, aku tahu itu Bu Sukma, kepala pekerja di rumah ini. Kulepas pegangan knop pintu kamar yang siap kubuka. Aku berbalik dengan memaksakan senyum."Iya." Kucoba senatural mungkin saat menjawab panggilannya.Wanita matang dengan garis wajah tegas menelisikku tajam."Ekhem, iya ada apa?""Mbak Luna dari mana?" Kedua alisnya saling bertaut."Saya?

  • Dibayar Satu Miliar   56

    Penasaran, aku pun bergegas menghampiri Pak Arik yang masih berdiri di depan pintu.Bu Sukma. Ternyata dia yang memergoki kami dalam satu kamar. Saat mata kami saling terpaut, aku tahu sorot tajam matanya menunjukkan ketidaksukaan. Aku juga tahu dia sedang memindai penampilanku, tampak dari bola matanya yang bergerak dari atas ke bawah.Aku hanya mampu menelan saliva dan terdiam terpaku di belakang Pak Arik."Ekhem." Bu Sukma Berdeham."Saya baru saja dari kamar Non Alisa. Ia meminta saya membawakan buah ini untuk Luna," tuturnya memberitahukan dan berlalu masuk ke dalam, melewati Pak Arik begitu saja tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia juga tidak memanggilku Mbak, seperti biasanya dia menyapa.Kami memperhatikan Bu Sukma yang berjalan mendekati nakas, lalu meletakkan piring be

Bab terbaru

  • Dibayar Satu Miliar   94

    Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah

  • Dibayar Satu Miliar   93

    POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d

  • Dibayar Satu Miliar   91

    POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint

  • Dibayar Satu Miliar   90

    "Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,

  • Dibayar Satu Miliar   89

    POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka

  • Dibayar Satu Miliar   88

    Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar

  • Dibayar Satu Miliar   87

    POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 

  • Dibayar Satu Miliar   86

    Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata

  • Dibayar Satu Miliar   85

    Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.

DMCA.com Protection Status