Share

43

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 Tidak ada yang mau dijadikan kedua, tapi karena keterpaksaan ada yang rela berada di posisi tersebut. Itu, aku.

***

 Aku mencoba tidur, tapi mata tak mau terpejam. Waktunya juga masih terlalu pagi untuk dibawa tidur. Katanya ibu hamil tidak boleh tidur terlalu pagi. Tidak baik untuk kesehatan. Benar atau tidak, aku pun tak tahu. Itu semua pernah kudengar saat Tante Erni--tetanggaku yang sedang hamil dinasihati oleh ibu mertuanya. Sering sekali kudengar Tante Erni dimarahi mertuanya entah karena masalah apa, aku juga tidak tahu dan tidak ingin ambil pusing, karena waktu itu aku tidak terlalu mengerti urusan orang dewasa. Mengingat hal tersebut, sekarang membuatku jadi penasaran seperti apa ibu mertua memperlakukanku andai ia tahu aku adalah menantunya? Apakah sebaik ia memperlakukan Alisa? Atau malah lebih buruk, karena aku hanyalah istri siri anaknya dan wanita dari kalangan biasa?

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
makin menarik
goodnovel comment avatar
Adriana Lim
sebetulnya ceritanya bagus tp Luna tll bodoh jd bikin males
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dibayar Satu Miliar   44

    "Aku tidak sengaja bertemu dengan beliau di restoran kemarin waktu kita mau ke sini." Kembali aku bersuara membuka pertemuan tak sengajaku kemarin."Di--" jedanya bertanya dengan kening berkerut."Iya, di restoran yang kita singgahi waktu itu, dan maaf aku nggak cerita," selaku memberitahukan."Terus? Memangnya kamu kenal wajah ibu mertuaku?"Aku menggeleng. "Awalnya nggak, tapi rasanya memang pernah lihat atau ketemu, nah pas buka galeri foto di ponsel Mas, aku lihat fotonya dan langsung mengenali kalau orang yang kemarin kutemui itu memang ibunya Kak Alisa." Aku berhenti sejenak menghela napas dalam sebelum menceritakan kembali detail pertemuan kemarin dan apa saja yang sempat kami bicarakan waktu itu."Oh," ucap Pak Arik. Sesingkat itu balasannya menanggapi ceritaku mengenai ibu mertuanya

  • Dibayar Satu Miliar   45

    "Ponsel?" ulangku memastikan."Iya, ponselnya Arik biar aku saja yang pegang. Bukankah sama kamu?" Tangan Alisa masih terulur di depanku.Dengan berat hati kuserahkan ponsel Pak Arik padanya."Terima kasih," ucap Alisa dengan senyum terkembang setelah ponsel itu berada di tangannya. Dibukanya ponsel tersebut sejenak lalu meletakkannya diatas meja."Ini alasan kenapa kusita ponselmu waktu itu." Alisa menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa."Untuk menghindari masalah. Untuk menghindari orang luar tahu siapa kamu di hidup kita. Itu semua sudah aku rencanakan dengan matang, sayangnya karena kesalahanmu, satu orang lagi jadi tahu keberadaanmu di keluarga Bara Wijaya," lanjutnya kemudian.Aku hanya diam menyimaknya bicara sambil meremas kedua tangan. Padahal yan

  • Dibayar Satu Miliar   46

    "Mas? Mas Arik …." goda Alisa memanggil Pak Arik dengan senyum jahil ke arahnya. Aku dibuat heran."Apaan Lis, nggak lucu," delik Pak Arik terlihat tak suka."Mas Arik, aku panggil begitu juga ya?" Masih menggoda dengan senyum merekah tak pudar dari kedua sudut bibirnya."Lis!" Pak Arik melotot ke arah Alisa dan memanggil namanya penuh penekanan.Alisa malah tertawa terbahak jadinya. Sedang Pak Arik berjalan lebih dulu meninggalkan aku dan Alisa dengan wajah masam.Ada apa dengan mereka? Kukira Alisa bakal marah padaku karena panggilan tersebut, ternyata malah sebaliknya. Dia menjadikan itu lelucon dan menggoda Pak Arik yang tampak tak suka dipanggilnya begitu."Ayo, Lun." Ditariknya tanganku dan memaksaku melangkah beriringan dengannya.

  • Dibayar Satu Miliar   47

    "Mas, langsung pergi ke kantor atau ikut kami?" Aku dan Alisa sudah berada di dalam mobil. Lagi-lagi Alisa menggoda suaminya."Alisa!" Pak Arik melotot ke arah istri pertamanya itu.Alisa tertawa. Aku pun ikutan terkekeh kecil. Sorot mata Pak Arik langsung menatapku tajam lewat kaca spion di depannya. Dia pasti mendengar tawaku. Dengan cepat bibir ini mengatup rapat.Sampai di mall, kami ke pusat perbelanjaan. Alisa tetap menggamit erat lenganku. Banyak barang yang dipilihnya. Katanya untuk persediaan selama di apartemen, tapi menurutku itu terlalu banyak karena baru seminggu yang lalu Pak Arik berbelanja melengkapinya."Ini banyak buku parenting juga buat kamu. Dibaca ya." Alisa memberikan banyak buku padaku. Kapan dia membelinya? Apa pas di mall? Dia sempat pergi sendiri dan memintaku duduk untuk istirahat. Dia takut

  • Dibayar Satu Miliar   48

    Astaga, pake acara mau bersin segala lagi. Kenapa di waktu yang tidak tepat. Tidak ingin ketahuan sedang menguping pembicaraan mereka, terpaksa aku menjauh takut suara bersinku terdengar.Merasa cukup jauh karena sudah berada di ruang tengah, setengah wajah yang sengaja kututup dengan satu tangan akhirnya dapat kulepaskan. Namun rasa gatal ingin bersinnya malah hilang.Kalau tahu begini jadinya, aku akan memilih tetap berada di sana guna mendengarkan isi lanjutan percakapan mereka.Satu kursinya milik siapa?Satu kalimat yang keluar dari bibir Alisa membuatku berpikir keras. Apa maksudnya, mungkinkah satu kursi itu untukku?Tidak. Aku terlalu percaya diri meyakini kalau Pak Arik juga cinta denganku. Kenyataannya tidak semanis yang kuinginkan, aku hanyalah wanita yang ditiduri

  • Dibayar Satu Miliar   49

    "Luna, kita sudah sampai. ini rumah mertua kita. Ingat seperti yang kusampaikan sebelumnya, katakan yang seperlunya saja sesuai dengan apa yang sudah kuajarkan." Alisa mengingatkanku tentang apa yang harus dan tidak boleh kukatakan saat berada di rumah ini. Pak Arik yang duduk di depan hanya menatap ke arahku sebentar. Sejak kedatangannya ke apartemen untuk menjemput kami, dia tidak banyak bicara.Kuanggukkan kepala tanda mengerti.Kami masuk ke dalam secara bersamaan. Alisa menggamit lenganku dan kami berjalan beriringan diikuti Pak Arik yang membawakan koper kami. Rasa gugup kurasakan saat pintu besar terbuka lebar di hadapan.Tampak seorang wanita dewasa berdiri dengan senyum terkembang menyambut hangat kedatangan kami. Dia tidak sendiri, ada perempuan muda lainnya berdiri di sebelahnya."Tolong Ana, bawakan koper ini.

  • Dibayar Satu Miliar   50

    "Satu lagi. Kalau Axel kemari, pindahlah ke kamar tamu, kamar paling ujung sebelah kanan. Itu kosong. Jangan di sini. Aku tidak tahu sedekat apa kamu dengan Alisa hingga dia memintamu tidur di kamar ini. Setahuku waktu di pesta itu kalian tidak dekat, dan sepintar apa kamu sampai bisa mendekatinya dan menjadikanmu asisten pribadinya."Aku tersenyum kecut. Nampak jelas kalau ibunya Arik tidak suka padaku. Apalagi tudingannya barusan membuat hatiku sakit. Perih rasanya. Tidak seperti dalam bayanganku."Turunlah ke bawah, saat aku ingin ke atas, Alisa memintaku memanggilmu juga sekalian untuk ikut makan malam dengan kami. Lain kali bersikaplah tahu diri dan menyesuaikan diri sebagai apa kamu di sini. Jangan karena menantuku itu terlalu baik, lalu kamu seenaknya aja memanfaatkan kebaikannya itu dengan bersikap di luar batas.""Maksudnya?" Aku ingin mendengar

  • Dibayar Satu Miliar   51

    "Bu, jangan dipaksa. Nanti dia ngambeknya ke aku. Marahnya ke aku, bisa nggak mau makan segala. Nangis-nangis nggak berhenti. Drama sekali Bu, padahal lagi hamil," bujuk Pak Arik mencoba menjelaskan. Ini penolakan halus dari Pak Arik atas saran ibunya.Aku menoleh ke arah lelaki yang sedang bicara ini. Apa benar Alisa seperti itu atau hanya akal-akalannya saja. Apa sedramatis itukah Alisa?"Nggak ada, apaan sih Rik," rajuk Alisa dengan suara manjanya membantah."Sudahlah Bu, biarkan saja. Benar kata Arik jangan dipaksa. Ini anak pertama mereka loh setelah sepuluh tahun menunggu." Pak Bara angkat bicara."Iya deh, Ibu ngalah. Jadi kapan kalian ke Bali-nya?""Lusa, Bu." Alisa menjawab pasti."Kalian ini. Ya sudah kalau begitu besok saja kita acara tasyakurannya

Bab terbaru

  • Dibayar Satu Miliar   94

    Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah

  • Dibayar Satu Miliar   93

    POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d

  • Dibayar Satu Miliar   91

    POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint

  • Dibayar Satu Miliar   90

    "Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,

  • Dibayar Satu Miliar   89

    POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka

  • Dibayar Satu Miliar   88

    Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar

  • Dibayar Satu Miliar   87

    POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 

  • Dibayar Satu Miliar   86

    Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata

  • Dibayar Satu Miliar   85

    Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.

DMCA.com Protection Status