Rahman terbangun. Terdengar suara kebisingan di bawah. Dia bergegas turun ke bawah. Lampu setiap ruangan menyala. Jam dinding masih menunjukkan pukul dua dini hari. Sumber suara semakin dekat.
Ayah dan Ibunya tampak sedang panik. Rahman pun langsung menghampiri mereka.
“What’s wrong?”
“Shelin, Rahman….” Ibu Reta tidak kuasa menahan tangisnya.
Rahman memeluk Ibunya untuk memberikan ketena
Pembaca yang budiman, terima kasih, like, komen, dan votenya yah.
Masih di dalam mobil Rahman terus mengintai. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Rahman langsung mengenalinya. Jika jarak rumah itu dengan rumahnya juga sesuai dengan ciri-ciri orang tersebut. Rahman dengan langkah sigap yakin keluar dari mobil dan langsung menghampiri dua orang laki-laki yang masih berdiri di depan pintu. Satunya laki-laki paruh baya yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya Cindy. Sedangkan laki-laki satunya adalah Arfan. Tanpa persiapan, Rahman langsung dihantam oleh Arfan hingga membuatnya tersungkur. Darah segar keluar dari hidungnya. Rahman belum juga mengerti, kenapa Arfan bisa memukulnya. Arfan berjalan mendekati Rahman yang masih terkulai menahan sakit di hidungnya. “Why? Surprise?” Arfan menendang perut Rahman. &nbs
Rahman melepaskan keringatnya di ruangan gym. Matanya menghunus tajam mengingat siapa wanita yang dilihatkan oleh Arfan. Kenapa dia begitu sangat marah sekali. Sambil mengangkat beban Rahman terus mengingat-ngingat. Sekilas Rahman mulai mengingat wajah wanita itu. Rahman meletakkan alat fitnesnya dan merebahkan tubuhnya. Dua jam sudah dia melepaskan keringat. Keringat dibiarkan menetes begitu saja. “Aghhh! Sial!” Rahman melempar handuk kecil. Tubuhnya semakin membara, mengingat betapa brengseknya dia saat dulu. Wanita yang dilihatkan oleh Arfan adalah ibu Satriya. Tapi malam itu, saat mereka bertemu di club malam tanpa sengaja. “Hello, tampan… kencang denganku yuk. Aku janda kesepian tahu
“Oh dear…” Ibu Reta langsung mencium pipi Aisyah. Menantu yang akan memberikan cucu pertama bagi keluarga Wijayanto. Kini terbaring lemah dia tas bed rumah sakit. “Mom, Kak Aisyah pasti baik-baik saja, don’t worry…” Shelin mengelus pundak Ibunya. Ayah Rahman mengajak anak laki-lakinya itu keluar dari pintu belakang. Sambil melihat pemandangan di rumah sakit, Ayah Rahman bercerita masa lalu. Kejadian yang dialami Aisyah dulu juga pernah dialami oleh Ibunya Rahman. “Rahman, kamu harus bisa menjaga sikap dan emosimu. Kondisi Aisyah sedang hamil. Jangan berikan dia tekanan batin, karena itu bisa mengakibatkan kesehatannya menurun. Dulu saat Ibumu
Aisyah memandangi wajah Rahman yang kini sudah pulas tertidur. Sikap dan perlakuan Rahman kadang membuatnya takut untuk bertahan. Namun jika pergi dari kehidupannya, bagaimana nasib anak yang dikandungnya. Perlahan Aisyah meraih pipi Rahman dan mengelusnya. Beberapa usapan tangannya, Rahman membuka matanya. “Sayang, kamu butuh sesuatu?” “Istirahatlah Mas, nanti punggungmu sakit tidur dengan duduk.” “Apakah kamu sudah memaafkan aku?” Aisyah mengangguk, “Aku tidak marah sama kamu Mas, aku hanya takut akan sikap kamu.”&n
Rahman memutuskan untuk membawa pulang Aisyah, tentu saja dengan pantauan dokter yang merawatnya. Kejadian semalam masih menimbulkan kekhawatiran Aisyah. Shelin dan Ibu Reta membantu membawakan barang-barang ke dalam mobil. Untungnya mertua serta adik ipar Aisyah sangat menyayanginya. Sehingga tidak begitu menyedihkan bagi Aisyah. Perantauannya ke ibukota berubah dratis dari apa yang dibayangkan sebelum berangkat. Suasana penjara suci yang meski ramai namun juga menyimpan kesepian di dalam hati. Sebenarnya Aisyah ingin mencari keberadaan orangtua kandungnya, namun nasib mengantarkan pada chapter lain. Aisyah melihat jalanan yang masih pagi. Macet sudah seperti kegiatan sehari-hari yang tidak bisa dihindari. Aisyah menarik napas, perutnya terasa sedikit bergerak-
Cindy langsung menghampiri Rahman. Tanpa basa-basi dia melihatkan sebuah foto yang di handphonenya. Dalam hatinya, dia berniat untuk memancing emosi Rahman. Aksinya berharap dapat memisahkan Rahman dengan Aisyah. Bahkan dia telah lupa bagaimana dulu meninggalkan bekas luka di hati Rahman. Dengan congaknya menghina dan mempermalukan Rahman. Kini dirinya sendiri bahkan tidak punya malu dan nilai lagi. Bagi Rahman, dia hanya wanita yang tak jauh beda dengan sampah yang setiap pagi dibuang ke tong sampah oleh Mbok Darsih. Meski ucapannya tadi menggebu-nggebu, Rahman santai saja dan hanya menganggap angin lewat saja. “Kamu yakin, Aisyah mengandung anakmu?” Rahman hanya menggerakkan ekor matanya sekilas melihat foto Aisyah bersama seorang laki-laki. Walau bagaimana pu
Kesibukan di bandara sudah terlihat ramai. Meski masih menunjukkan pukul lima dini hari. Aisyah masih merasa gelisah. Pandangan matanya lurus ke depan namun kosong. Di dalam benak hatinya seakan menolak untuk pergi. Kerinduan pada penjara suci menghantui pikirannya. Bagaimana dia bisa tinggal di negeri orang. Tak peduli orang yang berjalan di depannya, tatapan Aisyah masih kosong. “Sayang…” terdengar suara Rahman memanggil. Aisyah hanya memalingkan padangannya saja tanpa mengukir senyuman di balik niqamnya. Mata elang Rahman seperti mengantar ketenangan. Hati Aisyah sedikit lebih tenang. Napasnya tidak sesesak tadi. Panggilan suara terdengar sangat jelas. Semua penumpang be
Pov Aisyah Aku masih menunggu di kamar. Bunyi AC menemani keheningan. Hiruk pikuk laju kendaraan di negeri merlion ini. Lampu jalanan dan gedung-gedung pencakar langit indah sekali. Meski masih canggung dengan suasana di sini. Malam ini Rahman akan mengajakku ke suatu tempat. Dia bilang, ingin makan malam berdua denganku. Semoga saja aku bisa merasakan romantic seperti pasangan yang kasmaran. “Sayang, sudah siap belum?” Kulihat suamiku sudah rapi. Entah apa yang dia bicarakan dengan ayahnya tadi. Aku tidak ingin mencari tahu. Yang penting, saat dia sungguh-sungguh akan terbang ke Bali, aku harus ikut. Aku tidak ingin tinggal di sini sendirian meskipun ada Shelin dan ibu mertuaku.