Aisyah memandangi wajah Rahman yang kini sudah pulas tertidur. Sikap dan perlakuan Rahman kadang membuatnya takut untuk bertahan. Namun jika pergi dari kehidupannya, bagaimana nasib anak yang dikandungnya.
Perlahan Aisyah meraih pipi Rahman dan mengelusnya. Beberapa usapan tangannya, Rahman membuka matanya.
“Sayang, kamu butuh sesuatu?”
“Istirahatlah Mas, nanti punggungmu sakit tidur dengan duduk.”
“Apakah kamu sudah memaafkan aku?”
Aisyah mengangguk, “Aku tidak marah sama kamu Mas, aku hanya takut akan sikap kamu.”
&n
Rahman memutuskan untuk membawa pulang Aisyah, tentu saja dengan pantauan dokter yang merawatnya. Kejadian semalam masih menimbulkan kekhawatiran Aisyah. Shelin dan Ibu Reta membantu membawakan barang-barang ke dalam mobil. Untungnya mertua serta adik ipar Aisyah sangat menyayanginya. Sehingga tidak begitu menyedihkan bagi Aisyah. Perantauannya ke ibukota berubah dratis dari apa yang dibayangkan sebelum berangkat. Suasana penjara suci yang meski ramai namun juga menyimpan kesepian di dalam hati. Sebenarnya Aisyah ingin mencari keberadaan orangtua kandungnya, namun nasib mengantarkan pada chapter lain. Aisyah melihat jalanan yang masih pagi. Macet sudah seperti kegiatan sehari-hari yang tidak bisa dihindari. Aisyah menarik napas, perutnya terasa sedikit bergerak-
Cindy langsung menghampiri Rahman. Tanpa basa-basi dia melihatkan sebuah foto yang di handphonenya. Dalam hatinya, dia berniat untuk memancing emosi Rahman. Aksinya berharap dapat memisahkan Rahman dengan Aisyah. Bahkan dia telah lupa bagaimana dulu meninggalkan bekas luka di hati Rahman. Dengan congaknya menghina dan mempermalukan Rahman. Kini dirinya sendiri bahkan tidak punya malu dan nilai lagi. Bagi Rahman, dia hanya wanita yang tak jauh beda dengan sampah yang setiap pagi dibuang ke tong sampah oleh Mbok Darsih. Meski ucapannya tadi menggebu-nggebu, Rahman santai saja dan hanya menganggap angin lewat saja. “Kamu yakin, Aisyah mengandung anakmu?” Rahman hanya menggerakkan ekor matanya sekilas melihat foto Aisyah bersama seorang laki-laki. Walau bagaimana pu
Kesibukan di bandara sudah terlihat ramai. Meski masih menunjukkan pukul lima dini hari. Aisyah masih merasa gelisah. Pandangan matanya lurus ke depan namun kosong. Di dalam benak hatinya seakan menolak untuk pergi. Kerinduan pada penjara suci menghantui pikirannya. Bagaimana dia bisa tinggal di negeri orang. Tak peduli orang yang berjalan di depannya, tatapan Aisyah masih kosong. “Sayang…” terdengar suara Rahman memanggil. Aisyah hanya memalingkan padangannya saja tanpa mengukir senyuman di balik niqamnya. Mata elang Rahman seperti mengantar ketenangan. Hati Aisyah sedikit lebih tenang. Napasnya tidak sesesak tadi. Panggilan suara terdengar sangat jelas. Semua penumpang be
Pov Aisyah Aku masih menunggu di kamar. Bunyi AC menemani keheningan. Hiruk pikuk laju kendaraan di negeri merlion ini. Lampu jalanan dan gedung-gedung pencakar langit indah sekali. Meski masih canggung dengan suasana di sini. Malam ini Rahman akan mengajakku ke suatu tempat. Dia bilang, ingin makan malam berdua denganku. Semoga saja aku bisa merasakan romantic seperti pasangan yang kasmaran. “Sayang, sudah siap belum?” Kulihat suamiku sudah rapi. Entah apa yang dia bicarakan dengan ayahnya tadi. Aku tidak ingin mencari tahu. Yang penting, saat dia sungguh-sungguh akan terbang ke Bali, aku harus ikut. Aku tidak ingin tinggal di sini sendirian meskipun ada Shelin dan ibu mertuaku.
Pov Aisyah Seharusnya aku bisa menikmati, katakanlah bulan madu. Seperti orang-orang lain yang merayakan honeymoon. Tapi tidak dengan keberadaan di Singapura untuk menikmati waktu bulan madu. Entah ada masalah apa dengan bisnis suamiku di Bali. Apakah cabang barunya mengalami masalah. Fix. Hanya tiga hari tinggal di kondominium orangtua Rahman aku bisa merasakan bagaimana bersyukurnya berada dengan fasilitas yang super canggih. Koper sudah kutata dengan keperluan seadanya. Kulihat amplop berisi uang dollar Singapura yang belum kugunakan sama sekali. “Sayang, jadi ikut?” Tampaknya Rahman ingin menggodaku. Segera kusimpan uang itu ke dalam tas. Tidak harus menghabiskan
Setelah pamitan dengan Ayah dan Ibu Rahman, serta Shelin. Rahman dan Aisyah melangkah kaki menuju check in. Bandara international Changi sepagi ini sudah sangat ramai orang. Changi airport merupakan salah satu bandara terbaik di dunia. Maka tidak heran jika pelayanan, kebersihan, dan tingkat kemanan di sini sangat bagus. Aisyah berjalan di depan Rahman. Meski hatinya berdebar untuk melakukan penerbangan lagi, semoga saja dia akan lebih rileks. Bukan pertama kali lagi dia naik pesawat, sehingga lebih bisa mengendalikan perasaannya. Tepat pukul tujuh Tujuh waktu Singapura, pesawat siap lepas landas. Suara mesin pesawat sedikit memekakkan telinga. Aisyah tak lupa membaca dan doa dan berzikir saat sayap pesawat siap menerbangkan penumpang. Rahman yang duduk di sebel
Terburu-buru Rahman langsung menghadang sebuah taksi. Bahkan sampai penumpangnya yang belum turun, Rahman main menyambar masuk ke tempat duduk belakang. Sedang paniknya Rahman sambil menelepon nomor Aisyah. “Angkat dong sayang…” Tidak ada tanda-tanda panggilan teleponnya dijawab, Rahman meminta meminta supir taksi yang mempercepat laju kendaraannya. Namun, jalanan cukup ramai dan harus berhati-hati. Hati Rahman semakin cepat. Semua pikirannya tertuju kepada Aisyah. Perkara berkas dokumen yang ditandatangani itu tidak terlintas dalam pikirannya. “Cepat sedikit Pak.” Pinta Rahman.&
Pesawat landing dengan sempurna. Penumpang turun satu persatu. Melin memakai kaca mata hitamnya dan memakai syal untuk menutupi kepalanya. Pasti Robi tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Tanpa sepengetahuan Rahman, di tengah keramaian orang, Aisyah melihat Melin yang hendak masuk ke kamar mandi. Meskipun Melin memakai kacamata hitam dan syal, Aisyah masih dapat mengenalinya. Terdengar suara flush dari dalam kamar mandi. Aisyah berdiri di samping Melin, sontak saja dia merasa kaget. “Kamu?” “Jangan kaget. Apakah kamu masih mengikuti kami?” Melin mematikan kran air.&nbs
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me