POV Aisyah
Aku masih setia memegang tangan suamiku yang masih terbaring belum sadarkan diri.Aku berharap luka tusukan di perutnya tidak terlalu parah. Bibir suamiku bahkan masih membiru. Bagaimana kamu bisa bertindak ceroboh, suamiku. Apakah kamu tidak takut bila terjadi sesuatu dengan anak yang kukandung ini.
Berusaha sekuat tenaga aku akan kuat untuk menunggumu sampai sadar. Tidak peduli rasa sakit kadang masih menyerang perutku. Anak yang kukandung pasti kuat seperti ayahnya.
Dalam kedinginan yang bertambah AC di ruangan VVIP ini, aku hanya bisa berdoa dan menunggu keajaiban terjadi. Kunantikan tangan suamiku bergerak, matanya perlahan terbuka. Aku masih yakin kalau suami yang kuat.
Pembaca yang budiman, jangan lupa, like, rating, dan votenya yah. Terima kasih.
Pov Aisyah Kusibukkan diriku dalam kegiatan positif. Apa yang bisa dilakukan sosok Aisyah sepertiku ini. Tinggal di rumah seperti istana namun ada jembatan pemisah yang tidak mudah kulewati. Ingin keluar saja terasa sulit. Aku hanya bisa menulis di dalam diary yang tak pernah lelah menjadi teman curahan isi hati. Tiba-tiba bunyi hand phone mengalihkan pandanganku. Setelah hand phone dari suamiku rusak, aku baru menggunakan hand phone pemberian Shelin. Untunglah, Tuhan masih berbaik hati, nomor-nomor yang perlu kuhubungi bisa ter-save. [Hai, sister, what are you doing?] Akupun heran kenapa adiknya Rahman
Keluar dari kamar mandi, Aisyah melihat Rahman sudah berpakaian rapi. Pendinginan seolah masih terasa di pagi ini. Tanpa membenarkan dasi Rahman, Aisyah memilih untuk menghindar. Namun saat dia melintas di depan suaminya, tangan Aisyah ditarik dengan paksa. Kedua tangan Rahman langsung memegang kepala Aisyah dan meletakkan bibirnya secara tiba-tiba. Aisyah dibuat kaget seketika, namun dia tidak melawan. Cukup lama Rahman membuat tubuh Aisyah tidak bergerak, sehingga Aisyah melingkarkan tangannya ke leher Rahman. Rahman melepaskan kunci ciumannya. Ditatapnya mata Aisyah yang masih terpejam. Begitu polos sekali wajah istrinya itu. Kembali, Rahman melanjutkan sisa-sisa napasnya melumat bibir Aisyah semakin dalam. Kedua napas mereka beradu menjadi satu. &nbs
Orang-orang yang berada di ruangan masih tampak hening. Bahkan tidak terdengar napas yang keluar masuk dari hidung. Seolah menyiapkan diri melihat siapa sekretaris Robi. Semua menjadi penasaran. Yah! Seorang wanita yang tidak asing bagi Rahman dan rekan-rekan bisnis lainnya. Siapa yang tidak kenal dengan Niken—sekretaris Rahman yang bertahun-tahun bekerja dengannya. Dengan posisi Niken berada di pihak Robi mungkin laki-laki yang dianggap pecundang oleh Rahman akan bisa membuka semua akses pribadinya. Niken duduk di sebelah Robi, ternyata Robi sudah menyiapkan satu kursi kosong untuk Niken. Perut Niken tidak selangsing dulu. Kandungan di dalam perutnya sudah mulai kelihatan. Semua orang tertuju kepada Niken. “Selamat pagi semuanya…”&
Satriya sudah dalam gendongan mbak Siti. Anak itu mungkin kelelahan setelah lama bermain dengan Aisyah. Mbak Siti meminta izin untuk pulang, takut kalau nanti tuannya pulang mendadak tapi tidak ada orang di rumah. Aisyah pun tidak bisa menghalangi. Belum lama mbak Siti pamit, terdengar suara mesin mobil masuk ke halaman rumah. Aisyah yang baru istirahat membereskan ruang tamu, langsung membuka pintu. Kedatangan Ayah mertuanya membuat Aisyah merasa kaget. Kenapa Rahman tidak memberikan kabar. Jadi dia bisa menyiapkan makanan untuk Ayah mertuanya. “Aisyah, how are you?” “I am fine. Where is Mom and Shelin?” Aisyah menyadari kehadiran ibu
Di kamar Aisyah pura-pura tidak tahu apa-apa. Aisyah menata hati dan menyibukkan diri sendiri. Rahman membuka pintu dan bersender. Tangan kanannya masuk ke dalam saku celana. Dilihatnya Aisyah yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam lemari. “Kenapa berdiri di situ, Mas?” “Kamu kenapa tidak istirahat saja, sayang…” Rahman mendekat dan melingkarkan kedua tangannya ke perut Aisyah. Hidung Rahman yang mancung membuat geli leher Aisyah. “Ayah sudah tidur Mas?” “I thing so, tadi katanya capek sekali.” Rahman mengambil tumbukan baju di tangan Ais
Sejak turun dari mobil Rahman tidak banyak bicara. Di dalam pikirannya masih memikirkan tentang pengirim pesan. Masih menjadi misterius. Beberapa nama yang coba ditebak Rahman belum ada yang dianggap pelakunya. Ibu Reta dan Shelin masih bermalas-malasan di sofa. Sementara Aisyah masih membantu Mbok Darsih untuk menyiapkan makan siang. “Mum, I am going to help her…” Shelin berdiri dan menuju ke dapur. Tercium wangi curry yang sangat lezat. Hidung Shelin langsung tergoda dan tidak sabaar ingin mencicipinya. “Guys, come on, lunch is ready…” Aisyah dan Mbok Darsih hanya bisa tersenyum. Padahal lauk pauk belum selesai d
Rahman terbangun. Terdengar suara kebisingan di bawah. Dia bergegas turun ke bawah. Lampu setiap ruangan menyala. Jam dinding masih menunjukkan pukul dua dini hari. Sumber suara semakin dekat. Ayah dan Ibunya tampak sedang panik. Rahman pun langsung menghampiri mereka. “What’s wrong?” “Shelin, Rahman….” Ibu Reta tidak kuasa menahan tangisnya. Rahman memeluk Ibunya untuk memberikan ketena
Masih di dalam mobil Rahman terus mengintai. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Rahman langsung mengenalinya. Jika jarak rumah itu dengan rumahnya juga sesuai dengan ciri-ciri orang tersebut. Rahman dengan langkah sigap yakin keluar dari mobil dan langsung menghampiri dua orang laki-laki yang masih berdiri di depan pintu. Satunya laki-laki paruh baya yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya Cindy. Sedangkan laki-laki satunya adalah Arfan. Tanpa persiapan, Rahman langsung dihantam oleh Arfan hingga membuatnya tersungkur. Darah segar keluar dari hidungnya. Rahman belum juga mengerti, kenapa Arfan bisa memukulnya. Arfan berjalan mendekati Rahman yang masih terkulai menahan sakit di hidungnya. “Why? Surprise?” Arfan menendang perut Rahman. &nbs
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me