"Ya, Emily memang berada di Paris. Alamat kediaman Da Busche sudah kutemukan juga melalui data lintas negara yang hanya bisa diakses oleh pejabat tinggi kepolisian. Ayo kita terbang ke Perancis, Murat, Rodney!" tutur Letnan Benjamin Roosevelt bangkit berdiri dari balik meja kerja kantornya."Apa kita akan naik pesawat komersil ke Paris, Letnan?" tanya Murat karena memang rencana penerbangan itu sangat mendadak.Sembari menyusuri koridor markas kepolisian Chicago menuju ke lift, Letnan Benjamin menjawab, "Iya, penerbangan malam ini juga. Kita tak perlu membawa barang apa pun, Murat. Setelah menemukan Emily di Paris, kita langsung terbang kembali ke Chicago.""Baiklah, aku mengerti." Murat pun mengikuti dua petugas polisi itu dengan mobil Honda CRV miliknya yang akan dititipkan di parkiran bandara. Kebetulan surat identitas miliknya ada di tas kerjanya sehingga tak perlu mengambilnya di apartment untuk keperluan check in tiket pesawat.Pukul 19.00 waktu Chicago, ketiga pria tersebut ter
"Buka pintu yang ini atau terpaksa kami dobrak, Mister Dabusche!" seru Murat penuh tekad. Dia amat yakin kalau wanita yang dicintainya itu ada di balik pintu yang dikunci tersebut.Rayden mendengkus kesal, dia enggan membukanya karena memang ada Emily Carter di dalam sana. "Tidak. Itu kamar khusus yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Ada harta berhargaku di dalamnya!" kelit pria itu bersedekap menatap Murat yang mengerutkan alisnya tak ingin mundur.Letnan Benjamin Roosevelt menengahi perdebatan tersebut. "Anda sudah dengar sendiri surat perintah dari Kepolisian Kota Paris. Semua ruangan di rumah ini harus digeledah. Buka!" Namun, Rayden menggelengkan kepalanya. Dia justru mundur menuju ke arah tangga untuk turun. Melihat reaksi penolakan pria itu, Letnan Benjamin dan Murat saling bertukar pandang. Mereka berdua bersama Sersan Rodney mengambil ancang-ancang lalu mendobrak pintu yang tertutup rapat itu dengan kompak."BRAKKK!""BRAKKK!""BRAKKKK!"Engsel pintu pun berhasil dirus
"Emily ... syukurlah kau akhirnya siuman!" ucap Murat dengan sepasang mata merahnya yang kelelahan kurang tidur sejak kemarin.Pria berkebangsaan Turki itu membelai pipi dingin Emily dengan telapak tangannya yang hangat. Dia menunggu wanita yang dicintainya itu di ruang perawatan pasien VIP semalaman. "Murat, kau pasti kelelahan. Apa kita masih berada di Paris?" balas Emily dengan senyum lemahnya. Dia baru saja terbangun dari tidur lelapnya akibat efek samping pengobatannya. Sinar mentari pagi menyusup dari balik tirai putih tipis yang menutupi jendela kamar itu. Emily menduga-duga bahwa hari telah pagi atau mungkin menuju siang. Dia memikirkan persidangan kasus hukum ayah dan anak Crawford."Kita masih di Paris, Emily. Rencananya petang hari ini kita akan terbang bersama Letnan Ben dan Sersan Rodney kembali ke Chicago. Jadi kuatkan dirimu untuk perjalanan udara yang cukup jauh nanti!" jawab Murat memberi tahukan rencana mereka kepada Emily."Kau sebaiknya juga beristirahat yang cuk
Lampu blitz kamera wartawan menyerbu tanpa ampun sosok Jaksa Emily Rosalyn Carter yang melangkah menuju ke ruang persidangan kasus Crawford. Perekam suara dan microfon disodorkan ke wajah wanita yang memasang tampang dingin melenggang tanpa memedulikan hiruk pikuk tersebut."Semua peserta persidangan harap berdiri!" seru petugas ruang sidang ketika Yang Mulia Hakim Malcom memasuki ruangan yang penuh sesak pengunjung. Tiga ketokan palu di meja hakim memulai segala ketegangan yang telah dinantikan oleh sebagian besar warga negeri Paman Sam tersebut. "Silakan saksi dari pihak penuntut untuk dihadirkan dalam persidangan!" ujar Hakim Malcom.Petugas negara berseragam serba hitam mengantarkan saksi Brenda Lindsey Hewitt terlebih dahulu ke kursi saksi. Perempuan muda tersebut akan bersaksi untuk kasus pelecehan yang dilakukan Henry Crawford.Dengan langkah tegap Emily menghampiri bilik saksi lalu menyapa Brenda sebelum menanyakan pertanyaan penting yang akan memberatkan Henry Crawford. "Bre
"TOK TOK TOK." Suara berat palu hakim yang diketok ke kayu terdengar dan membuat seisi ruang sidang menjadi hening."Kita akan memulai untuk mendengarkan pernyataan saksi dari kasus pembunuhan beberapa korban yang didalangi oleh Mister Gordon Crawford!" ujar Hakim Malcom yang berperawakan kurus dengan rambut beruban menipis dan kaca mata berbingkai tebal. Beliau hanya perlu menyelesaikan setahun terakhirnya sebelum memasuki masa pensiun sebagai seorang hakim yang berdinas di Chicago, negara bagian Illinois.Maka Emily pun bangkit berdiri seraya berkata, "Kami memanggil saksi sekaligus tersangka kaki tangan Mister Gordon Crawford yaitu Louis Harison untuk duduk ke kursi saksi."Seorang pria berambut pirang yang tadinya adalah perwira madya kepolisian Chicago dan kini dicopot segala jabatan dan wewenangnya itu duduk di bilik saksi. Emily berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin yang tajam usai mendengarkan sumpah Louis Harison untuk memberikan kesaksian sejujurnya di pengadilan."Sir
"Damian, kurasa kita tak akan kesulitan untuk meraih vonis tak bersalah di persidangan mendatang!" ujar Senator Crawford yang sedang dinonaktifkan jabatannya di ruang kunjung tahanan sementara.Pengacara kepercayaannya, Damian Lockheart membenarkan ucapan congkak pria tersebut. Dia memang merasa posisinya di atas angin pasca kesaksian Brent dan Louis yang meringankan posisi kliennya tadi."Tak ada salahnya berharap tak akan ada lagi bukti atau saksi tambahan yang pihak jaksa penuntut umum dapatkan!" sahut Damian disertai kekehan senang.Kemudian Senator Crawford pun diam-diam menerima ponsel berukuran mini dari balik telapak tangan pengacaranya saat mereka bersalaman. "Thanks, Damian. Ini yang kubutuhkan. Kau boleh pergi sekarang!" ujar pria tersebut sebelum petugas polisi menjemputnya kembali ke sel tahanan sementara sebelum resmi menjadi narapidana di penjara negara bagian Illinois.Di sebuah bar berpencahayaan remang-remang, Douglas Archer sedang menikmati segelas bir Carlsberg sam
"Emily, bukti yang dikirim ke alamat emailmu ini sangat penting. Apakah kita bisa menggunakannya dengan keterangan anonim di persidangan?" ujar Murat dengan bimbang usai memeriksa file-file yang dilampirkan di email jaksa cantik itu.Sambil membaca ulang isi percakapan sang senator dengan seorang pria yang dipanggil Doug oleh Gordon Crawford tersebut, dia menyimpulkan sesuatu. "Murat, pria ini adalah pelaku pembunuh Cecilia Sommerhalder. Gambar tangkap layar ini pasti dibuat sendiri oleh pria tersebut," tutur Emily. Dia merasa harus mendiskusikan hal ini dengan Hakim Malcom dan Letnan Benjamin Roosevelt besok pagi."Sepertinya kau benar, Emily. Apa kau ingin membalas email ini dan meminta janji temu dengan pria itu?" tanya Murat dengan risau sembari menatap wajah lelah Emily di mana bayangan hitam nampak jelas di bawah sepasang mata indahnya yang berwarna hazel."Aku akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Letnan Ben dan Hakim Malcom. Kemungkinan besar bukti yang kuterima ini cukup
"Lepaskan aku! Hey, dengar—kalau kau masih ingin melenggang bebas di luar penjara, lebih baik jangan menggangguku lagi, Rayden!" ujar Emily dengan nada keras sambil meronta di dekapan Rayden Dabusche.Pria Perancis itu mengerutkan keningnya, penjara adalah kata sensitif yang membuat telinganya berdenging sebagai seorang kriminil. "Kenapa kau ingin memenjarakanku, Darling?" tanya Rayden penasaran.Emily yang terlepas dari belitan lengan kokoh pria itu pun mundur menjaga jarak darinya. Dia bersedekap dan tersenyum miring lalu berkata, "Kau pernah meninggalkan jejak kejahatanmu, informasimu bocor di internet. Aku beruntung mendapatkannya. Penyelundupan narkotika, senjata api, dan human traficking. Ckckck ... sungguh mengerikan, kau sampah menjijikan!" "Apa?! Dari mana kau mendapatkan informasi ngawur seperti itu, Emily? Berikan sumbernya kepadaku!" tuntut Rayden maju ingin meraih tangan wanita tersebut."No! Menjauh dariku, Penjahat Terkutuk!" desis Emily seolah dia najis disentuh oleh
Langkah-langkah kaki yang cepat itu terdengar di telinga Emily yang sedang membantu putera bungsunya mengenakan pakaian di kamar pangeran cilik tersebut."Darling, aku mencari-carimu sedari tadi!" ujar Sultan Murat berdiri di ambang pintu kamar putera kedua mereka."Ini kebiasaan rutinku di sore hari, memandikan putera-putera kita. Ada apa, Yang Mulia?" sahut Emily yang baru saja usai menyisir rambut Pangeran Fazil yang berusia 3 tahun di pangkuannya.Murat pun tersenyum memandangi putera-puteranya yang terawat dengan baik oleh istri tercintanya. Akan tetapi, dia membutuhkan Emily saja saat ini. Maka dia pun berkata, "Baiklah, aku yang kurang mengerti kebiasaanmu, Emily Sayang. Hmm ... ikutlah pergi berkereta bersamaku. Ini hari yang spesial untuk kita berdua. Titipkan anak-anak kepada pengasuh mereka!"Tawa geli meluncur dari bibir ranum berbelah milik Emily. Dia merasa curiga, suaminya akan mengajaknya bernostalgia penuh kemesraan bersamanya. "Siap, Yang Mulia. Keinginan Anda adalah
Seusai menanda tangani akte pernikahan bersama pria yang telah sah menjadi suaminya baru saja di balai kota, Emily berbicara empat mata dengan papanya."Pa, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jaksa wilayah di Illinois?" tanya Emily merasa bingung dengan segala perubahan statusnya yang mendadak serta rencana Murat yang akan membawanya ke Istanbul secepatnya. Lincoln Carter pun menjawab segala kegundahan hati puterinya, "Emily, papa akan memberimu nasihat. Terkait pekerjaanmu, ajukan pengunduran diri sesuai alasan terfaktual. Lembaga Kehakiman United States akan memaklumi alasan pengunduran dirimu yang terkesan mendadak ini.""Tapi, Pa—""Tidak ada kata tapi. Dengarkan papa, seorang pejuang yang baik saat dia mencapai puncak dari perjalanan panjang perjuangannya akan tahu kapan harus berhenti. Maka dari itu ada istilah gantung sarung tinju, hal itu pun sama untukmu, Emily. Biarlah kenangan baik tentangmu dan segala reputasi tak bercela sepanjang karir hukum yang kau torehkan akan dii
"Dokter, izinkan saya melihat Rayden untuk terakhir kalinya!" Emily meraih tangan Dokter Wilbur Anderson."Maaf, pesan beliau tadi seandainya tidak dapat bertahan hidup, Anda tidak diizinkan untuk melihat beliau lagi. Jenazah akan dikirim segera dengan pesawat ke Paris untuk dikebumikan. Mungkin Anda lebih baik pulang saja ke rumah, permisi!" jawab dokter poli IGD tersebut lalu membalikkan badan kembali ke tempat praktiknya.Lincoln Carter memeluk puterinya yang terisak-isak karena merasa sangat bersalah untuk segala keputusan tanpa hati yang dilakukannya semenjak awal undangan makan malam dari Rayden tiba di kantornya. "Emily Darling, lepaskan apa yang telah berlalu. Ingatlah kau harus tetap tenang demi janin yang hidup di rahimmu. Ibu yang stres dapat mengalami keguguran!" hibur mantan jaksa itu sembari membelai rambut panjang Emily."Kita pulang sekarang, Pa. Bolehkah aku mengambil cuti besok pagi?" ujar Emily seraya membersit hidungnya yang buntu oleh ingus."Tentu saja boleh. Kam
"Miss Emily Carter, tolong datang ke poli IGD Rumah Sakit Umum Chicago. Pasien kecelakaan lalu lintas bernama Tuan Rayden Zinedine Dabusche membutuhkan kehadiran Anda segera. Kami menunggu kehadiran Anda!" tutur seorang wanita yang mengaku sebagai perawat jaga rumah sakit yang menerima korban tabrakan mobil mengenaskan malam ini.Mendengar permintaan wanita tak dikenal di telepon itu, Emily ragu untuk datang ke rumah sakit yang disebutkan. Namun, bila memang benar Rayden membutuhkan kehadirannya maka dia akan terbeban oleh perasaan bersalah bila menolak datang. "Baiklah, aku akan datang segera!" putus Emily mengikuti dorongan hati nuraninya. Dia berganti pakaian untuk pergi keluar rumah lalu membangunkan papanya untuk menemani dirinya ke rumah sakit.Lincoln Carter yang dibangunkan tengah malam buta oleh puterinya tidak banyak bertanya. Dia memilih untuk melihat situasi gawat apa yang tengah terjadi? Sementara naik taksi yang selalu stand by di depan apartment, Emily menjelaskan tent
Ketika Murat selesai membaca email dari Emily yang mengabarkan bahwa wanita tersebut tengah hamil 6 bulan, dia merasa gelisah. Sang sultan baru negeri Ottoman ingin memboyong kekasihnya ke istana. Namun, pemerintahannya masih dilanda rendahnya tingkat kepercayaan kepada pimpinan dirinya. Kudeta demi kudeta harus dihadapi olehnya. Ancaman pembunuhan terhadap Murat dari kubu oposisi mengintai di setiap sudut istana. Beruntungnya karena Jendral Hersek dan para petinggi militer mendukung penuh pemerintahan Murat. Jaring pengaman diperketat demi menjaga keselamatan nyawa sang sultan baru.Di ujung fajar yang merekah, Murat berdiri di balkon kamar istana yang ada di lantai 3. Pemandangan laut lepas dengan ratusan kapal terapung di semenanjung terbentang di hadapannya. Kekuasaan atas seluruh Turki ada di genggaman tangannya. Sultan muda itu menghela napas panjang sembari mencengkeram besi susuran balkon, dia berteriak kencang melampiaskan rasa tertekannya. "Emily, aku merindukanmu. Aku jug
Emily menjalani kehamilannya ditemani oleh ayah tercintanya, mantan jaksa Lincoln Carter di Chicago. Pria berumur itu yang menemani puteri tunggalnya ke mana-mana, beliau juga membantu Emily memeriksa berkas kasus yang akan disidangkan agar tidak kelelahan bekerja. Alasannya adalah dia masih bisa melakukan pekerjaan jaksa dan menganggur saat ini."Jadi kapan persidangan kasus Harvey Robinson disidangkan perdana, Emily?" tanya Lincoln Carter yang duduk bersebelahan di mobil dinas bersama puterinya. Mereka akan berangkat kerja ke balai kota Chicago pagi ini.Emily yang tadinya duduk melamunkan Murat sambil menatap sisi jalan yang dilalui mobil dinasnya lalu menoleh ke arah ayahnya, dia menjawab, "Lusa persidangan perdana kasus pembunuhan wanita prostitusi itu akan digelar. Hakim Louis Bernard Miller yang akan memimpin sidang, Pa.""Ohh, hakim muda itu. Dia pernah ingin melamarmu dulu sekitar lima tahun silam, tetapi Papa menolaknya karena tahu kamu sedang fokus mengejar kariermu sebagai
"Ismael Pasha akan tetap menjalankan fungsi sebagai koordinator pemerintahan sesuai yuridiksi kesultanan. Saya sebagai calon pewaris tahta kesultanan Turki akan menjadi kepala negara sebagai sultan," terang Murat saat berada di ruang rapat istana sultan. Di tengah ruangan, kursi singgasana dibiarkan tetap kosong karena tak ada yang dilantik sebagai pengganti sultan sebelumnya. Semua petinggi kesultanan berdiskusi dengan posisi duduk saling berhadapan. Dan Murat duduk di kursi seberang Ismael Pasha.Pria berjanggut kelabu keperakan dengan kepala botak itu menjawab Murat, "Saya hanya bawahan Anda juga, Pangeran. Jangan menjadikan saya sebagai penghalang untuk naik tahta. Anda mendapatkan kesetiaan penuh dari saya!"Sekalipun jawaban Ismael Pasha menyiratkan persetujuan dan dukungan untuk Murat. Namun, sang pangeran tetap waspada. Kedatangannya di hari pertama langsung mendapat sambutan hujan anak panah tajam. Itu artinya ada pihak yang merasa terancam dengan kehadirannya kembali di ist
Ketika taksi yang ditumpangi oleh Emily berhenti di tepi trotoar, dia pun membayar tarif sesuai argo dan membiarkan sisa kembaliannya sebagai tip untuk sopir taksi. Dengan segera Emily turun dan menutup kembali pintu taksi. Namun, dia tak menduga bahwa pria Perancis yang terobsesi kepadanya itu menguntitnya sedari tadi.Kedua lengan Rayden menangkap perut Emily dari belakang. Dan wanita itu berteriak sembari meronta, "LEPASKAN AKU, RAYDEN!" Namun, telapak tangan Rayden segera membekap mulut Emily."Melepaskanmu? Ohh ... jangan harap, aku sangat mencintaimu hingga nyaris gila, Emily. Cinta ini selalu kau pandang sebelah mata dan kau abaikan begitu saja! Kini setelah pria Turki brengsek itu pergi menjauh, waktunya kita rujuk kembali sebagai sepasang kekasih yang mesra seperti dulu!" tolak Rayden sambil mengangkat tubuh Emily hingga menggantung tak menapak ke tanah."Tolong ... tolong ... lepaskan aku!" jerit Emily sekuat tenaganya sebelum Rayden memasukkannya ke mobil. Sersan Rodney ya
Sementara Murat merunduk di sekelilingnya para prajurit serta petinggi militer melindunginya dari hujan anak panah. Dia beruntung karena serangan mendadak itu gagal. Dia menduga para teroris itu yang kemungkinan besar adalah suruhan pihak yang tak menghendaki kepulangannya ke Turki."Situasinya sudah aman, Pangeran Murat. Mari kita masuk ke paviliun untuk menemui kakek Anda," ajak Jenderal Hersek dengan wajah dicekam rasa panik.Maka Murat pun segera bergegas masuk ke kediaman kakeknya Zaganos. Namun, yang pertama dia temui justru sang nenek di ruang tamu bagian depan Paviliun Taman Narwastu. "Cucuku, selamat datang kembali ke rumahmu!" seru Freya Bey. Dengan penuh kerinduan dia memeluk erat Murat yang bertubuh jangkung dan lebih tinggi darinya."Nenek, maafkan aku yang begitu lama meninggalkan istana. Apa kabar Nenek dan kakek baik-baik saja?" ujar Murat memeriksa keadaan neneknya dari ujung kepala hingga kaki. "Segalanya baik, hanya saja usia kami makin senja. Beruntung sebelum me