Ketika Sondang dan Friska tiba di gereja pagi itu, Idris sudah lebih dahulu sampai di sana. Dia duduk di samping Andi,. Andi duduk di samping Tito, dan Tito duduk di samping Justin. Iya, Justin… Sondang ingin pindah ke sekolah minggu saja rasanya, menunggui kedua keponakannya. Dia merasa gemetar jika harus duduk di bangku di depan Idris dan Justin. Sebab dia yakin, kedua lelaki itu pasti akan memperhatikannya. Tapi Friska yang tak tahu kegalauan hatinya, langsung dengan riangnya duduk di bangku persis di depan Idris, dan langsung membalikkan badannya menghadap Idris sembari berkata: “Hallo, Bang..” Padahal ke Andi, dia cuma tersenyum lebar saja. Terlihat senyum melebar di wajah Idris, menyambut keceriaan Friska. Dengan jelas, Idris bisa melihat wajah Sondang yang begitu dirindukannya. Terlihat muram, tanpa kebahagiaan yang diingatnya, saat terakhir kali mereka bertemu. Padahal dia memakai baju pink berenda yang manis sekali, yang semestinya cocok dengan wajahnya ketika sedang ri
Sekitar 1 jam kemudian, mereka berempat sudah duduk lesehan di sebuah rumah makan bernuansa alam di pinggiran kota.Andi sudah langsung memilih duduk di samping Friska, sehingga Sondang harus duduk bersisian dengan Idris. Tapi ini memang posisi terbaik, membuat Sondang terhindar dari posisi berhadap-hadapan dengan Idris. Kalau bersebelahan begini, dia tak perlu sibuk membuang pandang ke sana ke mari, hanya untuk menghindar dari ‘kejaran’ tatapan mata Idris.“Mau makan apa, Ndang?” tanya Idris padanya, sambil menggeser buku menu ke arah Sondang. Sondang yang sejak tadi pagi sudah merasa ‘panas dingin’, menggeser balik buku tersebut kepada Idris.“Abang saja yang memilih,” katanya pelan, tanpa melihat ke arah Idris.Di depan mereka, Andi dan Friska nampak akur melihat ke pada menu-menu yang ditawarkan. Mereka duduk rapat, dan sesekali kepala mereka terlihat bersentuhan, saat Friska menunjuk menu-menu yang ada, dan Andi mengomentarinya. Kontras sekali posisi mereka, dengan Sondang yang
Setelah rasa terkejutnya hilang, Friska berbicara dengan ‘histeris’ kepada Sondang.“Ndang, kamu gila banget, ya? Astaga, astaga.. Benar-benar nggak percaya aku, Ndang.. Gila, pintar banget kamu menutupi ini dari aku.. Ya, ampunn…”Wajah Sondang entah sudah semerah apa. Dia hanya merasa tubuhnya begitu panas.Andi yang duduk di depan Idris, akhirnya tertawa terbahak sesaat setelah mendengar pengakuan Idris.“Wah, akhirnya berhasil juga ya, Bang?” katanya girang. Idris tersenyum saja.Mendengar ucapan Andi, Friska akhirnya melihat padanya dengan pandangan menyelidik. Andi masih tersenyum-senyum senang sambil melihat pada Idris.“Kamu tahu, Ndi?” tanyanya heran.Andi mengangguk kepada Friska. Friska menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban Andi. Dengan gemas dicubitnya tangan Andi.“Kok, kamu enggak pernah cerita, sih?! Ih, kamu nyebelin banget!”Andi mengaduh sambil tertawa.“Kenapa jadi aku yang salah? Kamu yang akrab dengan Sondang, mestinya kamu dapat cerita dari dia.”Friska
Begitu suara mobil Bang Sihol terdengar memasuki halaman, Sondang merasa sedang menunggu badai. Dia mempersiapkan diri, menghadapi panggilan yang mungkin sebentar lagi akan datang. Dengan hati bergemuruh, dia menanti siapapun mengetuk pintu kamarnya, untuk memintanya menghadap Mama. Setengah jam, satu jam, dan sampai jam 8 malam… Tak ada suara orang melangkah naik. Suara televisi juga tak terdengar dari bawah, tanda Mama tak sedang menonton sinetron. Ketika jam menunjuk ke angka 9, Sondang merasa pasti, bahwa dia tak akan ‘diadili’ malam ini. Di hatinya, rasa lega karena penundaan yang terjadi, bercampur dengan rasa cemas, pada apa yang mungkin akan dihadapinya besok. ‘Ndang, aku sudah sampai, ya.’ pesan dari Idris tiba di layar teleponnya. Hanya kalimat seperti itu, sudah membuat Sondang merasa senang. Seperti sebuah tanda yang mengingatkan, bahwa dia sudah ‘terhubung kembali’ dengan Idris. 'Mama marahkah?’ Dia bahkan belum membalas apapun, Idris sudah mengirim pesan baru. ‘Be
Pantai Payangan.Dari atas bukit rumput, Sondang berdiri memandang ke bawah: hamparan air berwarna biru yang berkilau di bawah matahari, dengan buih-buih putih di tepiannya. Kapal-kapal nelayan berbagai warna, terlihat lincah menari dan melayang dengan samudra sebagai panggungnya.Tengadah ke atas, matanya bertemu dengan langit yang halus tergelar dalam warna biru yang lebih cerah. Dia melihat bahwa sejauh apapun jarak antara langit dan laut, mereka pada akhirnya bertemu, pada satu titik di ujung sana.Bagai didengarnya langit berbisik kepada awan putih dan bukit-bukit kecil di bawahnya, bertutur tentang betapa ajaibnya dia telah dicipta. Dia takjub pada angin yang dengan lembut menyampaikan kisah yang didengarnya tersebut, kepada rumput, dan kepada pohon-pohon yang jauh. Semuanya bercerita, hampir-hampir tanpa suara. Dada Sondang terasa sesak oleh rasa kagum. Air matanya menetes untuk mengalirkan rasa takjub yang meluap, yang membuat dia bagai kesulitan bernafas. Di tempat seindah
Sendirian saja, dalam perjalanan menuju rumah Sondang, pertanyaan demi pertanyaan datang ke benak Idris: ‘Apakah ini akan menjadi kunjungannya yang terakhir? Jika orang tua Sondang tetap tak setuju, apakah dia akan tetap bersikeras mengharapkan Sondang memilihnya, dan meninggalkan keluarganya?' Idris tertawa miris memikirkan hal tersebut, sambil sesekali matanya menatap ke jalan raya, dan juga ke arah mobil di depannya, di mana Sondang duduk bersama keluarganya. Idris adalah seseorang yang tak memiliki keluarga! Sangat sedih rasanya, karena ia tak punya orang-orang yang mengharapkan dan menyambutnya pulang. Terutama ketika hari begitu berat, dan membuat pikiran begitu penat. Sekarang, jika mereka tak mendapat restu, pantaskah jika Idris membuat Sondang yang memiliki keluarga itu, malah ‘kehilangan’ keluarganya karena dia? Apakah Idris akan membawa Sondang merasakan kesedihan yang sama, seperti yang ditanggung oleh Idris selama ini? Dalam benaknya, Idris memang ingin supaya Sondang m
“Idris, kamu sudah tahu bahwa aku menginginkan Sondang menikah dengan orang Batak..” ucapan Mama Sondang terdengar jelas dan tegas. Idris seperti beku saat mendengar kalimat itu. Terputus, tapi sangat jelas maksudnya. “Karena itu, aku sangat marah, ketika tahu bahwa diam-diam, ternyata kamu dan Sondang berhubungan. Sondang bahkan berani melawanku karena kamu, dan itu membuatku sakit hati. Apalagi Abangnya ternyata juga mendukung kalian di belakangku.” Mama Sondang menarik nafas setelah mengucapkan kalimat itu. Terasa bahwa sampai saat ini, dia masih merasa sedih. Idris merasa sebentar lagi, dia akan menghadapi hal yang buruk. “Aku tahu, bahwa Anakku Sihol mendukungmu, karena sifatmu yang baik. Akupun melihat bahwa sifatmu memang baik. Masalahnya hanya satu, kamu bukan orang Batak..” Idris terpaku dengan lesu. Jadi sudah jelas akhirnya bukan? Dia ditolak, meski tanpa kata-kata sinis dan merendahkan seperti yang pernah diterimanya dulu. Benaknya membayangkan jalan sunyi yang haru
Tak ada yang tahu, bahwa titik balik dari perubahan sikap Mama, terjadi pada hari setelah Mama terjaga dari komanya.Dari tempatnya berbaring, dia melihat Sondang dan Sihol yang bergantian menjaganya sepanjang hari. Sondang tertidur lelah di tepi ranjang rumah sakit, dengan kepala telungkup di sisi samping tempat tidurnya. Sihol menyuapinya makan, dengan hati-hati memapahnya ke toilet, dan juga membantunya menyikat gigi. Dengan sabar, kedua anaknya itu, yang selama beberapa hari telah membuatnya sakit hati, merawatnya dengan penuh kasih. Tak nampak kemarahan dari mereka berdua, untuk membalas sikap Mama yang sudah mendiamkan mereka.Pikirannya yang sebelumnya dipenuhi amarah, akhirnya merasa tersentuh melihat kasih sayang yang ditunjukkan oleh kedua anak dan menantunya. Dia mulai menyadari, bahwa anak-anaknya sebenarnya tak membencinya. Mereka hanya sedang berbeda pendapat.Saat diam-diam mengamati Sondang yang terlihat murung di rumah sakit, Mama yang sudah pernah berada di ‘tepian k
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka