Pantai Payangan.Dari atas bukit rumput, Sondang berdiri memandang ke bawah: hamparan air berwarna biru yang berkilau di bawah matahari, dengan buih-buih putih di tepiannya. Kapal-kapal nelayan berbagai warna, terlihat lincah menari dan melayang dengan samudra sebagai panggungnya.Tengadah ke atas, matanya bertemu dengan langit yang halus tergelar dalam warna biru yang lebih cerah. Dia melihat bahwa sejauh apapun jarak antara langit dan laut, mereka pada akhirnya bertemu, pada satu titik di ujung sana.Bagai didengarnya langit berbisik kepada awan putih dan bukit-bukit kecil di bawahnya, bertutur tentang betapa ajaibnya dia telah dicipta. Dia takjub pada angin yang dengan lembut menyampaikan kisah yang didengarnya tersebut, kepada rumput, dan kepada pohon-pohon yang jauh. Semuanya bercerita, hampir-hampir tanpa suara. Dada Sondang terasa sesak oleh rasa kagum. Air matanya menetes untuk mengalirkan rasa takjub yang meluap, yang membuat dia bagai kesulitan bernafas. Di tempat seindah
Sendirian saja, dalam perjalanan menuju rumah Sondang, pertanyaan demi pertanyaan datang ke benak Idris: ‘Apakah ini akan menjadi kunjungannya yang terakhir? Jika orang tua Sondang tetap tak setuju, apakah dia akan tetap bersikeras mengharapkan Sondang memilihnya, dan meninggalkan keluarganya?' Idris tertawa miris memikirkan hal tersebut, sambil sesekali matanya menatap ke jalan raya, dan juga ke arah mobil di depannya, di mana Sondang duduk bersama keluarganya. Idris adalah seseorang yang tak memiliki keluarga! Sangat sedih rasanya, karena ia tak punya orang-orang yang mengharapkan dan menyambutnya pulang. Terutama ketika hari begitu berat, dan membuat pikiran begitu penat. Sekarang, jika mereka tak mendapat restu, pantaskah jika Idris membuat Sondang yang memiliki keluarga itu, malah ‘kehilangan’ keluarganya karena dia? Apakah Idris akan membawa Sondang merasakan kesedihan yang sama, seperti yang ditanggung oleh Idris selama ini? Dalam benaknya, Idris memang ingin supaya Sondang m
“Idris, kamu sudah tahu bahwa aku menginginkan Sondang menikah dengan orang Batak..” ucapan Mama Sondang terdengar jelas dan tegas. Idris seperti beku saat mendengar kalimat itu. Terputus, tapi sangat jelas maksudnya. “Karena itu, aku sangat marah, ketika tahu bahwa diam-diam, ternyata kamu dan Sondang berhubungan. Sondang bahkan berani melawanku karena kamu, dan itu membuatku sakit hati. Apalagi Abangnya ternyata juga mendukung kalian di belakangku.” Mama Sondang menarik nafas setelah mengucapkan kalimat itu. Terasa bahwa sampai saat ini, dia masih merasa sedih. Idris merasa sebentar lagi, dia akan menghadapi hal yang buruk. “Aku tahu, bahwa Anakku Sihol mendukungmu, karena sifatmu yang baik. Akupun melihat bahwa sifatmu memang baik. Masalahnya hanya satu, kamu bukan orang Batak..” Idris terpaku dengan lesu. Jadi sudah jelas akhirnya bukan? Dia ditolak, meski tanpa kata-kata sinis dan merendahkan seperti yang pernah diterimanya dulu. Benaknya membayangkan jalan sunyi yang haru
Tak ada yang tahu, bahwa titik balik dari perubahan sikap Mama, terjadi pada hari setelah Mama terjaga dari komanya.Dari tempatnya berbaring, dia melihat Sondang dan Sihol yang bergantian menjaganya sepanjang hari. Sondang tertidur lelah di tepi ranjang rumah sakit, dengan kepala telungkup di sisi samping tempat tidurnya. Sihol menyuapinya makan, dengan hati-hati memapahnya ke toilet, dan juga membantunya menyikat gigi. Dengan sabar, kedua anaknya itu, yang selama beberapa hari telah membuatnya sakit hati, merawatnya dengan penuh kasih. Tak nampak kemarahan dari mereka berdua, untuk membalas sikap Mama yang sudah mendiamkan mereka.Pikirannya yang sebelumnya dipenuhi amarah, akhirnya merasa tersentuh melihat kasih sayang yang ditunjukkan oleh kedua anak dan menantunya. Dia mulai menyadari, bahwa anak-anaknya sebenarnya tak membencinya. Mereka hanya sedang berbeda pendapat.Saat diam-diam mengamati Sondang yang terlihat murung di rumah sakit, Mama yang sudah pernah berada di ‘tepian k
“Ito, kudengar dari Bapak si Kembar, kau sempat marah besar sama dia dan si Sondang, ya?” tanya Tulang Tarutung membuka percakapan di siang itu. Hanya mereka bertiga dan si Kembar yang ada di rumah. Yang lainnya sedang berada di tempat bekerjanya masing-masing.Anggukan saja yang nampak sebagai tanda jawaban dari Mama Sondang terhadap pertanyaan Abangnya.“Tapi kulihat, sudah saling bicara kalian sekarang. Apakah semua masalahnya sudah selesai?” Tulang menyambung pertanyaannya.Hening sejenak, Mama Sondang terlihat sedang mencari jawaban yang tepat.“Belum selesai, Ito. Sampai hari ini, kami masih belum ada mengobrol lagi tentang masalah itu.”Tulang mengangguk mengerti.“Terlalu berat nampaknya buatmu ya, Ito, menerima orang bukan Batak untuk menjadi menantumu?”Pertanyaan retoris yang membuat Mama terdiam.Siapapun di keluarga mereka, sudah tahu kisah tentang teman akrabnya, yang bunuh diri setelah mengalami KDRT oleh suaminya yang bukan orang Batak. Pengalaman itu membekas di benak
"Sedang apa, Ndang?" tanya Idris malam itu melalui layar telepon, 2 hari setelah Minggu siang yang menjadi 'titik baru' bagi hubungan mereka.Sondang mengangkat biola yang dia letakkan di atas tempat tidur, menunjukkannya kepada Idris. Dia baru saja selesai berlatih, ketika teleponnya berbunyi tadi. "Berarti Minggu besok, kamu latihan dengan Justin lagi, ya?" Sondang mendapati kekesalan dalam suara Idris saat mengatakan itu.Sondang memandang Idris dengan bingung. Apakah Idris masih cemburu juga pada Justin? Bukankah sudah jelas Sondang memilih dia, apa lagi yang perlu ditakutkan?"Apa Abang mau, supaya aku enggak main musik lagi dengan Justin?" tanya Sondang lembut. Dia ingin membuat hati Idris tenang, ingin membuat Idris tahu bahwa Sondang hanya mencintainya.Idris terdiam sejenak, menatap ke layar di depannya, memandang pada wajah Sondang yang menunggu jawabannya.Dia lalu menggeleng, dan kemudian tertawa kecil."Lihat, aku seperti anak SMP yang cemburu, ya?" katanya pada Sond
Tak dapat disangkal, permintaan Idris untuk bicara serius dengan Sondang di hari Minggu, membuat Sondang merasa tegang saat bertemu kembali dengan dia. Bukannya mengobrol dengan akrab, layaknya dua orang yang saling merindukan, Sondang malah duduk tegak mematung, saat berada di samping Idris. Pertanyaan Idris dijawabnya singkat semua, dan diapun tak berinisiatif untuk menciptakan obrolan di antara mereka. Sikapnya itu memang tidak membuat Idris jengkel. Dia malah tertawa, karena sudah hafal pada perilaku Sondang. Saat ini, perempuan itu pasti sedang ‘stress’ memikirkan ajakan Idris untuk mengobrol serius. “Ndang, cara dudukmu itu.., kayak sedang nonton film horror saja,” kata Idris sambil menowel lengan Sondang. Sondang meringis mendengar godaan yang dilontarkan Idris. Memang benar, sih.. Sejak semalam, di tengah kesenangan karena akan bertemu Idris, dia juga merasa panik. Hanya membayangkan apa yang hendak disampaikan Idris, sudah membuat perutnya terasa mulas. Perlahan, Sonda
Ketika ‘kesadarannya’ kembali, yang pertama bereaksi adalah punggungnya. Kehilangan daya untuk tegak, dia bersandar pasrah pada batang pohon di belakangnya. Badannya seperti Meriang, dan keringat dingin menetes di tepian telinganya. Pikirannya yang sejak tadi hening, sekarang berteriak memberitahu, ‘Kamu sedang dilamar!’ Meski Sondang sudah menduga, bahwa Idris akan mengajaknya menikah, namun mendengar langsung ‘lamaran’nya, tetap saja membuat dirinya tergoncang. Dalam imaginasi Sondang, Idris akan berbicara dengan kata-kata yang lebih formal, dan datar. Namun pada kenyataannya, Idris malah menyampaikannya seolah sedang bercerita saja. Bermenit-menit berlalu, tanpa ada jawaban dari Sondang. Idris melihat kepada Sondang, yang sejak tadi membalas semua kalimatnya dengan hening. Sondang bahkan bertingkah, seolah sedang sendirian saja duduk di sini. Tak sekalipun dia melihat kepada Idris. “Hoiii, awas kesambet..” kata Idris.. Dia memegang sebatang ranting panjang, dan menusukkannya le
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka