Wanita berjilbab yang memakai seragam kerja di restoran itu menoleh. Seketika Wildan terkejut setelah melihat siapa wanita yang bekerja sebagai pelayan restoran di mana ia akan makan siang. Bukan hanya Wildan saja yang terkejut, tetapi pelayan itu juga tak kalah terkejut.
***Sorot mata Wildan menyiratkan rasa amarah, bagaimana bisa seorang istri pengusaha bekerja sebagai pelayan restoran. Iya wanita berjilbab itu adalah Alina, istri Wildan. Jika orang tahu siapa Alina yang sebenarnya, mau ditaruh di mana wajah Wildan."Mas, itu bukannya Alina?" tanya Rena. Wildan hanya diam, matanya tak lepas dari sang istri.Sementara itu, Alina masih berdiri mematung, ia tidak menyangka jika suaminya akan datang ke resto di mana Alina bekerja. Alina berusaha untuk tetap bersikap tenang, hatinya memang sakit saat melihat suaminya sendiri makan berdua dengan seorang wanita, terlebih wanita itu tengah berbadan dua.Entah itu anak siapa, dan mereka memiliki hubungan apa. Alina terpaksa bekerja sebagai pelayan restoran karena suatu hal. Mungkin yang utama memang karena uang bulanan yang tidak sepadan. Wildan hanya memberinya dua juta, untuk kebutuhan pribadi dan dapur."Jadi ini yang kamu lakukan jika berada di luar, Mas. Kamu benar-benar tega," batin Alina. Sebisa mungkin ia bersikap biasa, bahkan tak peduli dengan suaminya yang bersama wanita lain. Meskipun hatinya terasa amat perih.Saat Alina hendak menghampiri suaminya untuk menanyakan ingin pesan apa. Tiba-tiba salah satu pengunjung lain memanggilnya, dengan terpaksa Alina memutuskan untuk melayani pelanggan tersebut. Sementara itu, Wildan memilih untuk pergi dari resto itu."Kita makan di tempat lain saja," ujar Wildan. Dengan terpaksa Rena mengikuti kemauan Wildan."Kamu nggak marah lihat Alina bekerja jadi pelayan restoran?" tanya Rena. Saat ini mereka sudah dalam perjalanan untuk ke resto lainnya."Kalau aku marah tadi, sama saja mempermalukan diri sendiri," jawab Wildan, ia berusaha untuk fokus menyetir."Alina, apa alasan kamu bekerja di resto itu. Apa uang yang aku kasih kurang, jika iya seharusnya kamu bilang, bukan seperti ini caranya," batin Wildan. Tak habis pikir jika Alina berani berbuat tanpa persetujuan darinya.Sesekali Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, ingin rasanya ia pulang dan bicara langsung dengan Alina. Apa alasannya bekerja sebagai pelayan restoran. Wildan akui, memang sudah hama setahun ini ia mengacuhkan istrinya, sementara akhir-akhir ini sikap Alina berubah.***Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, seperti biasa pukul lima sore Alina sudah berada di rumah. Sementara setengah enam Wildan pulang, dan kini waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Selepas shalat isya Alina memutuskan untuk menyiapkan makan malam."Alina kita perlu bicara." Wildan menarik tangan Alina dan membawanya menuju ruang tengah."Ada apa, Mas?" tanya Alina."Tolong jawab dengan jujur, untuk apa kamu bekerja sebagai pelayan di restoran itu?" tanya Wildan. Matanya menatap tajam pada wanita yang berada di hadapannya."Apa mungkin aku harus jujur," batin Alina."Alina." Wildan memegang tangan istrinya.Alina menghembuskan napasnya. "Aku bosan berada di rumah terus, Mas. Itu sebabnya aku cari kegiatan dengan bekerja di resto. Tapi kaku jangan khawatir, mereka tidak tahu kok kalau aku istri kamu."Wildan menyipitkan matanya. "Bosan berada di rumah terus, tapi bukan berarti kamu harus bekerja jadi pelayan."Alina menyeka sudut matanya yang sudah berembun. "Maaf, Mas. Kalau saja kita punya anak mungkin aku tidak akan melakukan ini."Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, ada rasa bersalah dalam hatinya. Terlebih mengingat tentang Rena, wanita yang kini sedang mengandung benihnya. Wildan menikahi Rena tanpa sepengetahuan Alina."Kita sudah berusaha, tapi mungkin belum waktunya," ucap Wildan."Kita juga sudah mencoba bayi tabung, tapi memang mungkin belum waktunya," lanjut Wildan."Aku takut kalau nanti kamu menikah lagi, Mas. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikan kamu keturunan," ungkap Alina. Mendengar itu, seketika Wildan bungkam."Oya, wanita yang bersamamu tadi siapa, Mas?" tanya Alina."Oh, itu. Dia Rena, temen sekolah aku dulu," jawab Wildan dengan gugup. Sementara Alina hanya mengangguk."Aku minta besok kamu berhenti bekerja, sekarang memang mereka tidak tahu. Tapi suatu saat rahasia pasti akan terbongkar, jadi aku minta kamu berhentilah bekerja di resto itu," pinta Wildan. Ia tidak ingin jika orang-orang tahu, kalau Alina adalah istrinya."Tapi, Mas .... ""Tidak ada tapi-tapian, mengerti." Wildan memotong ucapan istrinya, setelah itu ia bangkit dari duduknya dan beranjak naik ke lantai atas.Setibanya di lantai atas, Wildan bergegas masuk ke dalam kamar. Pria berkaos putih itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Namun tiba-tiba mata Wildan menangkap segumpal rambut di lantai."Rambut siapa ini," gumamnya."Apa mungkin rambut Alina yang rontok, tapi kenapa sebanyak ini," gumamnya lagi. Menurut Wildan sangat tidak wajar."Apa mungkin rambut Alina yang rontok, tapi kenapa sebanyak ini," gumamnya lagi. Menurut Wildan sangat tidak wajar. ***Selepas mencuci wajahnya, Wildan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia cukup terkejut saat melihat jika istrinya sudah berada di kamar, terlihat jika Alina sedang mengambil pakaian kotor miliknya, dan menaruhnya ke dalam keranjang tempat pakaian kotor. "Alina, itu di kamar mandi kenapa banyak rambut di lantai. Apa rambut kamu rontok?" tanya Wildan. Ia dapat melihat gelagat aneh dari istrinya itu. "Oh iya, Mas. Itu rambut aku yang rontok," jawab Alina. Sebisa mungkin ia bersikap biasa, agar tidak menimbulkan rasa curiga. "Rambut kamu rontok sebanyak itu, kok bisa." Wildan menatap mata istrinya, ia berusaha mencari kebenaran melalui sorot mata istrinya itu. "Iya, Mas. Aku salah pakai vitamin rambut, oya makan malamnya sudah siap," ujar Alina. "Iya, kamu turun saja dulu nanti aku nyusul," sahut Wildan. "Iya, Mas." Alina mengangguk, setelah itu ia bergegas keluar d
Tidak butuh waktu lama, pemeriksaan selesai, setelah itu keduanya beranjak meninggalkan ruang pemeriksaan. Saat hendak menebus obat, Wildan dan Rena tidak sengaja berpapasan dengan seorang wanita berjilbab. Sontak keduanya terkejut, dan seketika mereka menghentikan langkahnya. ***"Mas Wildan," gumam Alina. Ia tidak menyangka kalau akan bertemu di saat yang tidak tepat. "Alina, kamu ... kamu ngapain di sini." Wildan nampak gugup, bahkan wajahnya sudah pucat pasi. Alina menatap suami serta Rena secara bergantian. "Aku mau jenguk teman, Mas sendiri ngapain di sini.""Aku .... ""Habis nemenin aku periksa kehamilan, memangnya kenapa." Rena memotong ucapan Wildan. Seketika pria berkemeja putih itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Alina aku .... ""Duluan ya, Mas. Bicara di rumah saja nanti." Alina memotong ucapan suaminya, setelah itu ia memilih untuk beranjak pergi meninggalkan mereka."Rena maksud kamu apa bicara seperti itu." Wildan menatap tajam wanita yang berdiri di
"Sayang baju aku di .... " Wildan menggantung ucapannya saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapan Rena. Mendadak lidahnya terasa kelu, Wildan tidak tahu harus berkata apa. ***Suasana masih hening, terlihat raut wajah panik antara Rena dan juga Wildan. Tetapi tidak dengan Alina, wanita berjilbab itu terlihat tenang. Meski hatinya sejujurnya hancur, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. "Alina." Wildan meraih tangan Alina, tetapi dengan lembut Alina melepasnya. "Mas aku ke sini untuk mengantar ini." Alina menyodorkan botol kecil yang berisi vitamin milik suaminya. Setiap akan tidur selalu Wildan minum. "Terima kasih." Wildan menerima botol kecil itu. "Kalau begitu aku pamit ya, maaf udah ganggu," ucap Alina. "Assalamu'alaikum.""Alina tunggu." Wildan mencekal pergelangan tangan istrinya itu. "Ada apa, Mas. Ini sudah malam, lebih baik sekarang kamu istirahat saja, agar besok tidak kesiangan." Alina melepas cekalan suaminya, setelah itu ia memilih untuk pulang. Alina sudah ikh
"Ya Allah perut aku," ucap Alina, rasa sakit di perut bagian bawah semakin kuat. ***Kini Wildan dan Rena sudah berada di rumah sakit, bahkan Erika, ibunda Wildan juga sudah ada di sana. Setibanya di rumah sakit, Rena langsung mendapatkan penanganan, tapi sayang. Rena tidak bisa melahirkan secara normal, tapi harus operasi. Setelah Wildan mengurus semuanya, kini operasi sedang berlangsung. Sementara Wildan dan ibunya tengah menunggu di depan ruangan operasi. Erika terus berdo'a agar operasi berjalan dengan lancar, lalu anak yang Rena lahirkan berjenis kelamin laki-laki, untuk bisa menjadi pewaris ayahnya kelak. "Alina, maafkan aku, aku janji setelah operasi selesai. Aku akan pulang menemui kamu dan menjelaskan semua ini," batin Wildan. Hatinya benar-benar tidak tenang, bayangan Alina terus berputar di benaknya. "Wildan kamu kenapa sih kaya orang bingung begitu. Kamu tidak perlu khawatir, operasinya pasti berjalan lancar," ucap Erika. "Iya, Bu. Aku kepikiran dengan Alina saja, soa
Sementara itu, Wildan masih berdiri mematung dengan berbagai pertanyaan. Untuk apa Alina menyuruh mang Asep mengantarkan koper miliknya. Apa mungkin Alina mengusir dirinya dari rumah itu, karena rumah yang mereka tinggali, atas nama Alina. ***"Maksud Alina apa, kenapa dia ... apa jangan-jangan Alina meminta cerai," gumamnya. Setelah itu, Wildan menaruh kopernya ke dalam, lalu ia bergegas keluar. Wildan berniat untuk ke rumah menemui Alina, sekaligus meminta penjelasan darinya. Karena sampai kapanpun Wildan tidak akan pernah rela berpisah dengan Alina. "Alina, sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu." Wildan membatin. Saat ini ia dalam perjalanan pulang. Dalam perjalanan pikiran Wildan benar-benar tidak tenang. Ini memang salahnya, selama tiga hari Wildan tidak pulang, karena memang Rena tidak mengizinkannya. Wildan pikir Alina akan mengerti, tetapi ternyata dugaannya meleset. "Alina, maafkan aku. Maaf karena sudah membuat kamu marah, membuat kamu kecewa," batin Wil
Jika rahim Alina diangkat, itu artinya Alina tidak punya kesempatan untuk hamil. Wildan tidak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini, apa ini yang membuat istrinya itu berubah. Apa ini arti diam yang Alina lakukan, diam yang pada akhirnya membuat luka. ***Alina menyeka air matanya yang sempat menetes, setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju laci untuk mengambil map berwarna merah yang sebelumnya sudah Alina siapkan. Setelah itu Alina berjalan menghampiri Wildan, lalu duduk di sebelahnya. "Mas aku boleh minta tanda tangan kamu," ucap Alina. "Tanda tangan? Tanda tangan apa?" tanya Wildan. "Aku mau nyumbangin sebagian harta kita ke panti asuhan, Mas. Bukan itu saja, aku juga berniat menyumbangkan tanah kosong kita, agar dibangun sekolah untuk anak-anak yang menderita disabilitas, Mas." Alina menjelaskan. Wildan terdiam sejenak. "Ok, di mana aku harus tanda tangan.""Di sini, Mas." Alina menyodorkan map tersebut. Tanpa membacanya terlebih dahulu, Wildan langsung menanda tang
"Maaf ya, Mas. Tapi aku tidak rela jika harta yang kamu miliki jatuh semua ke tangan Rena. Aku yang menemani kamu mulai dari nol, jadi aku yang lebih berhak. Jika Rena ingin hidup bersama kamu, dia juga harus memulai dari nol juga, sama sepertiku dulu." Alina memotong ucapan suaminya. Seketika Rena terkejut mendengar hal tersebut. ***Suasana mendadak hening, Rena benar-benar tidak menyangka jika semua harta kekayaan Wildan sudah berpindah ke tangan Alina. Rena juga tidak menyangka kalau Alina ternyata juga licik. Ia pikir jika Alina hanya wanita lemah yang mudah untuk dibodohi. Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku tidak menyangka kalau kamu setega itu.""Apa aku tidak salah dengar, bukankah kamu yang lebih tega, Mas." Alina menatap pria yang sudah lima tahun bersamanya. "Kamu licik, bisa-bisanya kamu mengambil semua harta milik, Mas Wildan. Apa kamu tidak sadar, aku berhasil melahirkan seorang putra yang nantinya akan menjadi pewaris ayahnya. Tapi dengan licik kamu mengambi
"Aku tidak takut dengan tantangan kamu itu." Wildan menatap tajam pada wanita yang duduk di hadapannya itu. Suasana benar-benar tegang, bukan hanya Erika dan Wildan yang kecewa, tetapi juga dengan Rena. Kecewa dan kesal telah berubah menjadi satu. ***"Dikasih pilihan yang enak kok nggak mau," ucap Erika dengan sinis. Sementara Alina hanya tersenyum, sejak dulu ibu mertuanya memang seperti itu. "Rena, Bu lebih baik kita pulang saja, karena percuma bicara dengan perempuan keras kepala seperti dia," ucap Wildan. Setelah itu mereka bertiga segera berpamitan, tatapan sinis dari mereka kembali Alina dapatkan. Bahkan mungkin sekarang mereka bertambah benci terhadap Alina atas masalah tersebut. Namun bagi Alina itu tidak menjadi masalah. "Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah," gumamnya. Setelah itu Alina beranjak masuk ke dalam kamarnya. Setibanya di kamar, Alina meletakkan tasnya setelah itu ia berjalan menuju lemari untuk mengambil berkas penting yang akan ia jadikan satu. Alina jug
"Syukurlah, mudah-mudahan ini awal yang baik," gumamnya. Amara ikut bahagia melihat mantan ibu mertua dan suami yang kini sudah berbaikan. ***Tidak terasa lima tahun telah berlalu, kini Asha tumbuh menjadi anak yang cantik dan juga cerdas, tak beda dengan Nafisa. Sementara Iqbal juga semakin dewasa, bahkan kini Iqbal tengah melanjutkan kuliahnya di Jakarta, awalnya di Bandung, tetapi Adam memintanya untuk pindah ke Jakarta. Iqbal mengambil fakultas kedokteran, karena memang cita-citanya ingin menjadi dokter. Lima tahun lebih Alina membina rumah tangga bersama dengan Adam. Perbedaan usia tak menjadi masalah, justru Alina merasa lebih nyaman jika bersanding dengan suaminya yang sekarang. "Sayang dasinya di mana," teriak Adam dari dalam kamar. "Masih di laci, Mas." Alina pun ikut berteriak. Saat ini wanita berjilbab itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. "Sayang nggak ketemu." Adam kembali beteriak, hal itu membuat Alina menghela napas. "Sayang sebentar ya, bunda ke atas dulu,"
"Iya, mas Wildan mengira jika ibu adalah kamu," ucap Amara. Sejak saat itu, ibu mertuanya trauma dan memilih untuk mengurung diri di kamar.***Sejak pulang dari rumah Wildan, Arina sering melamun, jujur Alina merasa kasihan melihat mantan suaminya itu. Sejahat apapun Wildan, tetapi pria itu pernah menjadi bagian dari hifup Alina. Pernah menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya dulu. "Sayang kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, apa yang kamu pikirkan." Adam duduk di sebelah istrinya. Alina menghela napas. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma masih kepikiran tentang ... keadaan mas Wildan yang sekarang. Maaf, Mas aku nggak bermaksud untuk .... ""Iya, nggak apa-apa, aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Bagaimanapun juga, kalian pernah hidup bersama, kamu do'akan saja semoga Wildan bisa sembuh seperti dulu." Adam memotong ucapan istrinya, lalu merengkuhnya. "Mas, Nafisa di mana?" tanya Alina. "Masih di rumah mama, memangnya kenapa." Adam balik bertanya. "Memangnya belum pulang ya, kok tad
"Janji kamu untuk menikahi Sindy," jawab Mila, seketika Alina terkejut mendengar hal itu. Bukan hanya Alina, Adam pun demikian. ***Suasana menjadi tegang, khawatir terjadi kesalah pahaman terhadap sang istri. Adam berjalan mendekati Alina. Adam tidak pernah merasa berjanji untuk menikahi Sindy, adik kandung Winda mendiang istrinya. Namun kenapa tiba-tiba mereka datang dan menagih janji. "Maaf, tapi aku tidak pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," ucap Adam. "Adam, mbak itu nggak lupa, kalau kamu pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," kekehnya. Mila tetap bersikeras untuk meminta agar Adam menikah dengan Sindy. Adam menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak. Kalau, Embak tidak percaya, kita tanya langsung ke mama sama papa!" tegasnya. Adam tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba kakak iparnya datang dan bicara omong kosong seperti itu. "Apa alasan kamu, tidak mau menikah dengan Sindy?" tanya Mila. "Karena aku sudah menikah dengan perempuan kini berdiri di sampingku," jawab Ada
"Aku nggak mau, lepas, Boby aku nggak mau." Rena terus berteriak agar Boby mengurungkan niatnya itu, tetapi Boby tidak peduli dengan teriakan Rena. Ia tersenyum karena rencananya telah berhasil. ***Kini kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Adam, Alina berhasil melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Meski harus melalui operasi, kini bayi mungil itu tengah menjadi rebutan oleh kakek serta neneknya. Sementara Adam memilih untuk menemani istrinya, yang kondisi masih lemah. "Terima kasih ya, Sayang." Adam mencium kening istrinya dengan lembut. Kebahagiaan itu kembali Adam rasakan, meski bukan dengan wanita yang sama. Namun Adam beruntung bisa memiliki istri seperti Alina. "Sama-sama, Mas." Alina menganggukkan kepalanya. Bagi Alina, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bahagia yang tidak ada duanya. Kini Alina bisa merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, menjadi ibu dari anak yang ia lahirkan, meski bukan dari rahimnya sendiri. "Mas kapan aku boleh pulang?" tanya Alina. Ju
Tiba-tiba bug, tubuh Wildan ambruk dan jatuh tersungkur. Alina yang melihat itu seketika terkejut, lalu ia menoleh ke arah belakang. Alina kembali terkejut saat melihat siapa yang menolongnya. ***"Iqbal, kamu .... ""Ma, Mama nggak apa-apa kan?" tanya Iqbal dengan raut wajah khawatir. "Iya, dari mana kamu tahu kalau .... ""Ayah yang kasih tahu, ayah nggak bisa jemput, lalu nyuruh aku untuk jemput, Mama." Iqbal kembali memotong ucapan Alina. Alina benar-benar bahagia, mungkinkah jika Iqbal telah menerimanya. Wildan memegang tengkuknya yang masih terasa sakit, perlahan pria itu bangun. Melihat Wildan bangun, Alina berjalan menghampiri Iqbal dan berdiri di belakangnya. Wildan meringis seraya memijit tengkuknya. "Dasar bocah bau kencur, jangan sok jadi pahlawan kamu," ujar Wildan. Sesekali ia memijit tengkuknya. "Lebih baik sekarang, Om pergi saja, sebelum aku panggil temen-temen untuk menghajar, Om." Iqbal menyuruh Wildan untuk mundur dan pergi. "Kamu yang harus pergi dari sini,
"Kami suruhan, Tuan Burhan. Kami bertugas untuk mengosongkan rumah ini, karena Tuan Burhan telah menyitanya sebagai pelunas hutang Rena," jelasnya. Mendengar itu, jantung Wildan serasa ingin loncat. Rena benar-benar keterlaluan, sudah membohonginya, dan sekarang membuatnya sengsara. ***Setelah membereskan pakaian, Wildan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Rumah yang sengaja ia beli untuk Rena dulu, tapi dengan gampang Rena melenyapkan rumah itu. Kini Wildan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. "Apa?! Jadi Alva itu bukan anak kamu! Dan sekarang Rena pergi dengan laki-laki lain." Erika terkejut mendengar cerita Wildan. "Iya, Bu." Wildan mengangguk. "Terus kalau sudah seperti ini, kita mau bagaimana?" tanya Erika. "Aku nggak tahu, Bu." Wildan menggelengkan kepalanya, lalu menyenderkannya di sandaran sofa. "Alina sekarang sudah bahagia dengan orang lain, sementara kamu. Diusir Amara dan diselingkuhin Rena," ujar Erika, mendengar itu kepala Wildan bertambah pusing. "Ter
"Aarrrght, sial." Wildan mengerang frustasi bahkan kaki kanannya ia gunakan untuk menendang pintu rumah Amara. Wildan tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. ***"Amara, kamu lihat saja nanti, kamu akan menyesal," gumamnya. Setelah itu Wildan memutuskan untuk pergi. "Apa aku pulang ke rumah Rena saja ya," batin Wildan. Kini ia sudah dalam perjalanan, Wildan bingung harus pulang ke mana. "Lebih baik aku ke rumah Rena saja," putusnya. Setelah itu Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, kini Wildan tiba di rumah Rena. Setelah memarkirkan mobil Wildan bergegas turun, lalu melangkah menuju teras rumah. Namun tiba-tiba Wildan menyipitkan matanya saat melihat ada sebuah mobil terparkir di tak jauh dari mobil miliknya. "Itu mobil siapa, kok ada di sini," batin Wildan. Setelah itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam, tetapi niatnya terhenti saat pintu rumah tiba-tiba terbuka. "Rena, kamu mau ke mana? Lalu dia siapa." Wildan
Alina terkejut lalu menoleh ke arah kiri, terlihat jika suaminya sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang sudah merah padam. Ternyata bukan hanya Alina yang terkejut, Iqbal pun demikian, dan sepertinya usahanya akan gagal, karena potongan martabak yang ia campur dengan obat sudah terlempar ke lantai. ***"Mas, kenapa martabaknya .... ""Iqbal, ayah kecewa sama kamu. Apa ini yang ayah ajarkan, kamu sekolah itu untuk belajar yang bener, bukan seperti ini." Adam memotong ucapan Alina. Suasana benar-benar tegang, bahkan Nafisa langsung bangkit dan memeluk kaki Alina. "Iqbal melakukan ini karena, Ayah menikah lagi, apa ayah lupa kalau bunda meninggal gara-gara dia," ungkap Iqbal. "Iqbal." Adam mengangkat tangan hendak melayangkan tamparannya ke pipi Iqbal. Namun niatnya terhenti saat Alina memegangi tangan suaminya itu. "Jangan, Mas. Aku tahu kamu ayahnya dan berhak melakukan apa saja, tapi bukan seperti ini caranya," ujar Alina. Sementara Iqbal sudah memalingkan wajahnya. Adam m
Amara mengantar suaminya sampai di teras depan, saat membuka pintu utama. Seketika mereka terkejut saat melihat Rena sudah berada di depan pintu. Terlebih Wildan, jantungnya seakan ingin loncat saat melihat istri keduanya sudah ada di depan mata. ***"Rena." Wildan membatin. "Rena kamu ada di sini, sama siapa? Terus Alva mana?" tanya Amara. "Alva ada di rumah sakit, aku ke sini untuk memberitahu ayahnya. Kalau sudah seminggu lebih putranya mencarinya," ucap Rena dengan sorot mata yang tajam. Rena sudah tidak peduli lagi, jika nanti harus diceraikan oleh Wildan, asalkan ia sudah memberitahu jika lelaki yang bersama Amara bukan laki-laki baik. "Maksud kamu, Rena aku nggak ngerti ke mana arah bicara kamu," ujar Amara yang benar-benar merasa bingung dengan sikap Rena. "Sayang sudahlah mungkin Rena .... ""Temui putra kamu, Mas. Apa kamu lupa dengan darah dagingmu sendiri." Rena memotong ucapan Wildan. "Rena, mas Wildan itu suami aku, dia bukan .... ""Dia juga suamiku, ayah Alva." R